Menuju konten utama

Teknologi Virtual Reality Menyapa Film Hollywood

Teknologi virtual reality atau sering disebut VR selain dimanfaatkan untuk gim, juga bisa untuk memberikan pengalaman berbeda dalam menikmati suatu film.

Teknologi Virtual Reality Menyapa Film Hollywood
Ilustrasi virtual reality. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Dalam dunia film, teknologi adalah kunci yang bisa memberi sentuhan dan warna yang berbeda terhadap sebuah karya film. Mulai dari film bisu yang banyak menampilkan aktor Charlie Chaplin, film Jurassic Park karya Steven Spielberg, hingga film yang sangat kaya dengan teknik Computer Generated Imagery (CGI) berjudul Avatar garapan James Cameron. Film arahan Alfonso Cuaron tentang seorang astronot yang melayang-layang di antariksa berjudul Gravity juga buah dari teknologi dalam film.

Kehadiran kamera yang mampu merekam video 360 derajat seperti Ricoh Tetha dan hadirnya perangkat-perangkat seperti Oculus Rift, Samsung Gear VR, serta Google Cardboard, membuat dunia hari ini menjadi dunia yang mengenal sebuah teknologi bernama Virtual Reality (VR).

Virtual reality, secara sederhana, merupakan dunia rekaan. Dunia virtual yang sengaja diciptakan untuk berbagai keperluan, terutama untuk hiburan. Dengan VR, seseorang akan menyaksikan dunia rekaan, seolah-olah merupakan dunia nyata. Video dengan lingkup 360 derajat, dianggap pula bagian dalam dunia VR. YouTube semenjak 13 Maret 2015, telah mendukung video 360 derajat untuk digunakan oleh penggunanya.

Keberadaan video 360 derajat ke dalam bagian VR masih menyisakan perdebatan. Mengutip Wired, secara fundamental, VR mengusung banyak sensor yang akan mendeteksi pergerakan tubuh (terutama kepala) orang yang menonton VR. Data dari sensor tersebut digunakan oleh komputer untuk memproses peta di dunia virtual, sejalan dengan gerakan-gerakan tubuh yang dilakukan pengguna.

VR akan menciptakan dunia virtual ke arah mana pun dan ke bagian mana pun sesuai dengan gerakan-gerakan pengguna. Dari tindakan VR tersebut, ia memberikan stimulus pada penggunanya bahwa seolah-oleh, dunia virtual tersebut adalah dunia nyata. Meskipun agak berbeda, film Matrix adalah salah satu cerminan bagaimana manusia yang tertipu hidup di dunia virtual.

Sedangkan video 360, secara sederhana, merupakan dunia VR dalam kondisi pasif karena tidak ada komputer yang memproses dunia virtual bagi penikmat video 360. Pengguna, tidak bisa menikmati “dunia” lebih lias karena hanya sejauh yang ditampilkan video. Selain itu, dalam dunia video 360, tidak terdapat interaksi di dalamnya.

Namun, secara sederhana pula, keduanya mengusung konsep serupa. Pengguna, atau dalam konteks film, penonton, hidup tepat di tengah-tengah dunia VR maupun video 360 derajat. Melalui perangkat seperti Google Cardboard yang murah atau Oculus Rift yang mahal, seolah-olah kita memang berada di tengah permainan. Ini karena saat kemana pun mata bergerak, pengguna akan tetap menikmati sajian VR.

Di dunia maya, telah bertebaran cukup banyak film-film yang mengusung teknologi VR untuk dinikmati pecinta film. Jaunt, salah satu startup yang bergerak di bidang pengembangan perangkat keras, perangkat lunak, dan berbagai perangkat untuk mengembangkan film VR yang didirikan pada 2013, adalah salah satu tempat di mana film-film VR bisa dinikmati pecinta film.

Di laman situs resmi mereka, terdapat cukup banyak film VR yang bisa dinikmati pengunjung. Meskipun bisa langsung disaksikan melalui ponsel pintar maupun komputer, film-film yang termuat di Jaunt lebih cocok ditonton melalui perangkat khusus VR seperti Google Cardboard atau Oculus Rift serta memanfaatkan aplikasi yang mereka kembangkan sendiri. Selain melalui Jaunt, video VR juga bisa disaksikan di YouTube. Kanal Discovery Channel serta National Geographic, sering mengunggah video-video 360 derajat. Judul-judul film seperti Butts, White Room: 02B3, 11:57, dan Colose merupakan film-film berteknologi VR yang bisa disaksikan pecinta film.

Sebagai suatu teknologi baru, VR tentu saja memiliki banyak kelemahan. Kelemahan pertama, terutama dikaitkan dengan perfilman adalah mayoritas, film-film yang dirilis masih dianggap sebagai film VR eksperimental.

“Salah satu tantangan utama untuk bercerita (menggunakan teknologi VR) adalah (pembuat film) harus berpikir dalam konteks bulat (video VR yang memiliki sudut 360 derajat alias tanpa batas seringkali terlihat seperti bentuk bulat) alih-alih kotak (resolusi layar),” ungkap Robert Stromberg, pengarah artistik pemenang Oscar yang menggarap film Avatar sebagaimana dikutip dari The New Yorker.

Selain itu, fakta bahwa kebanyakan VR dikonsumsi menggunakan perangkat ponsel pintar dibandingkan dengan perangkat khusus adalah permasalahan tersendiri. Kebanyakan kamera-kamera yang digunakan untuk membuat video VR adalah kamera-kamera yang dibuat untuk atlet, bukan untuk pembuat film. Matthew Niederhauser, seorang juru kamera, mengungkapkan, “kamu merekam dengan lensa kamera yang besar dan mahal, untuk apa? (jika film hanya dikonsumsi di ponsel pintar).”

Masalah yang paling serius adalah fakta bahwa menonton video VR sangat memungkinkan membuat penontonnya limbung. Mengutip Wired, aplikasi NYT VR, aplikasi VR yang memuat konten video 360 derajat yang dipublikasikan oleh The New York Times, rata-rata pengguna hanya menghabiskan waktu 14 menit dan 27 detik menggunakan aplikasi tersebut per harinya.

Kebanyakan, rasa pusing dan lelah akan menjangkiti penonton video VR. Bandingkan misalnya dengan durasi menonton TV. Orang Amerika Serikat, menghabiskan 2,5 jam setiap harinya duduk menikmati televisi. Bila mengkomparasi dengan durasi film rata-rata sekitar 2 jam, film VR kemungkinan hanya akan berkutat di ranah film-film pendek saja.

Tetapi, meskipun memiliki sisi tantangan yang terlihat sukar dipecahkan, secara umum VR diprediksi memiliki masa depan yang cerah. Mengutip FastCompany, penerapan dan penggunaan teknologi VR (beserta augmented reality/AR) akan menghasilkan pendapatan hingga $150 miliar pada 2020.

Berdasarkan laporan Greenlight Insight yang dipublikasikan oleh Variety, di akhir tahun ini, pendapatan dari VR secara global akan menyentuh angka $7,17 miliar. Sekitar 65 persen berasal dari penjualan headset atau perangkat VR. Sekitar 11,6 persen berasal dari penjualan kamera VR dan sekitar 12 persen merupakan hasil dari konten-konten berbasis VR.

Greenlight juga menyoroti VR yang diterapkan pada bioskop (dan pada film) akan menjadi salah satu penyokong signifikan bagi pendapatan VR di masa mendatang. Di 2017 sendiri, location-based VR, VR yang diterapkan di mal dan bioskop, memperoleh pendapatan hingga $222 juta.

Infografik Virtual Reality Movie

Berdasarkan perkembangan teknologi VR dan prediksi yang menjanjikan di masa depan, Hollywood tentu tak akan tinggal diam terhadap kedatangan teknologi baru tersebut.

Mengutip The Economist, Dreamscape, salah satu startup di bidang pengembangan VR, memperoleh pendanaan senilai $10 juta dari Fox, MGM, serta sutradara kenamaan Steven Spielberg. Selain itu, ada pula Jaunt yang memperoleh pendanaan senilai $66 juta dari Disney. Selain dari Disney, Jaunt memperoleh pula investasi senilai $27,8 juta dari raksasa teknologi Google. Selain startup khusus tersebut, Warner Brothers dan IMAX bekerjasama untuk menghadirkan pengalaman VR pada tiga film yang akan segera mereka rilis.

Langkah yang lebih nyata datang dari RSA Film, studio bikinan Ridley Scott, tokoh Hollywood di balik suksesnya film The Martian. RSA Film, merujuk Hollywood Reporter, telah membentuk divisi baru untuk mengembangkan dan memproduksi film berteknologi VR. RSA Film, dalam waktu dekat, akan menghadirkan The Martian VR Experience dan Alien: Covenant sebagai film VR.

Selain dari Hollywood, berbagai festival film-film dunia juga tak mau ketinggalan kereta. Sundance Film Festival, salah satu festival film paling berpengaruh di dunia, telah ikut serta memasukkan film-film VR di hajatan tahunan ini.

“Saya ingat di tahun 2012 dan 2013, tidak ada (film) VR, lalu di 2014 ditampilkan di festival empat film (VR), “ ungkap Shari Frilot salah satu panitia penyelenggara Sundance sebagaimana diwartakan Wired.

Ia lebih lanjut mengungkapkan, “orang-orang menggunakan headset (seperti Google Cardboard atau Oculus Rift) dan berkata seperti ‘Saya melihat masa depan!’ Pengalaman itu saya tahun (terjadi) di 2015.”

Saat insan-insan di Hollywood dan festival film telah ramai-ramai meneropong VR maka ini jadi indikasi film berteknologi VR bisa hadir di bioskop-bioskop. Namun, persoalannya selain memberikan warna baru, apakah VR akan memberikan kenyamanan bagi penonton bioskop?

Baca juga artikel terkait VIRTUAL REALITY atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Film
Reporter: Ahmad Zaenudin & Suhendra
Penulis: Ahmad Zaenudin