tirto.id - Stadion Wembley, 13 Juli 1985. Tepat pada pukul 18.41 Freddie Mercury berlari kecil ke tengah panggung. Tujuh puluh dua ribu penonton berteriak memanggil namanya.
Suasana kian meriah saat sang superstar meninju udara, dan ketiga personel Queen lainnya (Brian May, John Deacon, Roger Taylor) turut masuk ke arena.
Freddie hanya mengenakan kaos singlet, celana jeans, dan sepatu Adidas warna putih. Rambut pendeknya disisir klimis ke belakang. Ditambah kumis tebal, kombinasi tampilan ini menjadi kostum andalan sang vokalis sepanjang dekade 1980-an.
Beberapa detik kemudian ia duduk di piano. Jemarinya lincah mengalunkan nada pembuka lagu "Bohemian Rhapsody". Penonton makin histeris, tapi juga tak lupa untuk menyanyi bersama sejak bait pertama: “Mama, just killed a man.. Put a gun against his head.. Pulled my trigger, now he's dead…”
Mulanya adalah rasa kemanusiaan untuk Etiopia yang sedang dilanda kelaparan massal sejak 1983. Warga di bagian utara kena dampak paling parah. Korban meninggal mencapai lebih dari 400 ribu dan terus bertambah. Situasi itu pun kian tak menentu akibat perang sipil berkepanjangan.
Tragedi tersebut menggerakkan hati duo musisi sekaligus aktivis asal Irlandia dan Skotlandia, Bob Geldof dan Midhe Ure. Pada awalnya mereka menyumbang melalui penjualan lagu “Do They Know It’s Christmas”. Tak diduga, sambutannya cukup hangat, termasuk dari kalangan musisi asal Britania Raya.
Geldof dan Ure melihatnya sebagai kesempatan untuk mengumpulkan lebih banyak donasi. Mereka bersepakat untuk menggelar konser amal bertajuk Live Aid. Selain di Wembley, konser juga digelar di Stadion John F. Kennedy, Philadelpia, Amerika Serikat, dan menarik lebih dari 100.000 penonton.
CNN Entertainment mencatat Live Aid berhasil menarik 1,9 miliar penonton di 150 negara. Daya tarik utamanya adalah solois dan grup band besar yang sedang berada di puncak popularitas (dan kini dianggap sebagai legenda).
Selain Queen, untuk penampilan di Wembley, Geldof, dan Ure mendatangkan U2, David Bowie, Spendau Ballets, Sting, Phil Collins, hingga Elton John. Di John F. Kennedy penonton dihibur Madonna, Judas Priest, The Beach Boys, Crosby Still and Nash, Santana, Neil Young, Eric Clapton, Led Zeppelin, dan Bob Dylan.
Manajer produksi Live Aid, Andy Zweck, pernah berbagi sedikit cerita kepada Carl Wilkinson dari Guardian perihal betapa susahnya ia melobi para artis.
Ia menolak pandangan yang berkembang bahwa reputasi Live Aid di mata orang-orang sekarang memudahkan kerja penanggung jawab Wembley, Harvey Goldsmith, dan penanggung jawab Stadion John F. Kennedy, Bill Graham.
“Bob harus memainkan trik khusus. Saat mengontak Elton dia bilang Queen dan Bowie sudah bersedia main—padahal ya belum. Baru ia hubungi Bowie dan bilang Elton dan Queen mau main. Begitulah, permainan gertakan saja.”
Geldof mendekati Queen melalui Spike Edney, mantan anggota band Geldof yang saat itu jadi pemain keyboard Queen saat tampil live, demikian menurut Gavin Edwards untuk New York Times.
Queen tak segera menyanggupi. Bukan karena Brian, John, dan Roger sedang berpisah sementara dengan Freddie. Tapi karena grup sedang kelelahan usai tur musim semi 1985 di Selandia Baru, Australia, dan Jepang.
Freddie dan kawan-kawan setuju untuk ambil bagian dalam konser Live Aid setelah dijelaskan skala epiknya. Mengutip rayuan Geldof ke Freddie, “seluruh panggung dibangun untukmu.”
Queen adalah satu dari beberapa band yang main di bagian awal konser. Mereka berlatih serius selama tiga hari—lebih lama dari rekan artis lainnya. Hasilnya adalah pertunjukan yang menurut survei Channel 4 (via BBC News) pada tahun 2007 sebagai konser rock terbaik sepanjang masa.
"Bohemian Rhapsody" hanya dimainkan hingga bagian gitar solo Brian. Selanjutnya Queen menggoyang penonton dengan lagu "Radio Gaga". Temponya sedikit dipercepat, dan bagian paling ajaib adalah saat tangan penonton menepuk dua kali di udara, mengikuti arahan Freddie, sepanjang bagian reff.
Penonton lalu diajak Freddie untuk mengikuti improvisasinya. Teriakan “Aaayy.. Ohh..!” dilontarkan beberapa kali dalam variasi nada yang berbeda-beda. Balasan dari penonton tak kalah menggema. Sesi ini cuma berlangsung beberapa menit, tapi menjadi legendaris karena diteruskan Freddie di konser-konser besar setelahnya.
"Hammer to Fall" dan "Crazy Little Thing Called Love" selanjutnya dibawakan Queen dengan gaya rock and roll. Di dua nomor yang lebih populer, "We Will Rock You" dan "We Are The Champions", penonton lagi-lagi diajak bertepuk tangan, berjingkrak-jingkak, bergoyang, dan tentu saja menyanyi bersama.
Brian, John, dan Roger menyuguhkan penampilan yang baik. Tapi pusat perhatian malam itu adalah Freddie. Energinya meluap-luap sejak awal hingga akhir. Keringat membasahi tubuhnya. Ia tetap mengeluarkan kemampuan vokal terbaik meski terus-menerus berlari dari satu ujung panggung ke ujung lainnya.
Queen sempat rehat, lalu membawakan lagu terakhir pada pukul 21.48. Freddie dan Brian melantunkan Is This the World We Created…? dalam versi akustik. Liriknya amat mewakili situasi di Etiopia sejak bait pertama: “Just look at all those hungry mouths we have to feed.. Take a look at all the suffering we breed…”
“Memang terlihat seperti kami menulis lagu Is This the World We Created…? untuk konser ini (Live Aid). Tapi kenyataannya tidak,” komentar Freddie, sebagaimana tercantum dalam buku 40 Years of Queen (2011) karya Harry Dohert yang diulas kembali oleh Peter Stanford untuk Telegraph.
Kritikus musik rata-rata bersepakat bahwa malam itu adalah salah satu penampilan terbaik Queen. Freddie pun demikian—dinilai sebagai teladan soal bagaimana frontman seharusnya bersikap di atas panggung.
Tapi, bagi Jon Pareles dari New York Times, ada faktor lain yang membuat aksi Queen di Live Aid menjadi amat legendaris.
Live Aid hadir di puncak perayaan idealisme dalam musik rock, kata Pareles. Musik dipandang lebih dari sekadar alat untuk mencapai kejayaan individual semata. Ia punya kekuatan untuk membela kemanusiaan ke arah yang lebih baik—seperti membantu rakyat Etiopia yang sedang kelaparan.
“Satelit internasional menghubungkan penonton di seluruh dunia kepada Live Aid dan melambungkan donasi hingga puluhan juta dolar. Padahal saat itu World Wide Web belum ada,” tulisnya.
Queen sendiri, lanjut Pareles, bersuka cita karena berkesempatan untuk bermain dalam agenda yang maha-besar. Kebesaran itu sudah sejak lama lekat dalam citra Queen. Dalam wawancara bersama Majalah Mojo edisi Agustus 1999 Roger berkata bahwa kunci kesuksesannya di Live Aid adalah pengaturan sistem suara.
“Kami harus berlatih untuk memadatkan lagu-lagu terbaik dalam 17 menit. Kami punya insinyur brilian untuk mengatur sistem suara sehingga kami bisa terdengar lebih keras ketimbang band-band lain. Bahkan di lagu pertama saya hampir tak bisa mendengar penonton. Kami harus memuaskan mereka.”
Etos dan kecerdasan yang demikianlah yang membuat kerja keras mereka terbayar lunas. Sebagaimana komentar Geldof, Queen adalah artis dengan performa terbaik pada hari itu. Sejalan dengan cerita Roger, Geldof turut menilai Queen menyajikan sistem suara terbaik.
“Mereka memaksimalkan durasi dengan baik. Mereka ‘menghajar’ satu lagu ke lagu lainnya.. dan pangung itu amatlah sempurna untuk Freddie. Persembahannya bukan hanya untuk penonton stadion, tapi untuk seluruh dunia.”
Bagi Brian, bagian paling menakjubkan adalah melihat dua kali tepuk tangan penonton di lagu "Radio Gaga". “Aku tak pernah menyaksikan hal seperti itu dalam hidupku,” katanya, masih mengutip Mojo.
Brian menjelaskan Queen adalah band yang mempersiapkan segala sesuatu dengan matang. Tepuk tangan dua kali itu memang disarankan produser untuk disertakan dalam lagu. Personel Queen sepakat. Kreasi ini sesuai visi mereka: membuat lagu yang bisa membuat penonton berpartisipasi saat dibawakan di panggung.
Tapi dalam kasus Live Aid, Brian merasa takjub karena satu faktor penting: para penonton juga datang untuk menonton band-band selain Queen. Mereka bukan 100 persen penggemar Queen, namun hampir seluruhnya bertepuk tangan dua kali, sesuai arahan Freddie, di bagian reff "Radio Gaga".
“Bagaimana mereka tahu? Tidak ada yang menyuruh mereka melakukan (tepuk tangan) itu (sebelumnya),” kata Brian.
Setelah 33 tahun berselang, Rami Malek memerankan Freddie dalam film biopik bertajuk Bohemian Rhapsody (2018). Meski mendapat banyak penilaian negatif, penggemar Queen dijamin akan tetap terhibur, terutama di bagian akhir, saat Rami dan kawan-kawan melakukan reka ulang penampilan band di Live Aid 1985.
Sebuah konser yang Pareles sebut sebagai momentum ketika Freddie menjadikan Stadion Wembley sebagai dunianya selama 21 menit.
Editor: Windu Jusuf