Menuju konten utama
Mozaik

Intisari, Terobosan Usai Dua Pemberedelan

Intisari terbit pertama pada 17 Agustus 1963. Hitam putih dan tidak bersampul. Dimensi 14 x 17,5 cm--seperti layaknya Reader’s Digest. Tebal 128 halaman.

Intisari, Terobosan Usai Dua Pemberedelan
Header Mozaik Eksistensi 6 Dekade. tirto.id/Fuad

tirto.id - Versi cetak ulang edisi perdana majalah Intisari meluncur awal September lalu. Ada autentisitas di sana: artikel, ejaan, tata letak, juga iklan-iklan. Bedanya cuma kehadiran sampul pada yang sekarang.

Sebanyak 32 tulisan hadir di sana. Di antaranya dari sejarawan, yang kelak menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nugroho Notosusanto tentang pengalaman tinggal di London. Juga ada tulisan Soe Hok Djin, kelak bersalin nama menjadi Arief Budiman. Edisi cetak ulang ini dirilis untuk memperingati 60 tahun Intisari.

Intisari pertama kali terbit pada 17 Agustus 1963. Ketika majalah-majalah lain berguguran dihempas digitalisasi, Intisari masih menyapa pembaca sampai hari ini. Ia salah satu majalah tertua yang masih terbit, hanya kalah lawas dari Suara Muhammadiyah (1915), Penjebar Semangat (1933), Hidup (1946), dan Mangle (1957).

Auwjong Peng Koen, kelak berganti nama menjadi Petrus Kanisius Ojong, menjadi sosok terpenting di balik kelahiran Intisari. Ia lahir di Payakumbuh, Sumatra Barat, pada 25 Juli 1940.

Kelahiran Intisari dipicu dua pemberedelan: harian Keng Po dan mingguan Star Weekly. Auwjong bekerja di dua media itu. Di Keng Po sebagai redaktur pelaksana, di Star Weekly menjadi pemimpin redaksi. Kedua media ini sama-sama dibangun Khoe Woen Sioe, seorang yang dianggap “guru spiritual” oleh Auwjong.

Keng Po dan Star Weekly kerap diasosiasikan dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dipimpin Sutan Sjahrir. Pada Agustus 1960, PSI dibubarkan Presiden Sukarno karena sejumlah tokohnya dianggap terlibat pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Visi redaksional Keng Po dan Star Weekly rupanya tak berkenan di hati penguasa. Setelah Keng Po dihabisi pada Agustus 1957, Auwjong sebenarnya telah mengambil sejumlah langkah antisipatif. Misalnya, menutup rubrik “Pemandangan Luar Negeri” yang diasuh Ide Anak Agung Gde Agung. Tulisan-tulisan di sana anggap sering menyindir kondisi domestik.

Kalau membuka lembaran sejarah, sejumlah petinggi PSI dan Masyumi dicokok pada Januari 1962 karena dituduh ikut rapat gelap di sela-sela acara ngaben ayahanda Anak Agung di Gianyar, Bali, pada Agustus 1961. Para tokoh di sana dituding membahas upaya penggulingan Sukarno.

Dua bulan setelah acara di Gianyar, giliran ajal Star Weekly yang tiba. Menurut Helen Ishwara dalam PK Ojong: Hidup Sederhana, Berpikir Mulia (2001), Auwjong sangat terpukul. Bukan cuma majalah yang dibunuh, ia merasa dirinya sendiri yang dihabisi.

Obrolan di Prambanan

Lebih sewarsa tak punya media, Auwjong menemui Jakob Oetama di Yogyakarta. Keduanya saling mengenal di kepengurusan Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA). Saat itu Jakob adalah pemimpin redaksi majalah Katolik Penabur. Jakob lebih muda 11 tahun.

Auwjong datang untuk mengajak Jakob membuat media baru. Mereka ngobrol sambil menyaksikan sendratari di Candi Prambanan.

“Sebaiknya, mengingat grup Anda baru saja mengalami pembreidelan, jangan membuat majalah politik. Pengetahuan populer saja…” kata Jakob seperti dituliskannya kembali dalam edisi 50 tahun Intisari, September 2013.

“Kalau seperti Reader’s Digest bagaimana?” ujar Auwjong. Reader’s Digest terbit sejak 1922 di Amerika Serikat. Pada 1960-an, majalah bulanan ini sudah menjual waralaba ke mitra sejumlah negara.

“Boleh juga nih. Tetapi yang Indonesia. Pengetahuan umum yang populer. Human interest stories,” lanjut Jakob.

Untuk memperoleh izin terbit, Auwjong dan Jakob pergi ke markas Kodam Jaya. Hanya Jakob yang masuk. Auwjong tinggal di mobil yang diparkir agak jauh. Sebagai jurnalis yang medianya diberedel, tak menguntungkan jika Auwjong muncul. Sementara Jakob belum “tercemar” secara politis.

Ketika izin terbit turun, mereka berdua blusukan memburu para penulis. Misalnya, menemui pakar ekonomi Widjojo Nitisastro, Nugroho Notosusanto, dan Soe Hok Djin atau Arief Budiman.

Infografik Mozaik Eksistensi 6 Dekade

Infografik Mozaik Eksistensi 6 Dekade. tirto.id/Fuad

Arief ingat, mereka datang ke rumah orang tuanya di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat. Saat itu Arief masih kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan getol menulis di media massa. Tulisan-tulisannya, sebagian besar berupa kritik seni, ternyata disenangi Auwjong. Kakak Soe Hok Gie itu pun diincar sebagai kontributor.

“Kebetulan saya baru pulang dari perjalanan ke Bali, bersama seorang teman. Saya katakan bagaimana kalau saya menuliskan laporan perjalanan itu. Saya juga punya beberapa sketsa dari perjalanan itu,” kenang Arief dalam “Sebuah Tulisan Kecil, Seperempat Abad yang Lalu” yang dimuat di Intisari edisi Agustus 1988.

Pada tulisan tersebut, Arief mengisahkan perjumpaan dengan sejumlah pelukis asing, seperti Antonio Blanco dan Arie Smit, yang menetap di Bali. Juga keasyikannya menikmati alam yang asri dan menenangkan hati.

Sejak edisi perdana, Auwjong dan Jakob dibantu sarjana filsafat lulusan Belgia, J. Adisubrata. Kemahiran berbahasa Adisubrata dibutuhkan untuk menerjemahkan artikel-artikel mancanegara. Seorang sarjana hukum tanpa pengalaman jurnalistik, Irawati, ikut bergabung sejak edisi kedua.

Setia, Lincah, dan Gembira

Intisari akhirnya terbit. Hitam putih dan tidak bersampul. Dimensi 14 x 17,5 cm--seperti layaknya Reader’s Digest. Tebal 128 halaman. Edisi perdana dicetak 10.000 eksemplar dan langsung habis.

Dalam pengantar di edisi perdana, pengelola menyatakan, Intisari berusaha menjadi sahabat yang setia, lincah, dan gembira.

“Oleh karena itu kami berusaha keras agar isi Intisari enak dibatja orang. Enak karena isinja baik langsung maupun tak langsung menjangkut perikehidupan manusia jang njata, kongkrit, bukan tindjauan dan renungan jang abstrak. Enak karena gaja bahasa jang lantjar, mengadjak bertutur-kata,” tulis para pengelola.

Jika memeriksa edisi perdana, masih terselip “tindjauan dan renungan jang abstrak.” Jakob menulis “Tertib Permainan Demokrasi Terpimpin” sebagai artikel paling depan. Nada esai ini positif terhadap haluan politik yang diinisiasi Sukarno sejak Dekrit 5 Juli 1959 tersebut. Untuk “keselamatan” media, kiranya posisi politik penting ditegaskan sejak awal.

Jakob tertera sebagai pemimpin redaksi di masthead, JM Soewarto sebagai direksi. Nama Auwjong dan Adisubrata tak ada. Tapi, nama mereka tercantum seolah-olah penulis luar.

Intisari menggunakan alamat redaksi yang sama dengan Keng Po dan Star Weekly, yaitu di Jl Pintu Besar Selatan, Jakarta Barat. Percetakan yang dipakai juga sama, PT Kinta.

“Sedikit banyak kami mendapatkan sisa-sisa pembaca setia Keng Po dan Star Weekly….Karena Keng Po dan Star Weekly mempunyai basis pembaca yang kuat di kalangan keturunan Tionghoa, Intisari pun pada awalnya berangkat dari sana,” kenang Jakob dalam edisi khusus memperingati 50 tahun Intisari.

Ya, Intisari menghadirkan tulisan-tulisan feature, termasuk catatan perjalanan. Salah satu penulis perjalanan yang berkarya di Intisari adalah Haris Otto Kamil Tanzil atau H.O.K Tanzil. Ia traveller luar biasa. Sudah 240 negara dijelajahinya.

“…semua honorarium yang diperoleh dari majalah Intisari didermakan untuk panti-panti sosial yang pengurusannya dilakukan oleh bagian administrasi majalah Intisari,” tulis guru besar Mikrobiologi UI ini dalam pengantar Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, dan Amerika Latin (1984).

Selain catatan perjalanan, Intisari juga sering menyajikan artikel sejarah, yang bahkan ditulis pelakunya sendiri. Pada edisi Februari 1971, muncul tulisan mantan Menteri Luar Negeri Mohammad Roem berjudul “Jimat Diplomat”.

Ketika menjadi Ketua Delegasi RI dalam perundingan dengan Belanda, Roem dipanggil Presiden Sukarno. Ia minta menemui Panglima Jenderal Sudirman. Mematuhi Bung Karno, Roem pergi. Di sana, ia dipertemukan dengan “orang pintar”. Singkat cerita Roem dibekali jimat berupa selembar kertas yang dilipat dan diikat dengan benang putih.

Meski tak percaya klenik, Roem tetap menyimpannya untuk menghormati Sukarno dan Sudirman. Tak disangka, jimat tersebut menjadi bubur kertas. Tokoh Masyumi itu lupa mengeluarkan dari saku celana yang kemudian dicuci istrinya.

Berbeda dengan jimat yang sirna itu, Intisari terus melaju. Pemberedelan tak pernah mengancam. Pilihan untuk menyajikan tulisan-tulisan human interest secara renyah niscaya menjadi kunci keselamatan. Bukan pilihan salah juga. Entah berapa banyak informasi penting dan bermanfaat yang telah disampaikan ke pembaca oleh tim yang dibangun Auwjong dan Jakob.

Dua tahun setelah Intisari mulai beredar, Auwjong dan Jakob kembali membuat terobosan: mendirikan Kompas--koran terbesar dan berpengaruh di Indonesia sampai hari ini.

Baca juga artikel terkait MAJALAH INTISARI atau tulisan lainnya dari Yus Ariyanto

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Yus Ariyanto
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Nuran Wibisono