tirto.id -
Demo menolak penerapan zero over over dimension over loading (ODOL) oleh sopir truk di berbagai wilayah di Indonesia berdampak kepada industri di dalam negeri. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, industri yang paling terdampak dengan demo dan mogok para sopir truk ODOL ini adalah industri berat.
“Memang beberapa komoditas yang kita lihat berjalan menggunakan fasilitas (ODOL) tersebut adalah industri berat, seperti industri baja, industri semen, dan industri minuman,” katanya di Kemenko Perekonomian, Rabu (2/7/2025).
Airlangga menjelaskan, nantinya aspirasi para sopir truk dan pelaku bisnis angkutan barang ini akan ditampung untuk ditindaklanjuti dengan kementerian terkait.
“Tentu nanti apa yang menjadi aspirasi kita tampung dan dibicarakan dengan kementerian terkait,” ujarnya.
Tak hanya mengganggu kinerja sektor industri berat, demo dan mogok sopir truk ODOL ini juga berdampak pada meningkatnya biaya logistik.
Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) M. Akbar Djohan bilang, meskipun pihaknya belum menghitung berapa dampak ekonomi demo ini secara pasti, namun biaya logistik dapat dipastikan meningkat.
“Kita belum menghitung dampak ekonominya berapa persen. Tetapi yang pasti ada kenaikan, itu sudah pasti ada kenaikan,” katanya.
Menurutnya, penerapan zero ODOL harusnya dapat dilakukan secara bertahap. Meskipun, dari sisi keamanan dan keselamatan pihaknya mendukung untuk penerapan aturan yang akan dimulai pada 1 Januari 2026 ini.
Namun, sebelum benar-benar diberlakukan, dia mendorong agar pemerintah melakukan shifting atau perpindahan muatan dari truk ODOL ke kereta api atau kapal.
“Seharusnya shifting ke kereta api, ini sudah harus lebih masif didukung. Lalu short shipping, kita negara maritim. Seharusnya ketersediaan kapal short shipping, kapal Roro, kapal Landing Craft Tank (LCT) untuk mengangkut kargo-kargo berat yang berpotensi ODOL. Ini sudah harus dilakukan oleh pemerintah,” ujarnya.
Selain itu, menurutnya pemerintah juga perlu menggelontorkan sejumlah insentif bagi pengusaha angkutan logistik. Misalnya, dengan memberikan insentif pajak atau kepastian mendapatkan BBM bersubsidi.
Pasalnya, moda angkutan barang ini di lapangan kerap mengantre hanya untuk mendapatkan BBM bersubsidi. Waktu tunggu yang kelewat lama ini menurutnya menambang ongkos produksi.
“Mungkin Jakarta tidak terlalu. Tapi di daerah terasa. Nah, antrian ini kurang lebih istilah dwelling time, dampak kerugiannya lebih besar karena uncertainty. Dia nggak tahu berapa lama dia bisa mengisi,” ucapnya.
Di samping itu, dia juga menyarankan agar pemerintah mengalihkan anggaran untuk perbaikan jalan yang sebesar Rp47 triliun untuk menambah armada angkutan barang di bawah BUMN ataupun Kementerian Perhubungan.
“Dibanding kita membakar uang perawatan yang Rp47 triliun per tahun. Kenapa tidak kita lokasikan dalam penambahan armada yang bisa dilead oleh pemerintah,” tuturnya.
tirto.id - Insider
Reporter: Nanda Aria
Penulis: Nanda Aria
Editor: Hendra Friana