Menuju konten utama

Resep Horor Usang ala Rizal Mantovani dalam Bayi Gaib

Jarak Jelangkung (2001) dan Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati (2018) adalah 17 tahun. Tapi tak ada sumbangan baru yang diberikan Rizal Mantovani pada khazanah film horor Indonesia.

Bayi Gaib. FOTO/MD Pictures

tirto.id - Bagi generasi pasca-Reformasi di Indonesia (sekarang disebut Milenial dan Gen Z), Rizal Mantovani adalah salah satu nama besar di dunia film. Ia, bersama Jose Poernomo, selalu disebut-sebut sebagai sutradara pelopor era baru film horor Indonesia. Karya mereka jadi pembatas dari film horor era Orde Baru, kata Viriya Paramita dalam Jejak Film Horor Nusantara.

Lewat Jelangkung (2001), Mantovani dan Poernomo jadi dalang horor kontemporer Indonesia yang membuat lansekapnya lebih akrab dengan kaum urban—tak seperti Suzanna, yang di era Orde Baru lebih dekat dengan masyarakat desa, sebagaimana sebagian besar film horor zaman itu.

Pasca-Jelangkung, legenda-legenda urban jadi tema arus utama film horor Indonesia. Anak-anak muda jadi protagonis. Mereka biasanya diceritakan tak percaya takhayul apalagi setan—khas orang-orang urban—tapi hanya di awal cerita. Di pertengahan sampai ujung, penampakan setan-setan biasanya membuat mereka jadi mau tak mau percaya klenik.

Karakter inilah yang kemudian menciptakan stereotip baru tentang kelas menengah urban Indonesia: rasional dan sekuler dalam kadar yang setengah matang. Mereka biasanya selalu akan mencari solusi pada sosok ketiga yang umum dilambangkan sebagai dukun, ustaz, atau sosok religius lainnya. Hal semacam itu menyiratkan kentalnya keyakinan spiritual dalam tiap lapisan masyarakat Indonesia, tak peduli seberapa sekulernya lingkungan sekitar mereka.

Rumus itu kemudian ditiru film-film horor selanjutnya, yang habis-habisan mengeksplorasi legenda-legenda urban lain. Mulai dari Suster Ngesot (yang pertama kali muncul dalam Jelangkung), hantu-hantu klasik macam Kuntilanak, Pocong, Sundel Bolong, Wewe Gombel, hingga hantu-hantu yang lebih Jakarta-sentris, seperti: Rumah Pondok Indah (2006), Hantu Jeruk Purut (2006), Terowongan Kasablanka (2007), Taman Langsat Mayestik (2014), Hantu Pohon Boneka (2014), hingga Mall Klender (2014).

Veronika Kusumariyati dalam The Feminine Grotesque in Indonesian Horror Films, menyebut horor kontemporer ini dipengaruhi cerita-cerita horor Hollywood, Jepang, dan Thailand. Kebiasaan latah itu akhirnya juga membentuk genre horor Indonesia lebih identik dengan karakter-karakter hantu, ketimbang sub-genre horor lain macam thriller atau slasher.

Tujuh belas tahun berlalu, Mantovani jadi salah satu sutradara paling produktif yang dimiliki generasi ini. Tahun 2018 saja baru masuk bulan kedua, tapi ia sudah punya dua film yang dirilis dan masih tayang di bioskop: Eiffel, I’m in Love 2 dan Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati (Selanjutnya disebut Bayi Gaib). Setelah Jelangkung, Rizal Mantovani bahkan punya 14 film horor lain, termasuk yang masih tayang di bioskop reguler ini. Belum lagi menghitung film-film genre lain yang dibuatnya.

Tapi jarak 17 tahun antara Jelangkung dan Bayi Gaib ternyata tak cukup membuat Mantovani lebih kreatif menyajikan horornya. Semua resep yang ia gunakan dalam Jelangkung, hadir juga dalam Bayi Gaib.

Tokoh utama film itu tentu saja kaum urban. Kali ini memang bukan segerombolan remaja yang suka uji nyali, melainkan sepasang suami-istri: Rafa (Ashraf Sinclair) dan Farah (Rianti Catwright). Meski keduanya bertampang blasteran, dan bahasa Inggrisnya ceplas-ceplos, tetap saja dua protagonis ini adalah karakter rasional-sekuler setengah matang.

Di awal cerita, sempat ada dialog antara Rafa dan Farah yang menegaskan betapa rasionalnya mereka. Farah mengingatkan suaminya untuk hati-hati pada rival perusahaannya, yang sempat kalah tender dan mengancam Rafa. Dengan nada bercanda, sang istri juga menambahkan satu hal yang perlu diwaspadai suaminya, yaitu santet. Rafa malah tertawa dan bilang:

“Kalau emang santet itu ada, kenapa pahlawan pas perang enggak pakai santet aja? Kenapa mesti nunggu dijajah 350 tahun?”

Tapi, plot utama Bayi Gaib memang ingin bercerita tentang santet yang dialami keluarga urban Jakarta ini. Sehingga sudah jelas sekali kalau Rafa akan terpeleset ludahnya sendiri. Namun, sebelum kita disuguhkan adegan Rafa dan Farah salat berjamaah, atau kehadiran paranormal yang mengecek hantu di rumah mereka, ada beberapa potong cuplikan yang membuktikan pasangan ini tak seprogresif kelihatannya.

Ketika Farah mengidam makan steak mentah pagi-pagi, misalnya. Rafa jijik—tak suka, lalu membuang sarapan istrinya sambil menyuruh: “Make yourself another one,” sambil pergi dari meja makan menuju kantor. Ia juga sempat menyuruh istrinya menunda jadwal ke dokter karena ia tak bisa menemani. Untuk seorang calon ayah, yang katanya sendiri, sudah menunggu dua tahun untuk punya anak pertama, Rafa sangat-sangat tak sensitif.

Naskah yang Lemah Nalar

Rasanya agak lucu membawa-bawa nalar ketika menguliti film horor Indonesia. Sebab setan sendiri adalah hal gaib yang biasanya diamplikasi cerita horor sebagai kejadian di luar nalar. Namun, bagi banyak orang hari ini, ketiadaan setan dan makhluk-makhluk lelembut sejenis sudah bisa dijelaskan sains, meski masih terus diperdebatkan. Semuanya mudah masuk nalar, dan manusia hanya takut pada hal-hal yang tidak ia pahami. Sehingga, para pembuat film horor punya pekerjaan lebih berat untuk menakut-nakuti penonton hari ini.

Faktor tersebut yang tak disadari sineas Indonesia, termasuk mereka yang langganan bikin film horor. Walhasil, mereka seringkali tampil dengan naskah seadanya yang justru bikin jengkel penonton karena terlalu bodoh dan sembrono. Modalnya cuma pencahayaan yang minim, ranjau jumpscare, dan sound yang memekakkan telinga. Hal ini juga yang dilakukan Bayi Gaib.

Naskahnya amat lemah. Rafa saja, si karakter utama, bukan figur yang dijahit rapi. Maka jangan harapkan ada karakter lain yang punya latar belakang cukup jelas di film ini. Farah lebih parah lagi. Ia cuma istri seorang kontraktor sukses, yang hamil, kemudian ditakut-takuti bayinya sendiri. Tak ada eksplorasi karakter apa pun selain jadi obyek yang paling sering diteror setan.

Tapi tiba-tiba di ujung cerita, kita tahu kalau Farah pernah punya hubungan serius sampai hampir punya anak dengan Edi (Mario Lawalata), sahabat kental Rafa. Ceritanya tiba-tiba saja begitu. Tanpa tanda apa-apa, cuma lewat sebaris-dua baris kata.

Semua karakter ini mentah, dan cuma didukung dialog-dialog instan tanpa ada proses planting—ceceran petunjuk-petunjuk kecil yang bisa menguatkan plot. Rafa cuma hadir sebagai tokoh yang jadi pemantik masalah, sementara Farah jadi korban yang ditakuti-takuti. Begitu juga karakter lain. Termasuk Mbok Wati (Yati Surachman), yang jadi satu-satunya badut pencair suasana. Itupun cuma benar-benar sepintas. Penonton tak diberi ruang untuk bersimpati pada para karakter.

Mantovani cuma sibuk menyusun sebuah kejutan di ujung plot—yang akhirnya tak mengejutkan sama sekali karena keteteran merangkai hal lain.

Ia sibuk menyelipkan adegan-adegan aneh Ronald (Fadika Royandi)—rival Rafa—yang komat-kamit sendiri di depan cermin, depan lilin, dan lembaran kelopak mawar. Semata-mata demi mengarahkan penonton untuk menduga santet itu memang dikirim Ronald. Tapi tempelan-tempelan adegan itu terlalu kasar—nyaris tidak berkaitan dengan adegan sebelum atau sesudahnya. Karakter Ronald juga tak digali sama sekali, kecuali untuk adegan-adegan ‘pengalih perhatian’ itu. Maka tak heran kalau, penonton sudah bisa menebak siapa penyantet aslinya.

Bahkan, saking terlalu fokus ingin menyelipkan putaran plot yang gagal memberi efek kejut itu, ada beberapa adegan tak masuk akal yang bikin naskahnya semakin mengecewakan. Misalnya bagaimana Rafa bisa masuk ke rumah Ronald—yang tak dikunci, dan tak punya asisten rumah tangga ataupun satpam. Ronald bahkan sempat memberikan Rafa petunjuk tentang siapa yang menyantetnya, seolah-olah ia sudah paham duduk perkara masalah hidup rivalnya itu.

Joko Anwar lebih berhasil membangun naskah yang baik dalam Pengabdi Setan (2017), jika dibandingkan Bayi Gaib. Karakter Ian, bocah bungsu dalam keluarga Pengabdi Setan, lebih berhasil melempar efek ‘musuh dalam selimut’ di ujung cerita, ketimbang Edi di film horor teranyar Mantovani ini.

Joko juga berhasil menggali karakter-karakter utama dalam film horornya. Kita lebih dulu dibikin jatuh hati pada anak-anak Ibu, sebelum akhirnya mereka diteror setan. Joko membuktikan dirinya sebagai sineas yang tidak semena-mena menganggap nalar penonton Indonesia—bahwa penonton Indonesia tidak bodoh dan gampang puas dengan film-film lokal yang memang seringkali abai pada logika, belum lagi konteks.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/02/23/rizal-mantovani--mild--quita-01.jpg" width="860" alt="infografik kengerian rizal mantovani" /

Bayi Gaib sebenarnya punya elemen-elemen yang bisa diolah lebih baik. Misalnya, menafak tilas sejarah santet yang sebenarnya sudah jadi cerita rakyat sejak lama, alih-alih cuma mendandani Mpok Atiek dengan mekap seadanya dan sama sekali tak menjelaskan bagaimana kerja ilmu hitam itu. Dugaan sindrom Baby Blues yang divonis Rafa pada Farah (cuma berdasarkan googling) juga bisa dieksplorasi lebih dalam lagi. Mantovani, lewat Bayi Gaib, bisa jadi pelopor sineas yang fokus menggali isu kesehatan jiwa—tema yang belum dalam dilirik film-film Indonesia.

Sudah saatnya Rizal Mantovani kembali membawa angin segar pada genre horor Indonesia. Setidaknya, hal itu bisa dimulai dengan memperbaiki story telling-nya, sekaligus memperdalam naskah.

Baca juga artikel terkait ULASAN FILM atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Windu Jusuf