Menuju konten utama

Betapa Sia-Sia Polri Ajak Warga "Jangan Ragu Lapor Tindak Pidana"

Polisi minta warga tak ragu lapor tindak pidana, tapi itu sia-sia karena selama ini mereka kerap kali dikecewakan.

Betapa Sia-Sia Polri Ajak Warga
Anggota Polisi Wanita membacakan Asmaul Husna saat aksi unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja, di Gedung DPRD Kabupaten Karawang, Karawang, Jawa Barat, Selasa (20/10/2020). ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/hp.

tirto.id - Hai Sobat Polri...

Jika anda ingin melapor atas sebuah tindak pidana, laporkan saja yaa

Jangan Malu, Jangan Ragu..

Polri pasti siap membantu

Stop Kejahatan

Jangan Ragu Untuk Laporkan

Cuitan Divisi Humas Polri pada 5 November lalu itu memanen respons warganet. Saat naskah ini ditulis, Senin 9 November, unggahan itu telah mendapat 4.796 balasan dan dikutip 7.042 kali. Namun, respons masyarakat jauh dari kata positif. Kebanyakan menumpahkan kekesalan lantaran laporan mereka tak berbuah apa pun, bahkan ada beberapa yang mengaku malah diperas agar kasusnya ditangani.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono menanggapi pertanyaan reporter Tirto soal respons warganet ini, Senin (9/11/2020). Menurutnya, semua itu menandakan "kalau masyarakat banyak perhatian sama polisi." Sementara Twitter Divisi Humas Polri beberapa kali membalas cuitan dengan jawaban template: "Terima kasih masukan dan responsnya terhadap tweet ini. Akan kami jadikan masukan untuk perbaikan pelayanan Polri ke depan."

Salah satu yang punya pengalaman buruk saat melaporkan kasus ke polisi adalah jurnalis Tirto Haris Prabowo. Ia menjadi korban kekerasan dan intimidasi polisi dan nyaris diciduk saat meliput demonstrasi Reformasi Dikorupsi 30 September tahun lalu. Ketika itu ia sudah mengaku sebagai wartawan dan menunjukkan kartu pers. Hal serupa dialami 3 jurnalis lain.

Mereka lantas mengadu ke Polda Metro Jaya dan Propam. Hingga saat ini, setelah setahun berlalu, kasusnya tak ada kejelasan. Polisi selalu berdalih bahwa yang melakukan intimidasi dan kekerasan tak bisa dilacak karena ketika itu yang bertugas Brimob dari berbagai daerah. Bagi Haris alasan itu tak masuk akal karena institusi sekelas Polri pasti tidak asal menempatkan personel. Semua tercatat dan oleh karenanya semestinya bisa dilacak. Apalagi ia juga menyertakan bukti berupa foto, video, dan rekaman suara saat kejadian.

"Polisi minta warga melapor, tapi ketika anggotanya yang dilapor, malah enggak pernah ada upaya serius menyelesaikannya," kata Haris.

Pengalaman serupa dialami peneliti kebijakan publik Ravio Patra. Ia membandingkan situasi ketika ditangkap polisi karena dianggap menghasut orang berbuat onar dan saat mengadu ke Mabes Polri sebanyak enam kali atas kasus pembobolan Whatsapp miliknya pada April 2020 lalu.

"Kepolisian begitu mudah, ringan tangan, melakukan tindakan paksa terhadap saya tanpa bekal bukti yang kuat dalam proses penyelidikan sampai mengenakan 5 pasal sekaligus, tapi ketika saya membuat laporan sebagai korban mereka tidak melihat unsur pidana," kata Ravio kepada reporter Tirto, Senin.

Jebolan Universitas Padjajaran itu cukup lantang mengkritik pemerintahan Joko Widodo, mulai dari dugaan konflik kepentingan di antara staf khusus millenial, kejanggalan dalam pemilihan mitra program Kartu Prakerja, industri buzzer, hingga pasal karet UU ITE. Aktivitas itu diduga sebagai latar belakang penangkapan pada Kamis 23 April lalu.

Sehari sebelumnya, Whatsapp-nya diretas kemudian digunakan untuk menyebar pesan provokatif. Ravio kemudian ditahan selama 33 jam dan diinterogasi sebanyak dua kali tanpa pendamping hukum.

Buntu di Mabes Polri, Ravio mengadu ke Polda Metro Jaya. Kali ini laporannya diterima tetapi tanpa titik cerah. Polisi hanya pernah meminta klarifikasi kepada Ravio satu kali dan meminta keterangan seorang saksi.

Begitu pula dengan aduannya ke Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri atas dugaan pelanggaran prosedur dalam penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan terhadap dirinya. Hingga saat ini ujungnya tak jelas.

Ia melihat seluruh persoalan ini adalah penyakit kronis yang sudah terjadi sejak lama. Di satu sisi ada perangkat hukum yang mumpuni, mulai dari undang-undang, aparat penegak hukum, hingga pengawas jalannya penegakan hukum; tapi di sisi lain korban kesewenang-wenangan aparat dan ketidakpastian hukum selalu saja ada. Penyakit itu semakin memburuk saat ini.

"Saya rasa juga banyak [aparat] di dalam sistem yang menginginkan perubahan, tapi ketiadaan akuntabilitas dan transparansi membuat pihak-pihak petinggi yang berkuasa seolah menjalankan lembaga negara seperti mengelola usaha dagang keluarga," kata Ravio.

Anggaran Bengkak

Kasus mangkrak di Korps Bhayangkara terus terjadi ketika anggaran yang dialokasikan untuk penyelidikan dan penyidikan mencapai Rp5,49 triliun, jauh lebih besar dibanding anggaran Kejaksaan untuk pos yang sama. Fakta ini sempat menuai sorotan anggota Komisi III DPR dalam Rapat Kerja dan Anggaran Kementerian Lembaga (RKA K/L), 14 September.

"Penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan Polri apa sudah sebanding dengan apa yang dilakukan Kejaksaan dan Mahkamah Agung? Penyelidikan dan penyidikan berapa persen yang sampai ke penuntutan?" kata legislator dari Partai Gerindra Wihadi Wiyanto. Ia lantas memberikan contoh: "Saya sering kali mendengar laporan, banyak sekali penangkapan narkoba jarang masuk ke penuntutan, selesai di situ saja, tetapi kasus ini berjalan dan ada anggaran di situ."

Pengacara publik dari LBH Jakarta Shaleh Alghifari menyebut praktik itu sebagai undue delay, yang mudahnya adalah memperlambat keputusan tanpa alasan yang bisa diterima. Satu contoh ialah kasus penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Menurutnya, jika memang kasus itu sesederhana yang ditampilkan di sidang--tersangka menyiram Novel semata karena motif pribadi--semestinya polisi tak butuh waktu lama mengungkapnya.

"Artinya ada sesuatu yang tidak dilakukan secara profesional," kata Alghifari kepada reporter Tirto, Senin.

Perkara ini bukan hanya masalah di internal Polri, tapi juga karena lemahnya pengawasan dari Kejaksaan. Seyogianya Korps Adhyaksa berperan sebagai dominis litis atau pengendali perkara, katanya. Artinya jaksa memantau jalannya penyidikan termasuk memastikan kasus terus berjalan.

Selain pengawasan, Polri juga masih minim audit dan evaluasi, kata peneliti Kontras Rivanlee Anandar. Di sisi lain, kritik dari publik sering kali dianggap sebagai serangan, alih-alih diambil sebagai pelajaran.

"Di sisi lain, kinerja kepolisian saat ini lebih terlihat sebagai pelindung kekuasaan yang ditandai dengan maraknya represivitas dan model pembungkaman di dunia digital. Hal itulah yang menjadi salah satu penyebab ketidakprofesionalan polisi," kata Rivan kepada reporter Tirto, Senin.

Baca juga artikel terkait POLRI atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie & Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie & Adi Briantika
Penulis: Mohammad Bernie & Adi Briantika
Editor: Rio Apinino