tirto.id - Judul film horor Indonesia makin ke sini makin beragam. Seperti tak ingin tunduk pada norma baku dengan menyertakan nama-nama demit tradisional macam kuntilanak, pocong, atau hantu penunggu kuburan di tajuk filmnya, para sineas lokal berlomba-lomba membuat judul yang terdengar catchy dan kosmopolit seperti Petak Umpet Minako sampai The Doll.
Yang terbaru, muncul judul film horor Indonesia diambil dari jenis tumbuhan berwujud bunga kantil atau biasa dikenal masyarakat dengan bunga cempaka.
Kembang Kantil adalah film horor yang disutradarai Ubay Fox, serta diproduksi oleh MD Pictures dan Dee Company. Film ini berkisah mengenai kehidupan anak kecil yatim piatu bernama Tania (Richelle Georgette Skonichi) yang gelap dan misterius.
Masa kecil Tania jauh dari kata ideal. Selain sudah ditinggal orangtuanya, ia juga hidup dalam keterasingan dan sebatang kara. Teman-temannya pun tak ingin bermain bersamanya karena ia dianggap aneh serta membawa malapetaka. Walhasil, hari-hari Tania diisi dengan kesepian teramat dalam dan kebiasaannya yang ganjil, melahap bunga kantil.
Satu hari panti asuhan Tania dikunjungi pasangan muda, Anton (Fadika Royandi) dan Santi (Nafa Urbach). Mereka ingin mengadopsi Tania. Tanpa penolakan berarti, Tania berhasil diangkat anak oleh Anton dan Santi.
Sesaat setelah Tania pindah ke rumah orangtua angkatnya yang luar biasa megah bak istana, datanglah Alisa (Irish Bella), adik perempuan Anton yang dikisahkan ikut menetap di istana mereka untuk mengejar mimpinya jadi pemain teater andal.
Namun, hari-hari mereka justru tak bahagia. Di rumah barunya, kehidupan Tania justru semakin suram. Kejadian demi kejadian mistis meneror Tania dan orang-orang di sekitarnya tanpa henti. Di titik inilah, konflik Kembang Kantil bergulir.
Kembang Kantil berpijak pada premis bahwa Tania merupakan biang keladi dari semua kejadian-kejadian mistis yang muncul sepanjang 80 menit film berjalan. Hadirnya kejadian-kejadian aneh tersebut tidak bisa dilepaskan faktor dalam tubuh Tania. Konon ia dirasuki sosok “Iblis Merah” nan bengis.
Bagaimana bisa? Ternyata ini semua akibat Tania sempat jadi tumbal ayahnya yang tergabung dalam paguyuban sekte pemuja setan. Ibu Tania juga dikisahkan tewas akibat melawan kehendak sang suami. Dari sini, Tania menjelma “anak iblis,” mirip-mirip Damien dalam film lawas The Omen. Kasihan betul Tania. Bukannya menghabiskan waktu dengan gembira ria bersama teman-teman seumurannya, ia malah jadi anak iblis.
Pada dasarnya, Kembang Kantil masih mempertahankan konvensi generik film horor lokal; scoring menegangkan, jumpscare, sudut-sudut kosong dalam rumah yang memberi kesan mengerikan, jumpscare, demit yang didesain hanya untuk bikin kaget, jumpscare, dan ditutup dengan pesan bahwa kebaikan akan selalu menang melawan kejahatan. Bedanya, Kembang Kantil tak jualan unsur esek-esek, yang juga sebetulnya mulai langka dalam horor Indonesia kekinian.
Tapi, masalahnya, film ini memang tidak punya bahan untuk dijual. Kembang Kantil adalah contoh nyata kombinasi antara eksekusi ide yang kelewat buruk, akting yang compang-camping, serta logika dalam semesta film yang berantakan.
Adegan demi adegan yang disajikan dalam Kembang Kantil tidak terjalin rapi dan meninggalkan begitu banyak lubang, yang makin ditambal-sulam, makin kelihatan ringsek.
Motivasi Anton-Santi yang tak jelas kala mengadopsi Tania sampai keberadaan sekte pemuja setan yang tiba-tiba dimunculkan menjelang babak pamungkas adalah beberapa sekelumit contoh betapa compang-campingnya film ini.
Logikanya pun kacau. Misalnya, saat Alisa tiba-tiba bisa tahu panti asuhan tempat Tania dulu tinggal. Padahal baik Anton maupun Santi menutup rapat-rapat masa lalu Tania. Lagipula, hanya dua orang inilah yang tahu lokasi panti asuhan tersebut.
Yang lebih lucu lagi, ketika mencari bantuan agar Tania tak jadi tumbal setan, Alisa sekonyong-konyong bisa menemukan rumah paman Tania yang bernama Toro (Dorman Borisman). Bukan saja tahu rumah Toro, Alisa seketika juga mendapatkan buku yang berisi mantra-mantra pengusir iblis.
Seketika, saya langsung berharap lebih: kalau saja durasi film ini ditambah setengah jam lagi, Alisa mungkin bisa mengendus tempat persembunyian Edi Tansil.
Kejadian-kejadian mistis dalam rumah Anton-Santi yang menewaskan sejumlah korban juga terasa ganjil. Meski banyak orang yang mati, saya tak melihat pemandangan aparat kepolisian datang untuk sekedar memeriksa atau mencari keterangan. Yang tersaji di hadapan mata hanyalah mobil ambulans yang menjemput korban dan selesailah perkara. Sesederhana itu. Tak ada polisi yang mempermasalahkan orang-orang yang mati misterius.
Pengembangan karakter yang buruk dan akting hiper-dramatis ala sinetron Indonesia dalam Kembang Kantil langsung membuat Suster Keramas terasa seperti The Shining.
Anda bisa perhatikan kala Alisa, Anton, dan Santi berkumpul di meja makan. Sama sekali tak nampak bahwa bahwa mereka semua punya hubungan istimewa (kakak-adik, suami-istri). Alisa, Anton, dan Santi terlihat seperti orang asing yang baru saja kenalan lalu bergabung dalam sebuah jamuan malam, saking kakunya dialog mereka.
Masih soal karakter, sampai sekarang saya tak paham apa fungsi teman lelaki Alisa (Kevin Kambey) yang selama film berlangsung sama sekali tak punya kontribusi signifikan selain jadi "supir ojek" Alisa. Ujung-ujungnya, ia terbunuh dengan sangat mudah, tanpa perlawanan, oleh Santi.
Karakter Anton setali tiga uang. Dalam semesta Kembang Kantil, tak jelas apa pekerjaan Anton sehingga jadi orang kaya raya. Sehari-harinya, Anton digambarkan hanya mondar-mandir di sekitar rumahnya dengan baju necis dan rambut klimis. Selebihnya? Tidak ada.
Tapi, mungkin saja kosongnya latar belakang Anton adalah kesengajaan. Bukankah dari lubang semacam itu kita bisa bikin prekuel berjudul Kembang Kantil: Babi Ngepet?
Pada akhirnya, Kembang Kantil adalah film horor 80 menit yang cuma menonjolkan jumpscare tetapi miskin konteks dan buruk di segala aspek. Meski begitu, setidaknya saya akhirnya tahu bahwa iblis bisa diusir dengan nyanyian “Cicak di Dinding.” Tak perlu lagi mengandalkan pemuka agama maupun cara-cara (pseudo-)ilmiah yang bikin pusing kepala.
Mungkin pula di film-film horor Indonesia kelak, lagu-lagu Awkarin atau Young Lex juga bisa dipakai untuk mengusir demit. Semoga saja.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf