tirto.id - Kementerian Perdagangan (Kemendag) memutuskan untuk tidak memproses rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) mengenai pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas impor benang filamen sintetis tertentu asal Cina. Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional secara menyeluruh, serta masukan dari para pemangku kepentingan terkait.
"Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi industri TPT nasional, khususnya pasokan benang filamen sintetis tertentu ke pasar domestik yang masih terbatas," ujar Menteri Perdagangan (Mendag), Budi Santoso, dikutip Antara Jumat (20/6/2025).
Budi menjelaskan bahwa kapasitas produksi nasional belum mampu memenuhi kebutuhan industri pengguna dalam negeri. Sebagian besar produsen benang filamen sintetis tertentu, memproduksi untuk pemakaian sendiri.
Pertimbangan lainnya, sektor hulu industri TPT saat ini telah dikenakan trade remedies, seperti Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 46 Tahun 2023.
Selain itu, BMAD untuk produk polyester staple fiber dari India, Cina, dan Taiwan berdasarkan PMK Nomor 176 Tahun 2022. Jika BMAD atas benang filamen sintetis tertentu tetap diberlakukan, maka akan meningkatkan biaya produksi dan menurunkan daya saing sektor hilir.
"Sektor industri TPT baik hulu maupun hilir sedang menghadapi tekanan akibat dinamika geoekonomi-politik global, pengenaan tarif resiprokal dari Amerika Serikat, dan penutupan beberapa industri," katanya.
Budi juga menyoroti kontribusi industri TPT terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang mengalami penurunan sebesar 1,1 persen pada 2024 dari 1,3 persen pada 2019, terutama akibat dampak pandemi COVID-19.
Keputusan ini juga merupakan hasil dari koordinasi lintas kementerian. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Menteri Perindustrian yang memberikan masukan agar pengenaan BMAD ditinjau kembali.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengapresiasi pemerintah atas putusan Kemendag untuk tidak memproses lebih lanjut pengenaan BMAD terhadap impor produk benang filamen sintetik tertentu yang berasal dari Cina.
"Keputusan ini bukti bahwa pemerintah mendengarkan masukan dunia usaha berdasarkan informasi terkini dan dinamika pasar dunia," ujar Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan API, Anne P Sutanto.
Apresiasi juga diberikan API kepada kementerian dan lembaga pemerintah yang lain di mana pada saat Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), API dan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia(APSyFI) memaparkan pandangan terkait produk polyester oriented yarn (POY) dan draw textured yarn (DTY).
Terlebih dirinya menerima surat petisi dari 101 pengusaha tekstil sekitar tiga bulan lalu yang menilai pengenaan anti dumping terhadap POY dan DTY adalah bukan solusi yang tepat untuk industri hulu penghasil produk tersebut.
Ini karena kondisi dalam dua tahun terakhir kebutuhan akan POY hampir melonjak 10 kali lipat lebih besar dari kapasitas produksi POY dalam negeri, sehingga pengenaan anti dumping akan menurunkan daya saing produk turunan tekstil yang dihasilkan oleh produsen tekstil nasional.
Lebih lanjut efek dari pengenaan anti dumping dikhawatirkan akan menambah potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan pabrik tekstil. "Kekhawatiran mengenai dumping dari negara lain bisa tetap diatasi dengan pengaturan impor oleh pemerintah sesuai kinerja produksi masing-masing pihak," ujarnya.
Pengamat kebijakan publik sekaligus Direktur Eksekutif Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas, menambahkan dengan tidak dilanjutkan proses BMAD untuk benang filamen sintetis tertentu ini membuktikan dukungan pemerintah terhadap industri TPT tanah air agar mampu berkembang dan bangkit dari keterpurukan.
"Coba bayangkan jika BMAD ini dilakukan, berapa banyak industri TPT yang akan mengalami kebangkrutan karena harga bahan bakunya naik, dan perushaan akan stop produksi serta berapa banyak nasib karyawannya yang akan kena PHK masal," ujarnya.
Editor: Dwi Aditya Putra