Menuju konten utama
24 November 1991

Hikayat Terakhir Freddie Mercury

Vokalis Queen ini mangkat karena pneumonia yang disebabkan AIDS.

Hikayat Terakhir Freddie Mercury
Freddie Mercury. tirto.id/Sabit

tirto.id - Baru saja mendarat di Bandara Heathrow, London, usai merayakan ulang tahun ke-40 di Jepang bersama kekasihnya, Jim Hutton, raut muka Freddie Mercury langsung digelayuti mendung. Dia dapat kabar bahwa surat kabar lampu merah terkemuka Inggris, News of the World, menaikkan berita dengan headline yang bikin kuping merah.

“Queen Star Freddie in AIDS Shock”.

Dengan mood berantakan itu pula, Freddie dihampiri wartawan The Sun, Hugh Whittow. Sang reporter bertanya kebenaran kabar yang dinaikkan News of the World.

“Apa aku kelihatan sekarat karena AIDS?!” jawab Freddie ketus.

Hari-Hari Menghadapi Ketakutan

Pada 3 Juli 1981, The New York Times menaikkan berita berjudul “Rare Cancer Seen in 41 Homosexuals”. Berita ini mengabarkan para dokter di New York dan California telah mendiagnosis 41 orang homoseksual yang menderita "penyakit kanker langka dan berbahaya", juga “delapan pasien meninggal dalam waktu kurang dari 24 bulan setelah diagnosis dilakukan.”

Saat itu tak ada orang yang tahu apa penyakit itu. Dokter belum tahu apa penyebabnya. Tak tahu pula apakah penyakit ini menular atau tidak. Gejalanya pun berbeda dengan kanker. Penyakit baru ini membuat penderitanya mengalami bintik ungu di kulit dan limpa mereka membengkak.

Kelak, penyakit misterius ini dinamakan AIDS.

Pada 1981, Queen tentu saja tidak memperhatikan isu kesehatan ini. Baru setahun mereka merilis album The Game, yang menghadirkan lagu “Another One Bites the Dust” dan “Crazy Little Thing Called Love” yang jadi juara di tangga lagu Amerika Serikat. Mereka juga sedang tur, termasuk tur Amerika Selatan yang dimulai pada Februari 1981. Queen menjadi band rock papan atas yang bermain di Amerika Selatan dalam skala stadium.

Tur-tur itu sukses besar. Di Brasil, konser mereka disaksikan 120 ribuan penonton. Di Argentina, satu dari lima konser Queen ditonton oleh kurang lebih 300 ribu pasang mata, tercatat dalam sejarah sebagai konser paling banyak ditonton di Argentina. Dalam Freddie Mercury: The Definitive Biography (1997), Lesley-Ann Jones menggambarkan kehebohan publik Argentina dalam menyambut kedatangan Queen.

Ketika Queen tiba di bandara Buenos Aires pada 24 Februari 1981, ribuan penggemar Queen memadati bandara. Ada voorijder dan patroli keamanan. Para penggemar juga membanjiri pinggir jalan dari bandara menuju hotel. Queen, tulis Jones, baru pertama kali ini merasakan seperti apa sambutan para pahlawan itu. Bahkan hal ini tidak mereka temui di Jepang, negara yang dikenal sebagai basis para penggemar militan.

“Ketika kami masuk ke bangunan bandara, kami tak bisa percaya pendengaran kami. Petugas bandara menghentikan semua pengumuman bandara, dan malah memutar lagu kami,” ujar Freddie.

Oktober 1981, Queen kembali masuk studio untuk menggarap album Hot Space dan menyiapkan album The Greatest Hits. Meski punya lagu-lagu paten macam “Cool Cat”dan “Under Pressure”, Hot Space dapat kritik pedas dari banyak kritikus. Bahkan Brian May dan Roger Taylor disebut benci album ini.

Di lain sisi, laporan penyakit kanker misterius makin meningkat. Pada akhir 1981, ada total 270 laporan tentang menurunnya kekebalan tubuh yang terjadi pada pria gay, dan 121 di antaranya telah meninggal. Nyaris berbarengan dengan masuknya Queen ke studio, The Center for Disease Control di Amerika Serikat mendeklarasikan penyakit baru ini sebagai epidemi.

Matt Richards dan Mark Langthorne, dua penulis biografi Somebody to Love: The Life, Death, and Legacy of Freddie Mercury, mencatat bahwa meski kabar soal epidemi baru ini bikin heboh seantero dunia dan disebut sebagai “penyakit kaum homoseksual”, Freddie tetap santai dan tetap menjalankan kehidupan ala bintang rocknya.

“Hidup harus dinikmati,” kata Freddie. “Percaya deh, meski aku gak jadi bintang rock, filosofi itu tetap akan kupegang teguh.

Dalam menikmati hidup, Freddie enggan menikmati sendiri. Dia punya banyak teman, sebagian jadi kekasihnya. Ada Peter Morgan, seorang binaragawan dari Inggris yang dikenal sebagai bintang video panas. Dia selingkuh, dan bikin Freddie sakit hati.

Ada pula John Murphy, seorang pramugara yang sempat melakoni cinta satu malam dengan Freddie. Orang di sekeliling Freddie juga jelas ingat Bill Reid, pria dari New Jersey yang bertemu dengan Freddie di Manhattan. Reid bisa dibilang sebagai pria yang menorehkan luka traumatis bagi Freddie.

Menurut Peter Freestone, asisten sekaligus sahabat Freddie, ada yang disebut sebagai “Era Bill Reid”. Di masa itu, ada banyak perkelahian fisik, pelemparan gelas, dan perilaku-perilaku memalukan. Menurut Stone, Reid ini yang bikin Freddie akhirnya enggan lagi untuk “bercinta dengan pria berbeda setelah konser”, dan memilih “pilihan yang lebih aman”.

Pilihan aman itu antara lain Tony Bastin, yang dengannya Freddie menjalin hubungan hingga dua tahun.

Sekilas, banyak orang menganggap Freddie adalah hedonis yang gemar memacari banyak orang. Namun, orang dekat Freddie paham: sang bintang rock yang dipuja jutaan orang ini sering mengalami kesepian akut. Ia tak tahan sendiri.

“Kamu bisa punya segalanya di dunia ini, dan masih tetap berakhir sebagai pria paling kesepian, dan itu adalah jenis kesepian yang paling getir,” kata Freddie. “Sukses telah membuatku jadi idola dan orang kaya, tapi hal itu juga yang membuatku tak bisa punya satu hal yang dibutuhkan semua manusia: kasih sayang.”

Kesepian itu lantas menjelma jadi kekhawatiran, dan belakangan: ketakutan. Pada 11 November 1986, setahun setelah konser Live Aid yang legendaris itu, dan beberapa bulan setelah konser Wembley, kabar buruk menghampiri Freddie. John Murphy, sang pramugara, meninggal karena penyakit yang disebabkan AIDS. Beberapa minggu kemudian, Freddie kembali dapat telepon mengabarkan lelayu. Tony Bastin, mantan kekasihnya itu, juga meninggal karena penyakit yang sama.

Hari-Hari Terakhir yang Penuh Keteguhan

Pada 1985, Freddie sebenarnya sudah pernah tes HIV. Pria bernama asli Farrokh Bulsara ini mengaku saat itu tesnya negatif—walau orang dekatnya bilang bahwa hasilnya positif. Namun ketakutan itu mendorongnya untuk melakukan sepuluh kali tes serupa pada 1986. Harapannya: ada satu dari sepuluh tes itu yang bilang hasilnya negatif. Tapi seiring tubuh yang makin menunjukkan gejala AIDS, dan hasil yang terus menerus positif, Freddie belajar untuk menerimanya.

Pada 1987, Freddie Mercury resmi didiagnosis mengidap AIDS.

Namun sang maestro vokal ini bukan orang yang gampang takluk begitu saja. Bahkan ketika dia sudah tahu umurnya tak lama, dia masih masuk ke studio bersama Queen untuk merekam Innuendo.

“Album itu seperti meminjam sisa umur Freddie, karena kesehatannya memburuk,” ujar Roger Taylor, drummer Queen.

Innuendo dirilis pada Februari 1991. Dan seperti kata Roger, Freddie ingin memanfaatkan sisa waktunya semaksimal mungkin. Mereka langsung masuk studio untuk merekam album yang kelak diberi nama Made in Heaven dan dirilis empat tahun setelah Freddie mangkat. Ketika menggarap album itu, Freddie tampak betul memaksakan kesehatannya. Vodka jadi bahan bakar Freddie untuk menghadapi masa berat ini

“Mungkin ada bagian darinya yang berharap ada keajaiban,” ujar Brian May. “Kami semua berharap itu.”

Peter Freestone yang kelak menulis dua buku tentang Freddie mengingat betapa teguh perjuangan sahabatnya itu. “Hari-hari [ketika menggarap album itu] amat menyedihkan. Tapi Freddie sama sekali tidak depresi.”

“Mungkin,” kata Freestone, “dia sudah menerima fakta bahwa dia akan mati. Dia menerima itu. Lagipula, memang kamu bisa membayangkan Freddie Mercury jadi tua?”

Di hari-hari terakhirnya itu, Freddie melakukan hal-hal kesukaannya. Jim Hutton, kekasih yang mendampinginya dari 1985 hingga akhir napas, akan keluar membeli cat air dan kuas untuk keperluan melukis Freddie. Sang vokalis dengan suara empat oktaf ini juga gemar duduk berjam-jam untuk memandangi dan memotret Delilah, kucing favoritnya.

Pada Agustus 1991, Freddie memberi tahu Kashmira, adik perempuannya, bahwa dia terkena AIDS. “Aku kena penyakit, dan akan mati,” kata Freddie kala itu. Kashmira kaget, begitu pula suaminya. Namun mereka memilih tak membahasnya.

Infografik Mozaik I Still Love You

Freddie terakhir kali tampil di kamera pada video klip “These Are the Days of Our Lives”. Berbeda dengan video klip Queen yang biasanya penuh warna, video ini dibuat hitam putih. Freddie tampil rapi, memakai kemeja lengan panjang dan rompi bergambar kucing. Freddie tampak kurus, pipinya tirus.

Namun matanya masih memancarkan api. Dia seolah-olah mengabarkan pada dunia: Freddie adalah seorang penampil yang total. Bahwa di ujung umurnya—dia tahu usianya tak akan lama lagi—dia masih akan memberikan senyum lebar serta kerlingan mata nakal, dan akan membuatmu merasakan ledakan perasaan: sedih, haru, juga bahagia hingga tersenyum lebar.

Ketika Freddie berbisik “I still love you…” di akhir bagian video sembari tersenyum, itu adalah senyum perpisahan. Freddie, vokalis flamboyan tanpa tanding itu, masih mencintai kalian: keluarganya, teman bandnya, para sahabatnya, dan penggemarnya. Freddie memberikan cintanya untuk kita semua.

Cinta Freddie dibalas para penggemarnya hingga berkali lipat. Ketika Freddie mangkat pada 24 November 1991, tepat hari ini 27 tahun lalu, karena pneumonia yang disebabkan AIDS, jutaan orang menangisi kepergiannya. Penggemar musik tahu bahwa tak akan ada lagi vokalis sedahsyat Freddie. Suaranya, gerak tubuhnya, caranya menggerakkan penonton, bagaimana dia menganggap panggung adalah opera kehidupan: tak akan ada yang bisa menyamainya.

Hitung maju pada Oktober 2018, para penggemar kembali diaduk-aduk perasaan haru. Freddie lahir kembali di layar lebar lewat Bohemian Rhapsody. Di bioskop, tak peduli para kritikus bilang film ini buruk dan ahistoris, penggemar Queen bernyanyi bersama, mungkin juga menangis melihat Freddie menghadapi kesepian dan ketakutannya. Namun sekaligus lega ketika tahu bahwa Freddie meninggal dikelilingi orang-orang terdekat yang menyayanginya.

Dan ya, Freddie, kami semua masih mencintaimu!

Baca juga artikel terkait QUEEN atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Ivan Aulia Ahsan