tirto.id - Pemerintah berencana menghapus catatan buruk bagi debitur dengan utang di bawah Rp1 juta dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Salah satu tujuan penghapusan itu adalah untuk memperlancar pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Kebijakan ini dicetuskan oleh Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa. Ini merupakan respons atas terhambatnya program perumahan rakyat imbas catatan buruk debitur dengan pinjaman minim.
Purbaya mendeteksi bahwa pembatasan di SLIK menjadi hambatan utama di sisi permintaan perumahan. Padahal, data SLIK digunakan untuk Kredit Program Perumahan (KPP) dan program 3 juta rumah dikelola oleh Kementerian PKP.
Rencana Purbaya ini muncul setelah menerima laporan dari BP Tapera tentang 100.000 calon pembeli rumah yang terkendala SLIK akibat utang macet.
Untuk menindaklanjuti hal tersebut, skema pemutihan kredit macet di bawah Rp1 juta ini rencananya akan ditanggung oleh para pengembang. Ia pun berencana untuk menemui Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Katanya Pak Ara, pengembangnya mau bayar itu. Kalau itu mau bayar ya sudah enggak apa-apa," kata Purbaya di kawasan JS Luwansa, Jakarta, Kamis (16/10/2025).
Di sisi lain, OJK menyambut positif langkah ini. Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menegaskan bahwa SLIK bukanlah satu-satunya alat penilai kelayakan kredit.
OJK telah meminta data 100.000 masyarakat yang dilaporkan memiliki rapor buruk SLIK dari BP Tapera untuk dibahas lebih lanjut dengan Kementerian Keuangan.
“Jadi pasti akan selalu kita dukung. Terkait dengan SLIK, ini kemarin kita udah minta ke Pak Heru Ketua BP Tapera, kan beliau mengatakan ada 100 ribu ya kita minta datanya tolong disampaikan ke kita,” ujarnya dalam media gathering di Purwokerto, Minggu (19/10/2025).
Ia menambahkan, bank sebenarnya telah memiliki fleksibilitas dalam menilai calon debitur dan banyak yang tetap memberikan KPR meskipun calon debitur memiliki catatan kolektibilitas yang tidak lancar.
Tentu kebijakan pemutihan utang debitur di bawah Rp1 juta tersebut satu sisi dapat mendongkrak penjualan perumahan. Namun di sisi lain, gebrakan ini memunculkan kewaspadaan terhadap risiko moral hazard dan pentingnya penilaian kelayakan kredit yang komprehensif.
KPR Lebih Mudah, Tapi Disiplin Kredit Dipertaruhkan
Head of Research Colliers Indonesia, Ferry Salanto, tak menampik bahwa kebijakan ini diyakini dapat menjadi stimulus bagi sektor properti, khususnya untuk pasar KPR kelas menengah ke bawah. Sebab selama ini cukup banyak calon pembeli rumah pertama yang terkendala akses kredit karena catatan buruk di SLIK, meskipun nilai tunggakannya relatif kecil.
"Padahal kalau yang saya dengar itu nilai tunggakannya sebenarnya relatif kecil dan tidak benar-benar mencerminkan kemampuan bayar yang sebenarnya," ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (21/10/2025).
Pernyataan OJK yang menyatakan bahwa SLIK bukan satu-satunya alat penilai kelayakan kredit memperkuat argumentasi ini. Fleksibilitas perbankan dalam menilai debitur, sebagaimana diungkapkan Friderica Widyasari Dewi dari OJK, menunjukkan bahwa selama ini bank sudah memiliki mekanisme penilaian yang lebih kompleks daripada sekadar mengandalkan SLIK.
Namun, kebijakan ini dinilai Ferry mengandung risiko moral hazard yang tidak boleh diabaikan. Dengan penghapusan SLIK di bawah Rp1 juta ini dikhawatirkan menjadi preseden negatif di tengah masyarakat.
"Jadi kalau tidak hati-hati langkah ini bisa menimbulkan resiko moral hazard di mana masyarakat jadi merasa ada toleransi terhadap kelalaian pembayaran sekecil apapun,” ucapnya.
Analisis risiko perlu diperdalam dengan mempertimbangkan aspek kelembagaan perbankan. Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, mengingatkan pentingnya mengevaluasi kekuatan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) bank dalam menanggung beban pemutihan.
"Pasti ada kriteria tertentu nasabah yang menentukan nasabah berhak mendapatkan pemutihan atau tidak," kata Huda kepada Tirto.
Menurutnya, persoalan mendasar yang perlu diatasi adalah keterbatasan kriteria berdasarkan besaran utang semata. Huda menganjurkan pendekatan yang lebih substantif yaitu berdasarkan kemampuan bayar debitur. "Jadi saya rasa kuncinya bukan di besaran hutang yang terhutang, namun di kemampuan bayarnya,” ujarnya.
Ia bilang, kebijakan penghapusan SLIK seharusnya tidak hanya berfokus pada nominal Rp1 juta, tetapi mempertimbangkan karakteristik dan kapasitas finansial debitur secara keseluruhan. Pendekatan ini akan lebih mencerminkan prinsip prudential banking yang sehat.
Butuh Pengawasan Ketat agar Tak Ganggu Disiplin Kredit
Sementara itu, Ferry melanjutkan bahwa implementasi kebijakan ini memerlukan kerangka pengawasan yang jelas. Ia pun mempertanyakan perihal teknis kebijakan ini.
"Misalnya apakah penghapusan hanya berlaku bagi tunggakan lama yang sudah diselesaikan atau juga bagi debitur yang masih menunggak?” tuturnya.
Pertanyaan ini menyoroti kebutuhan akan diferensiasi kebijakan berdasarkan status penyelesaian tunggakan. Di sisi lain, Huda mengusulkan mekanisme pengikat. Debitur yang dihapuskan utangnya adalah debitur yang memiliki komitmen untuk mengambil KPR.
"Kemudian, harus ada jaminan bahwa ketika sudah diputihkan, ada jaminan bahwa dia akan membeli rumah dan tidak akan macet di kemudian hari,” tegasnya.
Dari perspektif pengembang, Ferry Salanto menilai risiko langsung relatif terbatas karena kredit risiko tetap berada di pihak perbankan. Namun, ini justru menimbulkan pertanyaan tentang distribusi risiko yang tidak seimbang antara pengembang dan perbankan.
"Justru jika bank menyesuaikan kebijakan dengan lebih selektif dan berbasis pada kredit scoring yang terkini, bukan sekedar catatan histori kecil di SLIK, pasar perumahan bisa mendapatkan dampak yang positif," ujarnya.
Menurutnya keberhasilan kebijakan ini sangat tergantung pada kemampuan perbankan dalam mengembangkan sistem penilaian kredit yang lebih komprehensif dan real-time.
Lebuh jauh, Ferry menjelaskan, kebijakan penghapusan SLIK pada dasarnya merupakan upaya menciptakan keseimbangan antara inklusi keuangan dan prudensi perbankan.
"Jadi secara keseluruhan sebenarnya ide dasarnya baik tapi implementasinya memang harus hati-hati agar tidak mengganggu disiplin kredit dan tetap menjaga keseimbangan antara inklusi keuangan dan prudensi perbankan,” ucap Ferry.
Pun, kebijakan penghapusan SLIK untuk tunggakan kecil berpotensi membuka akses kepemilikan rumah bagi puluhan ribu masyarakat. Namun, implementasinya memerlukan koordinasi yang hati-hati antara pemerintah, OJK, perbankan, dan pengembang.
"Jika bank menyesuaikan kebijakan dengan lebih selektif dan berbasis pada kredit scoring yang terkini, bukan sekadar catatan histori kecil di SLIK, pasar perumahan bisa mendapatkan dampak yang positif," terangnya.
Kebijakan ini merupakan terobosan untuk mendorong permintaan KPR dan mencapai target program tiga juta rumah. Namun, tanpa pengawasan dan mekanisme yang jelas, dampak positifnya bagi pengembang dan perekonomian dapat terkikis oleh risiko yang mungkin timbul.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id







































