Menuju konten utama

Seluk Beluk Teknologi CGI untuk Memoles Film

Film Rafathar yang sedang tayang di bioskop saat ini sebagian sudah menerapkan teknologi computer generated imagery (CGI). Apa dan bagaimana CGI itu?

Seluk Beluk Teknologi CGI untuk Memoles Film
Studio CGI. FOTO/Visual Distractions Ltd

tirto.id - “Kami tidak menginginkan aktor kami (mati) dimakan (harimau).”

Ucapan Bill Westenhofer, penasihat efek visual pada film Life of Pi, pada The New York Times mengungkap alasan Ang Lee, sang sutradara film memilih menggunakan efek visual atau CGI.

Life of Pi merupakan sebuah film yang diangkat dari novel berjudul yang sama buah karya Yann Martel yang bercerita tentang seorang pemuda terombang-ambing dalam perahu kecil di tengah lautan beserta seekor harimau dengan segala fragmen menakjubkan. Melakukan syuting dengan menggunakan harimau asli, sudah tentu sangat berbahaya bagi sang aktor.

Life of Pi, memanfaatkan jasa rumah produksi khusus efek visual bernama Rhythm & Hues untuk mengerjakan adegan-adegan kekakuan hubungan antar Richard Parker (si harimau) dengan Pi Patel.

CGI merupakan pencitraan yang dihasilkan oleh komputer sebagai penerapan lanjutan dalam bidang komputer grafis. Secara sederhana, mengutip Business Insider, CGI serupa dengan teknik animasi tradisional. Dalam teknik animasi tradisional, suatu gerakan dibuat melalui rangkaian gambar-gambar yang saling bertautan. Umumnya, sebuah gambar bergerak tercipta dalam ritme 24fps (frame per second).

Artinya, dalam 1 detik, terdapat 24 gambar yang saling bertumpuk yang menciptakan satu harmoni gerak. Gambar-gambar itu, dalam konteks animasi tradisional, dibuat langsung oleh tangan si pembuat. CGI, dalam pengertian sederhana, mengerjakan proses tersebut dengan memanfaatkan kekuatan komputer. Pada akhirnya, teknik tradisional maupun memanfaatkan komputer, menghasilkan suatu efek ilusi yang sulit dicapai dengan cara normal.

Baca juga:

Film dan Propaganda

Teknologi Virtual Reality Menyapa Film Hollywood

Penggunaan CGI telah merentang cukup lama dalam dunia perfilman. Dua film yang menjadi patokan awal penggunaan CGi ialah Westworld dan Futureworld. Westworld merupakan film buatan 1973 yang pertama kali memanfaatkan animasi 2D bagi film itu. Sementara Futureworld, film yang dibuat pada 1976, tercatat sebagai film yang pertama kali menggunakan efek 3D. Di film itu, Ed Catmull dan Fred Parke dari University of Utah, sukses menciptakan tangan dan wajah “palsu.”

Dalam buku berjudul “Advanced RenderMan: Creating CGI for Motion Pictures” yang ditulis Anthony A. Apodaca, setidaknya ada dua film lain yang menjadi tonggak signifikan penggunaan efek visual komputer pada dunia perfilman. Film itu antara lain “Tron,” film besutan studio Disney pada1982 dan “The Last Starfighter,” film bikinan Universal Studios pada 1984. Sayangnya, kedua film itu gagal di pasaran. Kisah sukses penggunaan efek visual komputer akhirnya datang di 1989 dengan kemunculan “The Abyss.”

Film garapan James Cameron itu, sukses memboyong Oscar dalam kategori “Best Visual Effect.” Efek visual di film itu, dikerjakan oleh rumah produksi efek visual bernama Industrial Light and Magic. Dalam dunia film, Industrial Light and Magic, memiliki jejak yang cukup memukau menggarap efek visual. Efek visual pada judul-judul film blockbuster seperti Back To The Future, Rogue One: A Star War Story, Captain America: Civil War, The Martian, dan The Revenant, digarap oleh perusahaan tersebut.

Salah satu film lain yang menjadi titik penting capaian CGI dalam dunia film ialah sebuah film animasi berjudul “Toy Story” yang rilis di 1995. Toy Story, merupakan film animasi berkekuatan CGI berdurasi utuh (full-lenght) pertama.

Stacey Abbot dalam jurnalnya berjudul “Final Frontiers: Computer-Generated Imagery and the Science Fiction Film” mengutip daftar yang dibuat majalah SFX di 2005, mengungkapkan bahwa mayoritas film-film yang memanfaatkan efek visual komputer ialah film bertema fiksi sains.

Abbot, mengutip Annette Kuhn, seorang peneliti yang fokus pada tema perfilman, mengungkapkan bahwa alasan banyaknya film bertema fiksi sains memanfaatkan efek visual komputer karena film demikian dituntut menghadirkan narasi futuristik.

“Penggunaan efek visual komputer pada film fiksi sains karena film-film itu sendiri umumnya menghadirkan imajinasi teknologi masa depan,” ungkap Kuhn sebagaimana dikutip Abbot.

Apa yang diungkap Abbot, senada dengan apa yang ditulis Sung Wook Ji dari Indiana University dalam tulisannya berjudul “Production Technology and Trends in Movie Content: An Empirical Study.

Dalam tulisannya itu, Ji mengidentifikasi jenis film yang banyak memalsukan unsur visual efek komputer pada daftar 50 film box office antara 1993 hingga 2005. Hasilnya, film berjenis “action,” “adventure,” “animation,” ”family,” “fantasy,” “musical” dan “sci-fi,” masuk daftar teratas jenis-jenis film yang menggunakan visual efek komputer. Sementara film berjenis “biography,” “comedy,” “crime,” “drama,” “music,” “romance” dan “sports,” merupakan jenis film yang jarang memanfaatkan efek visual komputer.

Di Indonesia, penggunaan CGI dalam film juga bukan barang baru. Terbaru, film dengan judul nama anak kandung dari artis Raffi Ahmad, “Rafathar,” juga menggunakan teknologi CGI. Namun, penggunaan CGI di film-film Indonesia memiliki kendala dan keterbatasan.

Fajar Nugros, salah seorang sutradara Indonesia mengungkapkan, “CGI sudah banyak digunakan di Indonesia dan teknologinya bisa mengejar (kemampuan Hollywood) sebenarnya. Cuman film kita selalu waktunya mepet, jadi tim CGI kita yang pintar-pintar dan teknologinya mengejar ke Hollywood itu tidak bisa maksimal (mengerjakan efek visual)."

infografik cgi

CGI Teknologi yang Mahal

CGI punya andil menentukan wajah sebuah film, tapi bukan sesuatu teknologi yang murah tapi bisa diandalkan terutama dalam pembuatan film animasi. Eksekutif Sony Pictures, Penny Finkelman Cox mengatakan dibutuhkan 400 pekerja visual (yang bekerja) selama empat tahun untuk membawa (film) 2D ke bioskop. Sedangkan dengan CGI hanya membutuhkan setengah dari angka itu dan hanya membutuhkan tiga tahun untuk membuat film yang memanfaatkan komputer.

"Hasilnya, film digital umumnya membutuhkan biaya sebesar $80 juta, bandingkan dengan $150 juta (untuk membuat) film animasi tradisional,” ungkap Ji.

Dua poin yang membuat CGI mahal ialah biaya dari para pekerja efek visual. Untuk membuat efek visual komputer yang memukau, dibutuhkan waktu yang tidak sedikit. Lamanya produksi dan jumlah pekerja efek visual sehingga membutuhkan biaya yang semakin membengkak.

Mengutip pemberitaan Forbes, sebuah film dengan 150 hingga 250 efek visual dengan 1 efek visualnya berdurasi 5 detik, per 1 efek membutuhkan biaya antara $70 ribu hingga $100 ribu. Film Hollywood berjudul Pirates of the Caribbean: At World’s End, menghabiskan uang senilai $1 juta per menit untuk membiayai efek visual komputer.

Dave Clayton, penasihat animasi Weta Digital, sebuah rumah produksi efek visual, dalam sebuah wawancara dengan Gizmodo mengungkapkan bahwa dibutuhkan teknologi “raksasa” untuk membuat efek CGI. “Sekitar sepuluh tahun lalu dalam film Return of the King, WETA dalam memproses (efek CGI) membutuhkan sekitar 2.300 CPU (Central Processing Unit) dan RAM bertenaga 5 terabytes. Untuk memproses (efek CGI) Desolation of Smaug, kami mengandalkan 50.000 CPU dan RAM 170 terabytes. (Kekuatan CPU dan RAM tersebut) setara dengan (gabungan) 30.000 laptop standard.

Apa yang diungkap Clayton, diakui oleh Jean S. Borman dalam tulisannya di blog resmi Sandisk, sebuah perusahaan yang terkenal membuat media penyimpanan. Merujuk Bozman, di 1997, James Cameron membutuhkan prosesor SGI sebanyak 350 keping, 200 keping prosesor DEC Alpha, serta media penyimpanan sebesar 5 terabyte untuk memproses efek CGi di film yang ia garap.

Teknologi CGI bukanlah perkara mudah dan murah. Namun, film-film Hollywood tetap memakai CGI termasuk beberapa film di Indonesia. CGI memang mahal, tapi ada harapan dengan fragmen-fragmen film yang memukau para penonton, sebuah film bisa mendulang sukses di pasar.

Baca juga: Laba Fantastis Sutradara Hollywood

Baca juga artikel terkait RAFATHAR atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Film
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra