Menuju konten utama

Brutalitas Polisi Siksa Herman Ramai-Ramai Sampai Mati

Herman meninggal dunia setelah ditangkap polisi. Sekujur tubuhnya penuh luka. Penanganan seperti ini harus dihentikan.

Brutalitas Polisi Siksa Herman Ramai-Ramai Sampai Mati
Ilustrasi pembunuhan. YOUTUBE

tirto.id - Seorang pelayat membuka kain kafan penutup kaki jenazah Herman (38) pada Jumat 4 Desember 2020. Didapatilah kedua dengkul, betis bagian depan, hingga pergelangan penuh luka gores menghitam. Ketika kain bagian kepala sedikit disibak, terlihat darah menempel di bagian kiri.

Kain itu belum ditata dengan benar sehingga pelayat yang duduk berkeliling dapat melihat. Mereka pun bersahutan.

“Aku ndak terima, aku ndak terima kakakku diginiin!”

“Matanya terbuka, kan.”

“Buka habis badannya Herman, buka habis!”

“Enggak usah divisum, ini ketahuan.”

Herman, anak tertua dari empat bersaudara, masih bernyawa dua hari sebelumnya. Sekira pukul 21, rehat Herman terganggu oleh tiga pria yang menyambangi kediamannya di kawasan Jalan Borobudur, Balikpapan Utara, Kalimantan Timur. Adik sepupu dan pamannya yang pertama kali menerima kedatangan para ‘tamu’.

Tanpa menunjukkan surat apa pun, tiga orang itu membawa pergi Herman yang kala itu hanya bercelana dan telanjang dada. Lelaki itu kemudian dimasukkan ke mobil.

Karena menduga orang-orang misterius ini polisi, dua adik Herman langsung mendatangi Polsek Balikpapan Utara tapi hasilnya nihil. Polisi bilang Herman tidak ada di sana. Mereka lantas menyambangi Polres Balikpapan pukul 1 pagi. Di sanalah mereka dapat kepastian keberadaan sang kakak.

Petugas jaga saat itu membenarkan Herman ditangkap karena kasus pencurian ponsel pada Februari 2020. Dua ponsel jadi barang bukti.

Meski keberadaannya telah diketahui, Herman tak bisa dijenguk dengan alasan masih diperiksa. Hesti, adik Herman, bukan nama sebenarnya, lantas berpesan kepada polisi jaga untuk tidak menyiksa sang kakak. “Tenang saja, mbak, Herman aman sama kami. Kami enggak seperti itu,” tutur Hesti kepada reporter Tirto, Senin (8/2/2021).

Pakaian yang dibawa dari rumah lantas diserahkan ke petugas. Hesti pun pulang.

Setelah berjam-jam tak ada lagi kabar, sekitar pukul 21 tanggal 3 Desember, ada polisi datang ke rumah Herman dan mengajak Hesti untuk ikut ke polres tanpa memberitahukan maksudnya. Haryani, bukan nama sebenarnya, adik pertama Herman, dan suaminya, akhirnya menuruti permintaan tersebut.

Kabar yang mereka dapati ternyata begitu menyayat hati. Mereka datang hanya untuk dikabari bahwa sang kakak telah tewas. Polisi bilang Herman buang air dan muntah-muntah setelah diberi makan. Ia meninggal saat dilarikan ke rumah sakit.

Haryani lalu menelepon Hesti untuk mengabarkan bahwa Herman tewas. Hesti bersama Hanifah pun menyusul ke polres.

Mereka semua hendak melihat kondisi sang kakak yang telah jadi jenazah, tapi polisi melarang. Keluarga dan polisi baku pendapat hingga pukul 2 dini hari.

Seorang polisi mengatakan Herman telah dimandikan, disalati, dan dikafankan, serta keluarga “tak perlu memikirkan jenazah.” Bahkan polisi itu memperlihatkan foto liang lahat untuk Herman di TPU Telindung. Lubang itu digali sekitar petang, tapi keluarga baru dikabarkan sekitar tiga jam kemudian.

Usai berdebat panjang, tercapailah kesepakatan bahwa polisi akan mengantarkan jenazah pukul 8 pagi hari itu juga, 4 Desember. Namun polisi tak juga datang pada waktu yang telah dijanjikan. Perwakilan warga dan paman Herman mendatangi RS Bhayangkara Balikpapan untuk mengambil jenazah.

“Sampai di sini jam 9 lewat. Jenazah kakak sudah [dibalut] plastik putih di badannya kemudian kafan. Sudah dimandikan. Begitu kami buka kafannya, sekujur badan kakak penuh luka-luka. Telinga kiri hampir putus dan mengeluarkan darah, tangan kirinya patah,” terang Hesti sembari terisak. Di punggung Herman ada luka juga, tulang rusuknya dislokasi, agak naik dari letak normal.

Dalam keadaan kalut Hesti tancap gas motor ke Polres Balikpapan hendak menggugat mengapa kondisi jenazah abangnya seperti itu. Seorang polisi dari divisi profesi ikut ke rumah setelah dipaksa.

Herman akhirnya dikuburkan di TPU Kilo Balikpapan dengan darah yang masih keluar dari tubuh.

Pada malam pertama tahlilan, polisi datang dan menyerahkan uang Rp2,5 juta. Begitu juga di hari ketiga. Menjelang tahlilah hari ke-40, polisi datang membawa amplop berisi uang lebih banyak, Rp25 juta. Uang berasal dari Kapolres Balikpapan dan disebut sebagai ‘bantuan tahlilan.’ Semua uang itu dikelola oleh Marfuah, bukan nama sebenarnya, istri Herman.

Brutalitas Aparat, PR Kapolri Baru

Hesti yakin kakaknya dibantai. “Hingga detik ini pun saya tidak tahu siapa pelakunya dan penyebabnya,” katanya. Ia tak mau uang yang telah polisi berikan jadi ‘alat damai’. Ia, keluarga, bahkan penduduk setempat ingin keadilan. “Ini pembunuhan, saya tunggu penjelasan dari polres kepada saya dan keluarga, tapi tidak ada.”

Karena tak juga ada kejelasan, keluarga dibantu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda menggugat ke Reskrimum Polda Kaltim pada 4 Februari 2021. Dasar pengaduan adalah Pasal 28A UUD 1945; Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999; Pasal 6 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik; Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (2) huruf a dan b, Pasal 11 ayat (1) huruf b, Pasal 13 ayat (1) huruf a Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009.

Kuasa hukum keluarga korban, Fathul Huda Wiyashadi, mengutuk peristiwa ini. “Penegakan hukum harus sesuai dengan prosedur, jangan sesuai nafsu. Rusak Polri jika begitu caranya,” katanya ketika dihubungi reporter Tirto, Senin.

Selain meminta diselesaikan dengan adil, agar kasus serupa tak terulang, ia meminta Listyo Sigit Prabowo yang baru saja terpilih sebagai Kapolri melakukan pembenahan total, yaitu benar-benar dapat memastikan polisi hingga pelosok menangani perkara secara humanis.

Wakil Koordinator II Kontras Rivanlee Anandar mengatakan kasus seperti ini menjadikan Polri sebagai momok--institusi yang menakutkan karena berbahaya, ganas, dan sebagainya. Apalagi kasus serupa terus saja berulang.

Sebelum kasus ini ada peristiwa penembakan Deki Susanto oleh polisi. Ia ditembak mati persis di kepala di depan keluarganya, 27 Januari 2021. Deki adalah tersangka kasus judi di Solok Selatan, Sumatera Barat. Polisi mengklaim menembak Deki karena ia melawan petugas dengan senjata tajam. Kasus lain yang mungkin paling diingat publik adalah pembedilan hingga meninggal dunia enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) akhir Desember lalu.

“Hal ini semakin menjadi momok ketika kepolisian resisten terhadap kritik, sehingga perbaikan sulit sekali tercapai,” katanya kepada reporter Tirto, Senin.

Rivan mengatakan kasus seperti ini sering kali berujung pemberian uang kerahiman dan berhenti pada mekanisme etik. Pelaku jarang diajukan ke peradilan umum sehingga tak memenuhi rasa keadilan terhadap korban.

Kabid Humas Polda Kaltim Kombes Pol Ade Yaya Suryana mengatakan berdasarkan pemeriksaan oleh Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Kaltim terhadap tujuh saksi yang terdiri dari anggota Polres Balikpapan, pihak rumah sakit, dan keluarga korban, ditetapkan “enam terduga pelanggar,” kode etik profesi yang diatur dalam peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011. Mereka berinisial AGS, RH, TKA, ASR, RSS, dan GSR.

“Enam terduga pelanggar ini telah dicopot dari jabatannya,” katanya, Senin.

Sementara Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono memastikan selain kode etik, tersangka akan dikenakan pidana. “Anggota kepolisian yang melakukan penganiayaan mengakibatkan meninggal tersangka (Herman) kami kenakan pidana dan kode etik,” ucap Argo di Mabes Polri, Selasa (8/2/2021).

Baca juga artikel terkait KASUS PENGANIAYAAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino