tirto.id - Dua tahanan bernama Faisal Akbar dan Budri M. Zen meninggal dunia di Mapolsek Sijunjung, Sumatra Barat, hampir 10 tahun lalu. Adik kakak itu ditangkap karena mencuri kotak amal masjid dan disiksa. Polisi yang terbukti bersalah hanya mendapat hukuman kurang dari lima tahun penjara. Delapan tahun kemudian, nyawa budi “diganti” oleh Polri dengan nilai Rp500 juta seturut putusan pengadilan.
YLBHI menyebut kasus Faisal dan Budri menjadi pertanda “polisi masih bobrok.” Karena itu wajar pula sekitar tahun kejadian tersebut kepercayaan publik terhadap Polri relatif rendah. Survei dari Indikator Politik Indonesia menyebut angkanya 57,5%.
Beberapa tahun telah berlalu dan tingkat kepercayaan masyarakat ternyata meningkat. Angkanya terus naik dari tahun ke tahun sejak 2014. Masih dari lembaga survei yang sama, tingkat kepercayaan pada Polri kini angkanya sebesar 80,2%. Di antara lembaga penegak hukum lain seperti kejaksaan dan KPK, Polri bertengger di urutan paling atas.
Lalu, apakah hasil survei ini membuktikan bahwa Polri telah berbenah?
Sentimen di Media Sosial
Di media sosial, sejak beberapa waktu lalu sebagian pengguna meramaikan tanda pagar (tagar) “#1hari1oknum”. Biasanya tagar disertai dengan tautan berita yang tayang pada hari itu tentang tingkah anggota yang diduga atau bahkan sudah jelas melakukan tindak pidana.
Bisa dibilang pemicu tagar tersebut adalah laporan media Project Multatuli tentang Polri yang tidak serius menindak kasus dugaan pelecehan seksual. Tagar yang dipakai Project Multatuli, “#PercumaLaporPolisi”, diamplifikasi publik bahkan hingga beberapa hari yang lalu kembali menjadi trending topic di Twitter.
Kontras mengatakan munculnya tagar #PercumaLaporPolisi di media sosial pada Oktober 2021 “tidak lain merupakan ekspresi kekecewaan dan kritik masyarakat atas kerja-kerja Polri yang dalam berbagai kasus dianggap tidak akuntabel, transparan, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.”
Ternyata apa yang masyarakat pahami sebagai “oknum” bukan hanya satu atau dua, melainkan ribuan. Hal ini tampak dari data Divisi Bidang Profesi dan Pengamanan Mabes Polri yang menyebut setidaknya ada 1.694 kasus yang termasuk dalam pelanggaran disiplin, ditambah 803 kasus terkait kode etik, dan 147 kasus pidana dari Januari sampai Oktober 2021.
Sementara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut Polri adalah institusi yang paling sering diadukan sepanjang Januari hingga September 2021. “Ada yang terkait kekerasan, dan lain-lain, tetapi ada yang kaitannya penanganan perkara yang diadukan ke Komnas HAM oleh pihak yang sudah menyampaikan masalah mereka ke Polri, tapi pengaduan itu tidak ditindaklanjuti secara proper,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik.
Maka, kembali ke pertanyaan awal, dapat dikatakan bahwa kenyataan yang dialami masyarakat tak seindah hasil survei. Lalu, pertanyaan lanjutannya adalah, mengapa hasil survei belakangan justru mengungkap tingkat kepercayaan kepada Polri masih saja tinggi dan mereka tetap menjadi lembaga penegak hukum yang paling populer?
Penegakan Hukum Masih Abu-abu
Indikator mengakui temuannya terbantu oleh apa yang dilakukan Polri selama pandemi Covid-19, yaitu menyalurkan bantuan sosial (bersama TNI). “Tidak bisa dipungkiri, itu memiliki efek positif dalam persepsi masyarakat atas peran Polri dan TNI,” kata Kennedy Muslim dari Indikator Politik Indonesia kepada penulis Tirto, Rabu 8 Desember lalu.
Jika faktor tersebut berpengaruh, berarti penegakan hukum yang menjadi tugas utama Polri tidak dapat dikatakan sudah baik.
Burdin Hambali dalam “Tingkat Kepercayaan Masyarakat Terhadap Kinerja Polri” yang terbit di Jurnal Litbang Polri (2018) menyebut memang banyak indikator yang bisa menjadi tolok ukur pandangan masyarakat terhadap kepolisian, berdasarkan riset terhadap 1.941 orang dan 1.660 personel Polri.
“Indikator Daya Tanggap” terdiri dari enam poin: polisi memberikan hasil perkembangan penyidikan; polisi memberikan hasil perkembangan perizinan; polisi hadir di tempat kejadian perkara (TKP); polisi memberikan informasi tentang keamanan dan ketertiban; polisi memberi bantuan pada masyarakat yang membutuhkan; dan polisi merespons keluhan masyarakat.
Polri menunjukkan kecenderungan baik/sangat baik dalam hal “kehadiran anggota di TKP” dan “merespons keluhan dari masyarakat” (dengan selisih yang sangat tipis dengan mereka yang memilih tidak baik, tidak sampai 1%). Sedangkan empat poin lain, responden cenderung menganggap polisi tidak baik.
Hal-hal buruk bisa saja tertutup dengan indikator baik di berbagai poin lain, misalnya pelayanan pengaduan perkara. Dalam survei Burdin, sebanyak 58,94% responden sepakat Polri sudah menerima aduan dengan baik--yang sayangnya tidak sampai menyampaikan perkembangan penyidikan.
Burdin juga mengambil data dari anggota Polri untuk menilai kinerja mereka sendiri dalam menangani perkara, yang tentu saja rentan bias. Mayoritas responden Polri setuju bahwa mereka sudah menjalankan tugas dengan baik.
Sebanyak 59,22% responden Polri percaya bahwa masyarakat sudah puas dengan kinerja pelayanan mereka, termasuk soal empat poin yang menurut masyarakat tidak baik--melaporkan hasil penyidikan, melaporkan perkembangan perizinan, memberi bantuan pada masyarakat yang membutuhkan, dan memberikan informasi soal keamanan dan ketertiban.
Hanya Ramai di Media Sosial
Kritik dan hujatan pada Polri di media sosial tidak kendur hingga akhir tahun. Pemicu yang paling terbaru adalah ketika mereka tidak menahan tersangka kasus pemukulan di swalayan kawasan Medan yang terekam oleh kamera pengawas. Pelaku adalah anggota Satuan Tugas Cakra Buana PDIP.
Fenomena di media sosial tidak tampak dalam survei Charta Politika yang dilakukan November 2021. Mereka menemukan 46,4% responden menganggap penegakan hukum sudah baik dan 4,2% sangat baik. Dari jumlah tersebut, mereka yang percaya pada Polri sebanyak 66,8% dan sangat percaya 5,8%. Hasil serupa ditemukan dalam survei Indikator Politik Indonesia pada awal November 2021 dan keluar bulan ini. Indikator menemukan responden yang sangat percaya kepada Polri mencapai 16%, sedangkan yang percaya di angka 64%.
Kennedy Muslim dari Indikator Politik Indonesia menduga sentimen di media sosial tak berpengaruh banyak terhadap hasil survei. Hal ini dikarenakan masalah akses internet responden terkait. “Bisa disimpulkan isu-isu negatif yang menerpa institusi Polri di media sosial hanya sebagian vocal minority yang tidak mencerminkan tingkat kepercayaan publik akhir-akhir ini kepada Polri,” kata Kennedy lagi.
Responden mereka yang menggunakan internet baru sekitar 70% dan hanya 5% “pengguna aktif Twitter” dan menggunakan media sosial “sebagai sarana informasi.”
Meski sedikit, mereka yang menggunakan internet ditemukan lebih banyak yang sedikit percaya atau bahkan tidak percaya sama sekali kepada Polri dibanding yang tidak menggunakan internet. Selain itu, responden Indikator berusia di bawah 30--dan merupakan penyumbang terbesar pengguna internet di Indonesia--cenderung kurang percaya Polri dibandingkan kelompok usia di atasnya. Ditelaah lebih jauh, mereka kemungkinan merupakan mahasiswa atau mereka yang menempuh pendidikan tinggi.
Kennedy menuturkan, “Kita dapat membaca pola bahwa tingkat skeptisisme (ketidakpercayaan) terhadap Polri cenderung berasal dari responden dengan tingkat pendidikan dan pendapatan tinggi yang tinggal di perkotaan.”
Apa pun hasil survei, Polri tetap harus memperbaiki diri. Seperti dikatakan Kontras, Polri semestinya tidak cepat puas diri dan melakukan “evaluasi menyeluruh dan mengambil langkah perbaikan bagi pelaksanaan tugas kepolisian yang mengedepankan prinsip-prinsip pemolisian demokratik dan penghormatan hak asasi manusia.” Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengaku akan melakukan itu, tapi entah kapan kita tidak lagi perlu melihat personel yang melakukan tindakan tak patut.
Editor: Rio Apinino