tirto.id - Anak-anak pengidap ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) sangat membutuhkan obat untuk tumbuh optimal. Namun, miskonsepsi dan kendala pasokan membuat mereka kesulitan mengakses pengobatan. Bagaimana solusinya?
Menurut dr. James Darmapuspita Aloysius Sp.KJ, sekitar 10 hingga 20 persen anak di Indonesia didiagnosis ADHD. Jumlah ini diprediksi lebih banyak mengingat banyak anak yang belum terdiagnosis.
"Kami di yayasan sering banget nemu orang tua-orang tua yang kesulitan untuk dapat akses obat itu,” kata dr James yang juga pendiri Komunitas ADHD Indonesia saat diwawancarai dalam siniar Kueri Tirto pada Agustus 2025.
Apa Itu ADHD?
ADHD adalah gangguan neurodevelopmental yang bersifat genetik. Kondisi ini bukan sekadar masalah kurang fokus, melainkan gangguan fungsi yang membutuhkan penanganan khusus.
ADHD kerap ditandai oleh hiperaktivitas, inatensi (kesulitan konsentrasi), dan impulsivitas. Gangguan ini didiagnosis mulai usia 4 tahun dan dapat berlanjut hingga dewasa.
"ADHD itu tuh sebenarnya gangguan neurodevelopmental ya. Jadi, itu gangguan perkembangan sebenarnya,” kata dr James.
Sebab utamanya adalah gangguan neurotransmitter di otak, khususnya norepinefrin dan dopamin yang kurang di area prefrontal cortex. Area ini berfungsi sebagai "rem" otak. ADHD adalah kondisi genetik yang dibawa sejak lahir. Ia bukan sesuatu yang berkembang karena kebiasaan.
Urgensi Obat untuk Anak-anak Pengidap ADHD
Bagi anak-anak, obat ADHD sangat krusial. Ini dapat membedakan apakah mereka bisa sekolah dengan baik atau tidak.
"Kalau pada anak itu penting sekali karena itu betul-betul membedakan antara dia bisa sekolah atau enggak. Itu akan menentukan level survival dia di sekolah," kata dr James.
Tanpa penanganan yang tepat di masa krusial ini, anak-anak ADHD rentan dianggap bodoh, nakal, di-bully, dan berpotensi mengalami komorbiditas gangguan mental di kemudian hari. Masa kecil hingga SMP merupakan periode paling krusial.
Di dunia internasional, ada dua obat utama (drug of choice) untuk ADHD, yaitu methylphenidate dan amphetamine. Kedua obat ini bekerja dengan menahan pengambilan kembali dopamin di otak, sehingga jumlahnya lebih banyak dan "rem" otak berfungsi lebih baik.
Di Indonesia, methylphenidate adalah satu-satunya pilihan obat yang tersedia. Amphetamine, meskipun di banyak negara lain masuk golongan psikotropik dan digunakan untuk ADHD, di Indonesia dikategorikan sebagai narkotika.
Kendala terbesar ada pada akses dan penyebaran obat. Meskipun methylphenidate dicover BPJS, penyebarannya belum merata hingga ke pelosok Indonesia.
“Ada satu di daerah Sulawesi pernah ngontak saya, [dia] bilang, 'Dok, kira-kira obat ini nyarinya di mana ya?' Kan ada jaringannya, itu saya nanya-nanya, di sini gitu dicari tetap enggak ada' misalnya. Itu kota besar loh salah satu kota besar di Pulau Sulawesi,” ceritanya.
Cerita lain terjadi di Sumatra Utara. Menurut dr James, seorang ibu ditolak apotek karena obat tersebut dianggap untuk pencandu narkoba, padahal sudah disertai resep dan Peraturan Menteri Kesehatan menyatakan kegunaannya untuk ADHD.
Selain itu, pasokan obat sering kali menjadi masalah nasional. Hanya ada satu pabrik di Indonesia yang memproduksi methylphenidate.
"Kalau nasional hilang, pusingnya luar biasa. Apalagi pabrik obatnya itu cuma satu loh yang produksi obat ini di Indonesia," ungkapnya.
Miskonsepsi masyarakat bahwa ADHD tidak membutuhkan obat, atau menganggap obatnya sebagai narkoba, turut memperparah masalah akses ini. Persepsi negatif ini sering kali membuat anak-anak pengidap ADHD dianggap bermasalah atau punya kelainan.
Masa Depan Anak Terancam
Dokter James menggarisbawahi dampak serius dari masalah ini. Jika 10 sampai 15 persen populasi anak Indonesia gagal sekolah karena ADHD tidak tertangani, Indonesia akan kehilangan potensi sumber daya manusia yang besar di masa depan.
"Program pemerintah buat membangun nutrisi lewat MBG jangan-jangan jadi malah nggak... kalau anak-anaknya nggak bisa dari sisi perkembangan. Dikasih makan banyak juga gizinya cukup kalau dia perkembangan otaknya DSD [gangguan perkembangan] ya dia akan kesulitan untuk belajar dan sekolah,” jelasnya.
Untuk mengatasi masalah ini, dr. James menyarankan beberapa langkah. Pertama, menghentikan kategorisasi amphetamine sebagai narkotika di Indonesia dan mengalihkannya sebagai psikotropika seperti di negara lain. Kedua, meningkatkan pengawasan penyalahgunaan obat, bukan dengan membatasi pasokan.
"Saya paham bahwa obat-obat kayak gini sering disalahgunakan, tapi bukan berarti kita mencegah penyalahgunaan dengan nyetop. Karena yang jadi korban anak-anak,” tegasnya.
Pentingnya sosialisasi dan edukasi mengenai ADHD dan pentingnya pengobatan, terutama pada anak-anak, menjadi kunci. Ini bukan sekadar isu kesehatan individu, melainkan masalah besar yang akan memengaruhi pembangunan sumber daya manusia di Indonesia.
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id


































