tirto.id - Industri otomotif nasional, termasuk program percepatan kendaraan listrik, masih bergantung pada impor bahan baku baja untuk memenuhi kebutuhan produksi.
Vice Chairman of Legal and Regulatory Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia (Periklindo), Puryanto, mengatakan ketidaksesuaian industri baja dalam negeri dalam menghasilkan material berkualitas tinggi menjadi penyebab utama.
Ia menjelaskan bahwa meski Indonesia kaya akan bahan baku mineral kritis seperti nikel untuk baja tahan karat atau stainless steel, industri hilirnya belum mampu memenuhi standar khusus untuk sektor otomotif.
"Saat ini raw steel masih impor, untuk bahan baku steel mobil masih impor," kata Puryanto dalam diskusi di acara Minerba Convex 2205, di JICC Senayan, Jakarta, Kamis (16/10/2025).
Menurut Puryanto, ketergantungan pada baja impor ini bukan tanpa alasan. Baja produksi dalam negeri dinilai masih memiliki kualitas yang rentan terhadap cacat material saat melalui proses produksi massal.
Pasalnya, baja hasil produksi dalam negeri ketika melalui proses produksi dengan tekanan tinggi rawan pecah. "Kenapa? Karena steel yang ada di lokal, kalau di stamping 1.000 ton sampai 2.000 ton itu crack (pecah)," ujarnya.
Ia menegaskan bahwa kondisi ini membuat baja lokal belum bisa menunjang industri otomotif. "Jadi belum bisa menenuhi kebutuhan dari bahan bakar industri mobil itu sendiri," tambahnya.
Selain baja, Puryanto juga menyoroti ketergantungan global pada bahan semikonduktor dan rare earth atau logam tanah jarang yang dikuasai oleh satu negara tertentu. Menurutnya, situasi ini sangat strategis dan dapat mempengaruhi ketahanan nasional dan industri.
Oleh karena itu, ia menekankan perlunya pendalaman riset dan penguasaan teknologi pengolahan hasil tambang dalam negeri. Langkah ini tidak hanya untuk mendukung industrialisasi, termasuk transformasi energi ke kendaraan listrik, tetapi juga untuk menghemat devisa negara.
Transformasi menuju kendaraan listrik, tutur Puryanto, memiliki tujuan strategis berupa pengurangan devisa untuk impor minyak, penurunan subsidi BBM fosil, dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat akibat polusi udara.
Ia mengusulkan realokasi sebagian subsidi BBM yang nilainya ratusan triliun tiap tahun untuk mempercepat pembangunan infrastruktur kendaraan listrik.
"Seandainya 10 persen dialokasikan untuk infrastruktur di EV, maka EV di Indonesia, baik motor maupun mobil akan cepat sekali terealisasi," ucapnya.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id







































