Menuju konten utama
Pilkada Jakarta 2024

Ide Kun Wardana Pindahkan Awan Bukan Solusi Atasi Banjir Jakarta

Ide memindahkan awan hujan yang ada di Bogor agar memininalisir banjir Jakarta justru akan merusak tatanan kehidupan dan lingkungan.

Ide Kun Wardana Pindahkan Awan Bukan Solusi Atasi Banjir Jakarta
Awan tebal yang menyelimuti Monas di Jakarta, Jumat (15/3/2024). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/YU

tirto.id - Bakal calon gubernur-wakil gubernur jalur independen di Pilkada Jakarta, Dharma Pongrekun-Kun Wardana Abyoto, mengklaim bisa mengatasi banjir di Jakarta dengan berbagai inovasi. Salah satu inovasi yang mereka siapkan adalah teknologi memindahkan awan. Gebrakan ini diucapkan Kun Wardana saat mendengarkan aspirasi warga Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Rabu (11/9/2024).

“Sudah ada alat sekarang. Nah, alatnya sudah canggih. Jadi bisa memindahkan awan tadi agar tidak terjadi curah hujan terlalu tinggi di Bogor,” kata Kun Wardana saat menanggapi warga yang bertanya soal banjir berulang di Jakarta.

Ia menilai jika memindahkan awan yang ada di Bogor, maka curah hujan di kota hujan itu bisa ditekan. Alhasil, tidak terjadi air kiriman dari Bogor ke jakarta karena curah hujan yang tinggi. Menurut Kun, kecanggihan teknologi semakin maju sehingga hujan dapat diprediksi kedatangannya.

“Itu sudah bisa diprediksi dan awan itu terpecah, tidak terkonsentrasi di Bogor, otomatis kita tidak mendapatkan kiriman banjir dari Bogor,” ungkap Kun.

Selain itu, Dharma-Kun menyatakan siap melanjutkan program-program gubernur terdahulu dalam mengatasi persoalan banjir di Jakarta. Misalnya, sumur resapan era Anies Baswedan yang dinilai Kun Wardana berfungsi baik menangani banjir.

Pindahkan Awan Bukan Solusi Banjir Jakarta

Juru kampanye WALHI Jakarta, Muhammad Aminullah, memandang gagasan Kun Wardana yang hendak memindahkan awan hujan, bukan jawaban dari masalah banjir Jakarta. Aminullah menyatakan bahwa rencana ini justru akan mempengaruhi kehidupan dan lingkungan.

Hujan memang dapat diprediksi, namun bukan berarti siklus hidrologi tersebut harus ditolak. Hujan, kata Aminullah, berguna sebagai cadangan air tanah dan membantu tumbuhan terus hidup. Air hujan juga berguna sebagai sumber air minum manusia, sehingga mencegahnya turun bukan sebuah solusi bijak.

“Kehidupan yang di bawah, di manusia gitu di bumi, daratnya gitu, itu juga akan mengalami perubahan sehingga kita terus-terusan nantinya berupaya memodifikasi lingkungan hidup,” kata Aminullah kepada reporter Tirto, Kamis (12/9/2024).

Ia berpendapat, cara tepat mengatasi banjir justru dengan menyiapkan daratan atau tanah yang mampu menyerap air hujan. Aminullah menyatakan, banjir di Jakarta sering kali terjadi karena permukaan tanahnya tak siap menyerap debit air hujan yang tinggi. Hal itu akibat tata kota dan pembangunan di Jakarta yang semrawut.

WALHI Jakarta pernah melakukan riset di 2022 dan menemukan bahwa banjir justru terjadi ketika sungai-sungai di Jakarta dalam kondisi normal. Banjir yang disebabkan air kiriman wilayah hulu, kata Aminullah, hanya terjadi sekitar 20 persen. Ia menilai, beberapa riset menyebut bahwa kemampuan tanah Jakarta menyerap air hujan hanya tersisa 10 persen.

“90 persennya itu menjadi limpahan, itu menjadi genangan. Nah dari situ kelihatan enggak sanggup untuk menyerap air tanah. Kenapa? Pertama akibat pembetonan, pembangunan yang masif di Jakarta,” ujar Aminullah.

BANJIR DI KAWASAN PASAR WARUNG BUNCIT

Sebuah bus MiniTrans menerobos banjir di kawasan Pasar Warung Buncit, Jakarta Selatan, Sabtu (15/10/2022). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/rwa.

Aminullah menilai mayoritas wilayah Jakarta sudah berubah menjadi bangunan dan gedung tinggi seperti mal dan perkantoran. Sementara itu, ruang terbuka hijau dan daerah resapan air mengalami penyusutan yang signifikan sepanjang tahun. Ditambah, persoalan klasik di metropolitan seperti drainase dan got yang meluap saat hujan berujung tumpukan sampah.

“Jadi bukan hujannya yang dihilangkan, tapi memperkuat, atau membuat gitu ya bagaimana daratan kita ini, itu bisa kembali berfungsi untuk menyerap air,” ucap Aminullah.

Aminullah memandang isu banjir masih sering jadi slogan politik setiap pilkada berlangsung di Jakarta. Nyatanya, belum ada pemimpin yang benar-benar mampu mengatasi persoalan tata kelola kota Jakarta yang semakin payah dalam menampung hujan.

Upaya mengatasi persoalan banjir memang diakui terus dilakukan. Namun WALHI Jakarta melihat pemerintah daerah masih berfokus dengan solusi pembangunan infrastruktur. Upaya normalisasi, penyodetan, hingga pembetonan bantaran sungai hanya membenahi persoalan di wilayah hulu.

“Kalau berani ya kembalikan kemampuan tanah di Jakarta. Berani atau tidak, melawan pengembang, merebut lahan-lahan area hijau dikembalikan jadi fungsi tanahnya itu supaya bisa menyerap kembali air-air hujan,” ujar Aminulah.

Pendapat Aminullah selaras dengan hasil riset Thanti Octavianti dari University of the West of England. Riset yang dilakukan bersama Katrina Charles, dari University of Oxford, Inggris, itu menemukan bahwa sepanjang era modern, penanganan banjir Jakarta selalu bergantung pada infrastruktur sebagai solusi.

Padahal, pendekatan infrastruktur memiliki dampak lingkungan dan peningkatan risiko banjir di wilayah lain. Banjir, justru masih kerap terjadi akibat kombinasi dari berkurangnya daerah resapan air dan tingginya intensitas hujan.

Pindahkan Awan Bukan Ide Baru

Pengamat Tata Kota, M Azis Muslim, mengatakan bahwa ide yang ditawarkan Kun Wardana mengusir awan hujan di Bogor sebetulnya masuk dalam kategori teknologi modifikasi cuaca (TMC). Ia menilai TMC sudah sering dilakukan dan bukan hal baru di Indonesia.

Kendati demikian, Azis mengingatkan bahwa banjir Jakarta merupakan persoalan kompleks. Selain karena faktor geografis dan tata kota, perubahan iklim dan sosio-kultural masyarakat juga ikut mempengaruhi persoalan banjir.

Azis menilai, penggunaan TMC mengatasi persoalan banjir tidak membenahi permasalahan secara menyeluruh. Ditambah, TMC merupakan praktik yang memakan biaya tak sedikit.

“Studi di BRIN untuk sekali lakukan TMC membutuhkan sekitar Rp200 juta. Nah tapi itu kan tidak menyelesaikan permasalahan mendasarnya, ibaratnya ya itu hanya menyembuhkan semacam gejalanya,” terang Azis kepada reporter Tirto, Kamis (12/9/2024).

Menurutnya, penanganan banjir Jakarta perlu selaras antara pembenahan di hulu dan hilir. Di hulu, kata dia, ada upaya-upaya melakukan normalisasi sungai dan pembuatan embung serta waduk untuk menampung air hujan. Misalnya, pembuatan banjir kanal timur dan barat.

Selain itu, perlu juga kesadaran masyarakat sepanjang bantaran sungai untuk sama-sama menjaga alam dengan tidak membuang sampah ke sungai.

Adapun di hilir, Azis menilai program sumur resapan memang sudah cukup baik. Namun, itu saja tidak cukup tanpa diiringi upaya lain dalam melakukan pengelolaan tata kota. Sebab, fungsi utama sumur resapan untuk menampung air, bukan menyerap luapan air.

“Artinya keberadaan sumur resapan ini kan juga kita bicara terkait dengan masalah selain penanganan banjir, juga kita bicara masalah sustainability air yang ada di Jakarta,” kata Azis.

BNPB modifikasi cuaca di Jabodetabek

Petugas berkoordinasi dengan pilot menentukan titik operasi teknologi modifikasi cuaca di dalam pesawat Cessna Caravan saat berada di langit wilayah Ujung Kulon, Banten, Selasa (9/1/2024). BNPB bersama BMKG dan BRIN melakukan operasi teknologi modifikasi cuaca sebagai upaya meminimalisir berkumpulnya awan yang berpotensi menimbulkan intensitas hujan tinggi terjadi di sejumlah wilayah Jabodetabek yang rawan terkena bencana hidrometeorologi. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin.

Sementara itu, Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menilai teknologi modifikasi cuaca mahal dan jelas tidak efektif sama sekali mengendalikan atau mengurangi banjir.

Nirwono menilai, saat musim hujan, tentu TMC tak akan mampu menghambat curah hujan lebat karena melawan kodrat alam.

Seharusnya, kata dia, penanganan banjir Jakarta harus dilakukan menyeluruh dan bertahap sesuai anggaran yang tersedia. Harus ada target capaian yang jelas dan terukur dalam lima tahun ke depan jika gubernur baru serius membenahi persoalan banjir.

“Pahami dengan benar persoalan banjir sehingga rencana kegiatan yang akan dilakukan dalam 5 tahun dapat diterapkan secara realistis,” ujar Nirwono kepada reporter Tirto, Kamis (12/9/2024).

Menurut Nirwono, ada tiga jenis banjir di Jakarta yakni banjir kiriman, banjir lokal, dan banjir rob.

Banjir kiriman persoalannya ada di sungai dari hulu ke hilir. Yakni soal pengendalian tata ruang sempadan sungai, bagaimana memperlebar dan memperdalam sehingga dapat meningkatkan kapasitas daya tampung air sungai saat puncak musim hujan.

“Serta mengoptimalkan situ, danau, embung, waduk, kolam penampung, untuk menampung air sungai sekaligus mengurangi dampak banjir dan sebagai cadangan air saat musim kemarau,” tutur dia.

Sementara itu, banjir lokal disebabkan kondisi saluran air yang buruk secara menyeluruh. Harus ada perbaikan agar daya tampung air meningkat, terhubung semua dengan baik dan tidak ada yang tersumbat karena sampah atau kabel.

“Optimalkan saluran air untuk menghilangkan genangan di jalan saat hujan lebat. Perbanyak RTH untuk menampung air luberan dari saluran air terdekat,” kata Nirwono.

Adapun banjir rob, terjadi di kawasan pesisir pantai utara Jakarta. Persoalan banjir rob bisa diatasi dengan menghentikan pemompaan air tanah akibat kebutuhan infrastruktur.

“Juga restorasi kawasan pesisirnya, dan relokasi permukiman yang sering terdampak banjir rob dan nyaris tenggelam,” sambung Nirwono.

Direktur Eksekutif RUJAK Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja, memandang rencana Dharma-Kun memindahkan awan untuk atasi banjir sebagai ide mengada-ada. Pernyataan seperti itu, kata dia, menunjukkan ketidakmampuan dalam memahami siklus hidrologi.

Padahal, hujan juga berfungsi mengisi ulang cadangan air tanah dan bahan baku untuk air bersih. Apalagi, beberapa wilayah Jakarta sekarang kekurangan bahan baku air bersih.

“Minimnya ruang terbuka hijau di Jakarta berdampak pada luas bidang penyerapan, jadi harus dibantu sumur resapan juga, selain cara manajemen air lainnya,” kata Elisa kepada reporter Tirto, Kamis (12/9/2024).

Baca juga artikel terkait PILKADA 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto