tirto.id - Jika ada hal-hal yang paling mustahil terjadi di dunia tapi tetap terjadi—sebutlah "mukjizat"—maka salah satunya adalah ketenaran Freddie Mercury.
Ia adalah semua gabungan hal paling tidak populer di masanya: gigi tonggos, imigran, homoseksual, dan di ujung hidupnya menjadi seorang pengidap HIV/AIDS alias ODHA. Ia adalah apa yang kita sebut quadruple minority—minoritas empat kali lipat. Kemungkinan orang seperti Freddie jadi tenar di pasar arus utama tentu saja kecil sekali—kalau bukan mustahil. Bisakah Anda menyebut satu saja seorang Parsi, lahir dari keluarga Zoroaster, terkenal sebagai penyanyi Rock, berdandan menabrak semua aturan pekat tentang gender, mengidap HIV lalu AIDS, dan gay yang tenarnya melebihi atau setidaknya setara Freddie bahkan ketika ia sudah mati?
Mustahil.
Freddie adalah deskripsi paling sempurna dari istilah one in a million—satu dari sejuta. Mungkin one in billions. Satu dari miliaran.
Maka, jika generasi ini—terutama mereka yang Milenial ujung atau Generasi Z—ingin lebih mengenal Freddie sebagai ikon dan legenda musik, film Bohemian Rhapsody bukan tempatnya. Kita tak akan kenal Freddie yang sebenarnya dari film itu.
George Custen dalam Bio/pics: How Hollywood Constructed Public History (1992), sempat bilang bahwa tak usah mencari kebenaran sejarah dalam film biografi musisi. Nasihat itu rupanya amat penting didengarkan sebelum menonton Bohemian Rhapsody. Ada banyak sekali bagian dalam plot Bohemian Rhapsody yang sama sekali tak sesuai fakta.
Pertama, tentang pertemuan Freddie (Rami Malek) dengan Brian May (Gwilym Lee) dan Roger Taylor (Ben Hardy). Di sana, Freddie digambarkan ambisius pada musik ketika menyaksikan Smile, band yang digawangi Brian dan Roger di atas panggung acara kampus. Saat Tim Staffell (Jack Roth), vokalis utama band itu cabut, Freddie menunjukkan batang hidungnya pada Brian dan Roger sambil membawa kaset demo. Dinamika kedua band tersebut dicatat oleh Mark Hudkinson dalam Queen: The Early Years (2009)
Di kehidupan nyata, Stafell dan Freddie sebenarnya berteman. Mereka sempat bersama-sama sebentar di dalam Smile, kala Freddie masih jadi vokal kedua dan Staffell masih yang utama. Fakta lain yang tak disorot film adalah bahwa Smile bukan band pertama Freddie. Selepas jadi tukang angkut barang di bandara Heathrow, semangat bermusik Freddie tak hadir sekonyong-konyong. Ia pernah bergabung dengan band Ibex yang berganti nama menjadi Wreckage, yang berujung gagal dan bubar. Freddie juga sempat bergabung dengan band Sour Milk Sea, yang juga tak bertahan lama.
Mungkin Fox, rumah produksi yang mensponsori Bohemian Rhapsody, memotong sejarah itu karena terkendala durasi. Cerita terbentuknya Queen, hingga mereka sukses jelas bukan kisah satu malam. Tapi, naskah yang ditulis Anthony McCarten malah membuatnya demikian. Film membingkai kesuksesan itu dengan sangat cepat dan terburu-buru.
Alur ke belakang juga padat merayap, dan tak kalah berantakannya.
Kita akan disuguhkan adegan ketika Brian May menciptakan “We Will Rock You” bersama anggota Queen lainnya lengkap beserta istri mereka. Hari itu, seperti biasanya, Freddie datang telat. Kali ini rambutnya sudah pendek dan sudah kumis tebal yang ikonik itu juga sudah terlihat. Padahal, di dunia nyata, “We Will Rock You” pertama kali dibawakan Queen pada 1977, ketika tampilan Freddie masih gondrong, dan klimis tanpa kumis.
Bohemian Rhapsody juga merekam Freddie sebagai biang kerok pecahnya Queen. Ia digambarkan sebagai personel yang paling ambisius sekaligus jadi anggota pertama yang bikin album solo. Padahal, Roger Taylor si penabuh drum, adalah anggota pertama Queen yang menetaskan album solo berjudul Fun in The Space (1981).
'Hoaks' lainnya yang ada di film ini adalah status HIV Freddie. Ia belum pernah melakukan tes sampai 1986, sementara dalam film, Freddie sudah memberitahu kawan-kawannya tentang status kesehatannya pada gladiresik konser Live Aid 1985.
Tahta, Harta, Pria
Tak ada yang bikin lebih memuakkan ketimbang melihat film ini membingkai Freddie sebagai karakter yang kesepian di tengah tahtanya sebagai Dewa Rock. Pada suatu malam, Freddie menggelar pesta kostum di istananya. Ia mengundang semua orang. Sayang, tak seorang pun kawan dekat yang ia telepon mau mampir ke rumah dan menemaninya. Di pesta itu, anggota band lain kelihatan canggung, dan muak pada tingkah Freddie yang kegembiraannya digambarkan meluap-luap.
“Ini tuh bukan skena kita banget, Freddie,” kata Roger Taylor, yang akhirnya pamit duluan dari pesta itu, dan disusul anggota Queen yang lain.
Jelas sekali film ini ingin bilang bahwa Freddie menderita karena berperilaku bak diva. Saya dan Anda sekalian dipaksa menonton Freddie yang rentan karena merasa sendirian di puncak kejayaannya. Bagian ini memuakkan karena sudah jadi rumus usang yang dipakai semua biopik keluaran Hollywood. Jalan ceritanya jadi mirip dengan yang lain: merintis karier, terkenal, masa hura-hura, kejatuhan, lalu kebangkitan atau kematian. Semua klise itu yang membuat biopik membosankan.
Freddie bukan sosok yang membosankan.
Pada banyak sekali adegan di mana Freddie jadi terasa amat rentan. Terutama setelah pertemuannya dengan Paul Prenter (Allen Leech), yang digambarkan sangat manipulatif. Bohemian Rhapsody memotret Paul sebagai 'tokoh jahat' yang memperkenalkan Freddie pada dunia gay. Di tengah-tengah film, konflik utamanya belok ke pertanyaan ke mana Freddie akan berlabuh: ke anggota Queen yang dibingkai lurus, dan terang benderang, atau Paul si pembuat onar?
Perspektif ini sebenarnya sangat homofobik, dan wajar terjadi karena ilmu seksualitas masa itu masih belum semaju sekarang. Tapi, tak ada satu adegan pun di mana Freddie mendapat hujatan atau setidaknya nasihat dari kawan-kawan satu bandnya atau lingkaran terdekat (macam manajer, orang tua, atau produser) tentang seksualitasnya. Maksud saya, akan lebih wajar jika kita melihat kalimat-kalimat homofobik itu tercetus dari mulut pada personel Queen dalam film, ketimbang menyalahkan Paul.
Sebab film sama sekali tak menggali mengapa Freddie akhirnya lebih senang menghabiskan waktunya dengan Paul, ketimbang kawan-kawan satu bandnya. Bohemian Rhapsody menggambarkan Freddie sebagai orang yang benar-benar buta pada dunia homoseksual sebelum bertemu Paul, sehingga bagi penonton yang tidak terlalu paham spektrum seksualitas akan mudah sekali untuk antipati padanya.
Padahal di dunia nyata, “Freddie selalu tahu kalau dia lebih tertarik pada pria, ketimbang perempuan,” kata Lesley-Ann Jones, penulis Freddie Mercury: The Definitive Biography, dalam sebuah dokumenter tentang Freddie. Maksud Jones, homoseksualitas Freddie tidak datang sekonyong-konyong sebagaimana yang dipercayai orang-orang post-truth. Ia telah lama bersama Freddie dan selalu jadi bagian perjalan hidup sang frontman band terbaik sepanjang sejarah. Baik identitas lainnya yang dikoleksi Freddie dalam hidupnya dan memengaruhi karya-karya yang ia bikin.
Mungkin lain cerita jika Singer tak jadi dipecat. Sebab, ia sendiri adalah biseksual yang setidaknya bisa lebih memahami perspektif Freddie. Tapi, sebagai sebuah produk jadi yang tetap dilabeli hasil garapan Singer, Bohemian Rhapsody jelas sama sekali tidak mengeksplorasi seksualitas Freddie secara utuh.
Saya sangat setuju dengan review Sheila O’Mailey di RogerEbert.com. Menolak queerness Freddie sebagai seniman adalah keputusan paling konyol yang dibuat Bohemian Rhapsody. “Jenius tidak datang dari ruang hampa,” tulis O’Malley. “Freddie Mercury tercipta dari semua kekacauan dan gairah yang hadir di hidupnya: dia mencintai Elvis, opera, music hall, kostum, Inggris era Victorian… dan, ya, seks. Banyak sekali seks.
“Ekspresi seksual adalah kemerdekaan, dan kau akan merasakan kegembiraan itu dalam suara Freddie yang cuma muncul sekali dalam satu generasi itu. Kau tak akan bisa membahas Freddie Mercury tanpa membahas sensibilitas queer yang menggiring (hidupnya), konteks queer yang dijalaninya. Atau, kau bisa mencoba begitu, seperti film ini, dan gagal.”
Satu-satunya yang bikin film ini menarik adalah akting luar biasa Rami Malek sebagai Freddie. Menonton gestur, dialek, cara berjalan, hingga caranya bernyanyi di atas panggung adalah sebuah nostalgia yang menyenangkan. Pertunjukan Live Aid di ujung film juga jadi gong yang manis. Kita akan dibikin benar-benar rindu pada Freddie.
Sayang, ini bukan film tentangnya. Ini tentang Rami Malek yang berhasil membuktikan kehebatan aktingnya.
Editor: Windu Jusuf