Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Ikhtiar Politikus Memoles Citra di Medsos Demi Ceruk Pemilih Muda

Penggunaan media sosial untuk mendulang popularitas sudah tepat, tapi masih diperlukan kerja lebih lanjut mengubahnya menjadi elektabilitas.

Ikhtiar Politikus Memoles Citra di Medsos Demi Ceruk Pemilih Muda
Ilustrasi media sosial. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) dalam publikasi berjudul “Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035” memperkirakan jumlah penduduk Indonesia pada 2024 akan mirip dengan data 2020 yang didominasi usia produktif yaitu sekitar 191.570.000 penduduk atau 67,9% dari total keseluruhan. Hal ini berarti, pemilih pada gelaran pemilu serentak 2024 juga akan didominasi pemilih muda.

Dominasi para pemilih muda sebenarnya sudah dapat dilihat sejak gelaran Pemilu 2019. KPU mencatat jumlah DPT pemilu serentak 2019 sebanyak 192.828.520 orang. Dari jumlah tersebut, KPU menyebut, jumlah pemilih muda sudah mencapai 70 juta hingga 80 juta jiwa yang artinya 35% - 40% pemilih memiliki pengaruh terhadap hasil pemilu.

Untuk itu, tidak mengherankan bila sejumlah tokoh yang berharap maju sebagai kandidat calon presiden saat ini berlomba-lomba meraih perhatian pemilih muda demi mendulang kemenangan pada kontestasi Pilpres 2024 nanti.

Sejumlah kepala daerah yang namanya kerap menduduki posisi teratas di sejumlah survei, memanfaatkan peluang tersebut. Salah satunya dengan cara bermanuver melalui media sosial atau medsos.

Mereka antara lain: Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo; Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan; maupun Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Ketiganya bahkan sudah dideklarasikan sebagai kandidat pada 2024 oleh beberapa kelompok masyarakat yang menamakan diri “relawan.”

Ganjar misalnya. Melalui akun Instagram, Twitter hingga Tiktok miliknya, ia kerap mengunggah aktivitasnya sebagai gubernur mulai dari peninjauan pembangunan, kunjungan kerja, hingga sekadar tegur sapa dengan masyarakat. Terakhir ia terlihat mengunggah foto dirinya tengah melakukan peninjauan kawasan Industri Terpadu di Batang, Jawa Tengah, bersama dengan Presiden Joko Widodo.

Hal serupa dilakukan Anies Baswedan. Ia kerap kali menggunakan akun Instagramnya untuk mempublikasikan kegiatan hingga pencapaiannya sebagai gubernur. Baru-baru ini, akun media sosialnya sedang dibanjiri konten-konten tentang gelaran Formula-E di Jakarta. Sempat menuai kritik hingga gaduh karena sepinya sponsor dari dalam negeri, namun usai terlaksana, event tersebut menjelma menjadi portofolio kebanggaan sang gubernur.

Di sisi lain, Ridwan Kamil yang saat ini sedang menjadi sorotan usai tertimpa kemalangan sebab kehilangan anak sulungnya di Sungai Aare, Swiss. Media sosial yang biasa ia gunakan untuk mengunggah konten-konten kinerja pembangunan Jawa Barat atau sejumlah konten ringan berupa candaan, saat ini sedang dipenuhi deretan ucapan bela sungkawa.

Selain tiga kepala daerah di atas, dua menteri Jokowi di Kabinet Indonesia Maju yang juga memakai media sosial sebagai media sosialisasi sekaligus pencitraan adalah Erick Thohir dan Sandiaga Uno. Keduanya memanfaatkan media sosial dalam menunjukkan kinerjanya sebagai pembantu presiden.

Menarget Pemilih Muda

Penggunaan media sosial sebagai langkah untuk mendulang popularitas para elite politik tersebut dinilai tepat. Sebab, media sosial saat ini dimanfaatkan oleh generasi muda untuk menunjang hampir keseluruhan aktivitas mereka.

“Jadi memang suka tidak suka, mau tidak mau para tokoh politik itu mesti mengaktifkan media sosialnya untuk bisa membangun pencitraan kepada anak-anak muda melalui media sosial itu,” kata pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (8/6/2022).

Ujang merinci karakteristik pemilih muda yang diperkirakan akan mendominasi Pemilu 2024 mendatang. Menurutnya, pemilih muda memiliki keragaman karakter dan kepentingan, namun satu hal yang sama adalah kebutuhan akan politik berbasis bukti.

“Mereka itu harus didekati dengan politik-politik yang berdasarkan fakta. Artinya ada prestasinya, ada kinerja bagusnya. Ada hal-hal yang menjadi daya tarik pada anak muda itu. Kalau hanya pencitraan dan beda dengan kenyataannya, anak muda akan menghindar,” kata Ujang.

Hal senada diungkapkan sosiolog dan pakar politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Arie Sujito. Ia menyebut pemilih muda dengan istilah 'dynamic voters' atau pemilih yang dinamis. Mereka memiliki ciri umum seperti enggan didikte, mengandalkan kecepatan informasi serta kecenderungan berubah pikiran secara cepat.

Karena itu, menurut Arie, penting bagi para politisi yang ingin mendapatkan perhatian para pemilih muda untuk menyentuh isu dan cita-cita yang diperjuangkan oleh generasi muda tersebut.

“Yang paling penting di setiap segmen milenial itu harus diketahui apa isu yang menjadi perhatian mereka. Mimpi yang jangka panjang atau jangka pendek yang mereka geluti. Nah, di situlah kalau merek bisa menyentuh pada isu di mana mereka minati dan mimpi besarnya soal kerja, soal hobi soal aktivitas, soal cita-cita dan seterusnya itu biasanya akan diterima anak-anak milenial," kata Arie saat dihubungi reporter Tirto.

Dua Sisi Media Sosial

Meskipun dinilai tepat, tapi peneliti senior Lembaga Survei Jakarta (LSJ) Fetra Ardianto mengungkap, media sosial juga bisa berdampak negatif terhadap politikus. Hal ini diakibatkan tindakan provokatif warganet yang mengusung tokoh politik idola mereka. Ia mencontohkan Ganjar dan Anies menjadi segelintir tokoh politik yang terdampak aksi provokatif tersebut.

“Pendukung Ganjar dan Anies yang sangat 'provokatif' dan 'kontradiktif' di medsos justru dikhawatirkan oleh generasi digital natives membuat negeri ini akan terus terjebak dalam polarisasi 'cebong' versus 'kampret' yang tidak produktif," kata Fetra dalam konferensi pers hasil survei LSJ pada Kamis (19/5/2022).

Dampak negatif penggunaan media sosial tersebut juga diamini oleh sosiolog UGM, Arie Sujito. Ia mengatakan bahwa salah satu dampak negatif media sosial bagi para politisi yang juga pengguna aktif media sosial adalah potensi jual beli isu untuk saling serang.

“Ya karena pasar isu itu saling jual beli gitu, kan. Misalnya kelemahannya kandidat A mesti dibeli oleh netizen yang mendukung B gitu. Nah itu risiko, pasti akan dicari kelebihan di satu sisi (oleh) para timses. Terus kemudian timses yang berbeda akan mencari kelemahan," kata Arie.

Selain memiliki kelemahan, menggunakan media sosial sebagai metode meraih ceruk pemilih muda, kata Arie, juga sulit ditentukan ukuran keberhasilannya. Untuk itu, menurut Arie, diperlukan kecerdasan tim media dari para kandidat itu untuk melakukan riset lebih mendalam.

Arie mengomentari sejumlah tokoh pengguna media sosial, seperti Ridwan Kamil, Anies Baswedan, Sandiaga hingga Erick Thohir. Menurutnya, penggunaan media sosial mereka untuk mendulang popularitas sudah tepat, tapi masih diperlukan kerja lebih lanjut untuk mengubahnya menjadi elektabilitas.

“Tapi menggeser menjadi elektabilitas itu kerja-kerja yang berbeda. Karena itu membangun popularitas itu fase-fase penting awal. Kalau sudah populer terus kemudian elektabilitasnya kaya apa? Strategi nanti satu tahun terakhir bahkan 6 bulan terakhir elektabilitasnya akan menjadi pertaruhan,” kata Arie.

Parpol Juga Manfaatkan Media Sosial

Partai politik saat ini juga tengah berlomba meraih ceruk pemilih muda dengan berbagai cara. Partai lama seperti PKS misal, berusaha mendapatkan perhatian anak muda dengan memanfaatkan organisasi sayapnya serta merangkul calon kuat yang berpotensi mendapatkan suara pemilih muda.

“Di PKS ada PKS muda namanya. Dan PKS muda ini sudah ada di 27 provinsi. Memang sayap pemuda ini diberikan alokasi bahkan kalau untuk pileg 15 persen dapil utama, nomor satunya dikasih ke anak muda,” kata Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera saat dihubungi, Selasa (8/6/2022).

Mardani menambahkan, “Kalau untuk pimpinan, kan, memang ada tim khusus. Tapi nanti setiap unit yang menentukan koalisi untuk capres-cawapresnya tentu akan memasukkan dari tim anak muda agar mencari capres yang memang memiliki ceruk anak muda yang besar. Kalau saya, Anies Baswedan. Pribadi ya, pribadi,” kata Mardani.

Selain itu, Mardani juga menyebut strategi lain untuk meraih ceruk pemilih muda, yaitu dengan memunculkan tokoh anak muda serta memperjuangkan kepentingan anak muda.

Lain hal dengan PKS, partai baru seperti PSI berusaha meraih perhatian pemilih muda dengan mengarusutamakan isu yang menjadi perhatian para pemilih muda. Selain itu, PSI juga memilih gaya komunikasi yang mereka nilai sesuai dengan cara berpolitik generasi muda.

Ketua Umum DPP PSI, Giring Ganesha menerapkan strategi tersebut dengan cara reaktif terhadap program pemerintah yang sedang berkuasa.

“Bisa dilihat statement-statement yang dikeluarkan Giring maupun para jubir juga mencerminkan sikap-sikap politik. Jadi (pemilih muda) tahu, anak muda kalau berpolitik, tuh kaya gini," kata Juru Bicar PSI, Ariyo Bimmo saat dihubungi reporter Tirto.

Belakangan ini misal, Giring kerap menjadi sorotan lantaran beberapa kali melontarkan kritik terhadap gelaran Formula E yang identik dengan Anies Baswedan. PSI selalu menyorot kinerja Anies sebagai gubernur DKI karena PSI memosisikan diri sebagai oposisi.

Manuver Giring tersebut tidak lepas dari upaya meningkatkan elektabilitas. Sebagai catatan, mantan vokalis Band Nidji itu sempat mendeklarasikan diri sebagai calon presiden. Karena itu, aksi Giring tidak terlepas dari upaya menarik suara jelang Pemilu 2024, kata dosen politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah.

“Memang kalau dilihat dari sisi waktu, kita sedang mendekati tahun kontestasi politik terutama akan memuncak di akhir 2023, termasuk yang dilakukan Giring dengan meninjau lokasi atau calon lokasi Formula E. Ini jelas sekali terlihat upaya Giring untuk mendapat perhatian,” kata Dedi kepada reporter Tirto, Rabu (5/1/2022).

Juru Bicara PSI, Ariyo Bimmo berharap dengan cara yang mereka sebut sebagai 'ribut di medsos' tersebut dapat menambah dan mempertahankan ceruk pemilih PSI yang mereka klaim sebagai pemilih rasional tersebut.

Namun demikian, Arie Sujito menilai strategi pencitraan via media sosial tersebut tidak terlalu efektif jika digunakan oleh partai politik. Pasalnya, pertarungan pemilihan legislatif (pileg) justru kerap kali di antara faksi-faksi internal partai.

“Pileg itu pertarungannya di dalam partai sendiri juga keras, misalnya antar partai A itu di dalamnya ada faksi-faksi, itu terjadi di mana-mana, hampir semua partai. Urusan pileg itu lebih komplikatif, karena meskipun formalnya mendukung capres A, belum tentu nanti anggota legislatifnya mendukung (dari partai) A juga," kata Arie.

Selain karena pertarungan internal, strategi pencitraan untuk parpol juga dinilai sulit karena hanya dapat bergantung kepada tokoh-tokoh populer yang berada di lingkungan partai tersebut.

“Partai itu, kan bergantung kepada figur dan tokoh-tokoh atau para kader yang ada di dalamnya. Partai tidak akan jalan membangun elektabilitas, popularitas kalau tidak dijalankan oleh para ketua umum, pengurus dan kadernya,” kata Ujang Komarudin menambahkan.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Fatimatuz Zahra

tirto.id - Politik
Reporter: Fatimatuz Zahra
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz