Menuju konten utama

Konser Amal yang Kontroversial: Live Aid 1985

Waktu itu, suara Freddie Mercury membius ratusan ribu pasang mata yang memadati lapangan Wembley.

Konser Amal yang Kontroversial: Live Aid 1985
Queen saat tampil di Live Aid 1985, Wembley Stadium. FOTO/Istimewa

tirto.id - Siang itu, puluhan ribu manusia berbondong-bondong menuju satu tempat. Mereka akan menjadi saksi atas sebuah perhelatan yang kelak tercatat rapi dalam sejarah pertunjukan musik sepanjang zaman.

Balada “God Save the Queen” yang diudarakan The Coldstream Guards membuka perayaan akbar. Lautan manusia dengan kompak menyanyikan himne kebangsaan penuh seksama. Suasana haru menyelimuti tatkala penghormatan untuk baginda ratu membahana. Acara itu kemudian menampilkan bintang papan atas dengan sederet lagu-lagu pengundang koor massal.

Situasi itulah yang muncul dalam konser bertajuk "Live Aid" yang diselenggarakan pada 13 Juli 1985. Konser Live Aid diinisiasi oleh Bob Geldof dan Midge Ure. Tujuannya ialah mengumpulkan donasi untuk kepentingan amal di Ethiopia. Motivasi Geldof dan Ure dalam membuat konser Live Aid adalah keprihatinan atas kemiskinan yang melanda negara-negara di Afrika, terutama Ethiopia. Maka, digelarlah konser akbar yang melibatkan teman-teman musisi lainnya.

Live Aid dihelat di dua titik utama: Stadion Wembley di London, Inggris dan Stadion John F. Kennedy, Philadelphia, Amerika Serikat. Jumlah penonton yang hadir tercatat 72.000 untuk Wembley serta lebih dari 100.000 untuk John F. Kennedy. Meski diselenggarakan di dua lokasi, konser serupa ternyata juga dihelat di berbagai negara seperti Austria, Jepang hingga Kanada. Menurut laporan CNN, Live Aid sukses menarik 1,9 miliar penonton yang tersebar di 150 negara.

Konser Live Aid 1985 diawali kesuksesan masif dari single amal yang diciptakan Geldof dan Ure, “Do They Know It’s Christmas?” setahun sebelumnya. Lagu tersebut dibuat untuk menuangkan kegelisahan Geldof kala menyaksikan laporan presenter BBC, Michael Buerk mengenai kemiskinan di Ethiopia. Merasa tersentuh, Geldof memanggil rekannya Ure dan membuat lagu yang dapat memantik rasa solidaritas masyarakat sekaligus menjaring pundi-pundi amal.

Lagu “Do They Know It’s Christmas?” sendiri direkam pada 25 November 1984 di Sarm West Studio, Notting Hill bersama teman-teman musikus yang diminta Geldof untuk mengiringi. Mereka bermusik dalam satu atap band bernama Band Aid. “Do They Know It’s Christmas?” kemudian disebarluaskan secara gratis ke khalayak ramai. Hasilnya fenomenal. BBC mencatat lagu ini menduduki peringkat pertama tangga lagu Inggris selama lima bulan berturut-turut, menjadi lagu Natal nomor satu, dan meraih pendapatan sejumlah 8 juta pounds, serta menjadi lagu Inggris dengan penjualan tercepat.

Tak berhenti sampai pembuatan lagu saja, dukungan untuk membuat konser pun muncul. Ide tersebut dicetuskan dua anggota Culture Club yang juga pengiring Band Aid, Boy George dan Jon Moss. Majalah musik asal Inggris, Melody Maker, menuliskan di awal 1985 bahwa George meminta Geldof membuat sebuah konser untuk mempertahankan antusiasme atas “Do They Know It’s Christmas?.” Geldof menyetujui dan berkenan membantu terciptanya konser maupun segala persiapannya.

Akhirnya, konser terselenggara. Deretan bintang besar mengisi keramaian Wembley maupun John F. Kennedy. Di London, Live Aid dimeriahkan oleh Queen, U2, David Bowie, Spendau Ballets, Sting, Phil Collins, sampai Elton John. Stadion John F. Kennedy diramaikan Madonna, Judas Priest, The Beach Boys, Crosby, Still, and Nash, Santana, Neil Young, Eric Clapton, hingga Led Zeppelin dan Bob Dylan.

Konser Live Aid menandakan banyak hal. Selain diklaim sebagai konser musik terbesar, Live Aid juga menjadi ajang para musikus mengambil momentum. Misalnya U2 yang disebut The Guardian “menjadi bintang rock papan atas setelah Live Aid” sampai ajang reuni Led Zeppelin untuk pertama kalinya sejak sang drumer John Bonham meninggal.

infografik live aid

Kontroversi yang Mengiringi Konser Amal

Keberhasilan Live Aid nyatanya tak terlepas dari kontroversi juga. Setahun setelah konser diadakan, media musik Spin mempublikasikan tulisan panjang yang menyentil ketidaktahuan orang-orang yang terlibat dalam konser Live Aid soal realita di Ethiopia. Dalam laporannya, Spin mengungkapkan dana yang berjumlah besar berpotensi tidak disalurkan ke tempat semestinya.

Dugaan Spin diperkuat oleh dokumenter BBC World Service yang menyatakan sebagian dana tersebut diserap oleh Presiden Ethiopia, Mengistu Haile Mariam dan tentaranya, termasuk Front Pembebasan Rakyat Tigrayan. Keduanya membentuk koalisi untuk melawan kelompok junta Derg. Geldof yang tak terima menanggapi kritik itu dengan cemoohan.

Lain Spin, lain pula komentator televisi asal Amerika Bill O’Reilly. Pada dasarnya O’Reilly memuji kepekaan Geldof sekaligus kedermawanannya dalam isu Ethiopia. Namun, O’Reilly mengkritik pengawasan dana Live Aid yang dirasa tidak memadai. O’Reilly menegaskan sejatinya organisasi amal yang beroperasi di negara penerima bantuan harus lepas dari intervensi pemerintah korup.

Lalu dalam sesi wawancaranya dalam Meet the Press, Tim Russert mengungkapkan kekhawatiran serupa kepada vokalis U2, Bono, mengenai bahayanya korupsi yang merupakan momok besar di Afrika selain penyakit atau kelaparan. Menanggapi Russert, Bono menjawab bahwa lebih baik menumpahkan sejumlah dana ke tempat keji demi mereka yang membutuhkan daripada menahan bantuan karena praduga maupun ketakutan untuk dicuri.

Menariknya, kritik terhadap pelaksanaan Live Aid juga datang dari penampil acara. Salah satunya Bob Dylan. “Dan tidakkah lebih baik jika kita melakukan sesuatu untuk petani kita sendiri di Amerika?” katanya.

Sontak kritikan Dylan membuat Geldof meradang. Dalam biografinya Is That It? (1986) Geldof menyebut Dylan “tidak menunjukkan pemahaman penuh tentang masalah yang dihadapi Live Aid.” Geldof juga menambahkan bahwa Dylan “tidak mengerti perbedaan orang-orang yang kehilangan nyawa dengan baik.”

Pembawa berita asal Inggris Andy Kershaw, dalam biografinya berjudul No Off Switch mengungkapkan “Live Aid berjalan membosankan dan dapat diprediksi.” Kershaw juga tak luput menyentil Geldof dengan sebutan “orang yang menjengkelkan, dangkal, dan cepat berpuas diri.”

Terlepas dari rangkaian kritik maupun kontroversi yang mengiringi kiprah Live Aid, faktanya Live Aid diperkirakan mengumpulkan lebih dari $127 juta yang kelak digunakan untuk membantu mengentaskan kemiskinan, kelaparan, serta ketimpangan berskala besar di negara Afrika. Dikorup atau tidak, Geldof sudah melakukan apa yang menjadi keprihatinannya: mengumpulkan dana untuk rakyat Ethiopia yang kelaparan.

Baca juga artikel terkait KONSER MUSIK atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Maulida Sri Handayani