tirto.id - Kantor Tempo diketahui menerima paket berisi kepala babi pada Selasa (19/3/2025). Paket yang dikemas dalam sebuah kotak kardus yang dilapisi styrofoam tersebut ditujukan kepada “Cica”, yaitu nama panggilan dari Francisca Christy Rosana, wartawan desk politik dan host siniar Bocor Alus Politik Tempo.
Terbaru, Tempo kembali mendapatkan teror pada Sabtu (22/3/2025). Kali ini berupa enam ekor bangkai tikus terpenggal kepalanya, yang dibungkus di dalam kotak kardus bersampul kertas kado bermotif bunga mawar merah.
Kejadian ini memicu berbagai sorotan dan reaksi publik karena dinilai sebagai bentuk teror kepada profesi jurnalis, tak hanya pada media Tempo saja.
Pihak Istana, melalui Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi juga telah berkomentar. Komentar Hasan yang menyarankan agar kepala babi yang diterima wartawan Tempo tersebut 'dimasak saja', sontak memicu reaksi negatif dari publik.
Banyak pihak yang menilai pernyataan tersebut cenderung menyepelekan teror yang telah mengusik hak rasa aman seseorang, terutama jurnalis dalam kerja-kerja jurnalistiknya.
Tirto mewawancarai Hasan Nasbi, Sabtu (22/3/2025), guna mendapatkan penjelasan maksud dari pernyataan yang disampaikannnya di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (21/3/2025).
Hasan Nasbi berdalih apa yang disampaikannya mengacu pada respons Francisca yang menanggapi teror tersebut dengan santai di sosial media.
Apa yang disampaikan Francisca, kata Hasan Nasbi sudah tepat, yakni merespons teror bukan dengan ketakutan, yang justru malah membuat peneror merasa berhasil dengan tujuan terornya.
Berikut penjelasan lengkap Hasan Nasbi saat dikonfirmasi ulang oleh Tirto.
Soal pernyataan Anda semalam itu tuh yang jadi kontroversial gitu, 'babinya dimakan saja'. Tanggapan Anda gimana?
Saya justru me-refers kepada sikapnya si Francisca, saya me-refers ke sikapnya dia. Dan saya setuju dengan sikap dia, menurut saya memang kayak gitu harusnya menyikapi teror-teror dengan cara lama ini, ini kan cara lama ini. Nah, justru saya itu setuju dengan cara dia merespons itu, cara si Cica itu merespon, dia kecilkan aja dan dia remehkan aja gitu.
Jadi kan KPI-nya si peneror enggak sampai, pesannya si peneror enggak sampai. Yang inginnya nakut-nakutin, [jadi] enggak nakut-nakutin. Jadi saya setuju dengan itu. Saya ini kan jarang setuju sama Tempo, kamu tahu itu. Tapi cara dia merespons kali ini saya setuju. Memang harusnya kayak gitu caranya respons teror. Harus dikecilkan teror itu.
Jadi tidak harus menampilkan ketakutannya, seperti itu ya?
Karena targetnya si peneror di manapun itu kan menebar ketakutan. Ya kalau ketakutan yang kita besar-besarkan berarti kan target dia [peneror] kesampaian loh. Kalau dikecilkan kayak gitu kan berarti KPI dia enggak sampai. Dia bisa jedot-jedotin kepala itu ke dinding, kalau KPI dia enggak sampai. Jadi ini sebenarnya Ini lebih kepada mengucilkan si peneror.
Walaupun kalau mereka [Tempo] mau menempuh jalur hukum, ya kami dukung, silakan laporkan ke polisi dan kami dorong polisi untuk mengusutnya secara tuntas, itu kan jalur hukum, tapi jalur psikologisnya kita harus kecilkan si peneror.
Jangan sampai si peneror besar kepala. Kalau hari ini dibesar-besarkan kayak begini, targetnya si peneror sampai lah. Malah senang lah dia, kesampaian KPI-nya gitu.
Kalau pada meradang-meradang gitu semua ya kesampaian tujuannya dia, targetnya dia gitu. Justru kalau kita kecilkan, dia jadi stres gitu. Justru kalau saya ucapkan itu menyempurnakan respons yang dilakukan oleh si Francisca itu.
Dia [Francisca] meresponsnya dengan cara kayak gitu, menurut saya respons yang harusnya memang kayak gitu harusnya.
Dari ceritanya dia juga, saya tahu dia makan babi kan, jadi kan artinya enggak melecehkan kan. Oke, kecuali dia enggak makan babi, saya suruh masak, itu melecehkan.
Kalau melihat respons negatif di masyarakat atas pernyataan Anda ini gimana nih, Bang Hasan?
Iya, biarin aja ya. Orang berpendapat, orang ngerespons itu biarin aja. Mungkin karena mereka belum ngerti aja. Belum ngerti aja cara ngerespons teror.
Tahun 2016 ada bom Sarinah. Itu warga Jakarta enggak takut, mereka malah nongkrong ramai-ramai di Sarinah. Ada jual kacang rebus, starling [penjual kopi keliling], nongkrong. Itu KPI-nya [peneror] enggak sampai. Makanya muncul hashtag 'kami tidak takut'. Munculnya dari si Pak Jamal [penjual sate ayam di kawasan Sarinah] itu yang jadi legend itu, Pak Jamal yang jualan itu, dia enggak takut di sana gitu.
Nah, menurut saya cara ngerespons teror itu hari ini itu harusnya kayak gitu. Jangan kemudian kita malah membesar-besarkan terornya. Kesampaian targetnya sih itu, targetnya si peneror gitu.
Supaya hal-hal ini gak perlu dilakukan lagi nanti ke depan karena enggak sampai pesannya dan orang enggak takut. Tapi kalau sekarang dibesar-besarkan, dibikin meradang-meradang, ya nanti orang lakukan cara kayak gini lagi.
Dari sikapnya Anda mewakili Istana berarti sejatinya ingin meredam upaya teror yang dilakukan pengirim itu kah?
Bukan merendam upaya terornya, ingin mengecilkan si peneror. Cara-cara kamu sudah tidak laku. Kalau kamu kirimnya itu [kepala babi] bisa dimasak sama orang. Cara-cara Anda sudah enggak laku lagi. Itu cara-cara zaman dulu itu. Hari ini sudah enggak laku lagi cara-cara kayak itu.
Jadi saya bingung kenapa wartawan Tempo yang marah. Kenapa pendukung-pendukung Tempo yang marah. Karena harusnya mereka senang, orang yang dikecilkan si peneror kok.
Penulis: Rahma Dwi Safitri
Editor: Bayu Septianto