tirto.id - Sinyal pemangkasan subsidi listrik dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjadi kabar baik bagi pengembangan energi bersih di Indonesia. Pasalnya, penurunan alokasi belanja tersebut akan ditopang oleh pengembangan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) yang selama bertahun-tahun berjalan lambat.
Ini tergambar dari bauran EBT yang baru menyentuh 13,21 persen hingga Mei 2025, jauh di bawah target pemerintah tahun ini yang sebesar 15,9 persen. Pemerintah sendiri telah lempar handuk untuk mencapai bauran EBT 23 persen pada 2023, dan merevisi Kebijakan Energi Nasional dengan memperlambat target tersebut ke tahun 2030.
Menurut Purbaya, rencana reformasi subsidi yang dibahas bersama Presiden Prabowo Subianto di Hambalang tersebut akan memitigasi kenaikkan tarif listrik yang bisa menjadi beban bagi masyarakat.
Caranya, dengan mengejar pembangkit EBT berteknologi baru yang dapat memroduksi listrik lebih murah ketimbang PLTU berbahan bakar batu bara.
“Sudah ada desain PLTS yang cukup baik, termasuk pembuatan baterai dan solar panel di dalam negeri. Tapi hitungannya belum terlalu mantap, masih harus dikerjakan lagi,” jelasnya di Istana Negara pada Jumat (19/9/2025) pekan lalu.
Alasan pemerintah untuk memangkas subsidi memang cukup rasional, mengingat jumlahnya yang terlampau besar dapat menimbulkan signifikan bagi APBN. Untuk tahun ini saja, beban subsidi listrik diproyeksikan bisa menyentuh Rp90,32 triliun, melebihi alokasi awal APBN senilai sekitar Rp87,72 triliun—dengan realisasi hingga Mei 2025 yang mencapai sekitar Rp35 triliun.
Sementara itu, pada 2026 pemerintah bahkan mengusulkan alokasi subsidi listrik antara Rp97,37 triliun hingga Rp104,97 triliun sebagai antisipasi kenaikan pelanggan serta tekanan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik yang makin tinggi.
Kenaikan beban subsidi ini sebagian besar disebabkan oleh naiknya biaya pokok penyediaan listrik yang dipicu oleh fluktuasi nilai tukar rupiah, kenaikan harga bahan bakar, serta ketergantungan pada pembangkit fosil.
Salah satu beban terbesar PLN adalah biaya pokok penyediaan listrik yang mencakup biaya pembangkit, bahan bakar, pengiriman, dan margin operasional. Apalagi sebagian besar pembangkit swasta atau Independent Power Producer (IPP) telah dikontrak melalui Power Purchase Agreement (PPA) jangka panjang, tarif listrik dari pembangkit swasta bisa lebih tinggi dan tidak mudah dinegosiasikan ulang.
Pihak swasta umumnya menuntut jaminan pembayaran atau skema take-or-pay, proteksi valuta asing, dan ketentuan yang kerap dianggap berat sebelah bagi PLN.
Dus, pemangkasan subsidi tak akan menjadi perkara mudah untuk pemerintah. Sebab, jika tak dilakukan hati-hati, rencana ini dapat menimbulkan kerugian bagi PLN dan ujung-ujungnya menambah beban bagi masyarakat jika tarif listrik dinaikkan.
Di sisi lain, meskipun PLTS dan energi terbarukan lainnya dianggap solusi jangka panjang, saat ini realitas menunjukkan bahwa biaya investasi awal proyek-proyek tersebut sangat tinggi. Untuk PLTS, misalnya, pembelian panel, baterai penyimpanan, instalasi, dan pembangunan jaringan penunjang memerlukan modal besar.
Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think-tank yang berfokus pada isu ketenagalistrikan dan transisi energi, pernah memberikan usulan penghematan subsidi melalui penggunaan PLTS atap pada 1 juta rumah tangga pelanggan listrik bersubsidi (R1-450VA).
Nemun demikian, Direktur Utama PLN Enjiniring Chairani Rachmatullah mengingatkan bahwa integrasi PLTS atap tidak bisa dilakukan secara serentak tanpa memperhitungkan kapasitas jaringan yang ada. Jika tak hati-hati, transformator bisa overload sehingga berisiko memicu pemadaman.
“Kalau semua atap dipasang sekaligus, ada kemungkinan trafo tidak kuat menampung beban sehingga bisa menyebabkan pemadaman. Namun, kami terus melakukan improvement infrastruktur transmisi maupun distribusi agar PLTS atap bisa lebih banyak masuk ke sistem kelistrikan,” ujarnya.
Di sisi lain, secara bisnis, kehadiran pelanggan PLTS atap memiliki dinamika tersendiri bagi PLN. Sebab, mereka bukan menambah konsumsi listrik, melainkan mengurangi permintaan sekaligus menuntut energi hijau. Imbasnya, penjualan PLN dapat tergerus dan potensi oversupply listrik bisa kembali menjadi tantangan.
“Jadi, mereka pasang PLTS atap. Tapi itu tidak masalah, pelan-pelan kita ikuti saja. Kalau ada yang turun, ya sudah, kita cari pelanggan baru atau tambah pembangkit lain agar total penjualan tidak turun,” jelasnya.
Ini baru berbicara soal PLTS. Di luar itu, Chairani memaparkan sejumlah tantangan lain pengembangan EBT, di mana PLN seolah berkejaran waktu dengan perubahan iklim dalam mendorong transisi energi.
Pada 2023, misalnya, sejumlah pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Sulawesi mengalami masalah akibat kekeringan yang disebabkan El-Nino. Kondisi ini mengharuskan PLN mencari alternatif sumber energi lain yang lebih andal ketika pembangkit lain yang bisa menopang produksi listrik ketika PLTA tengah tertekan.
Jika bauran energi ingin dikembangkan mengandalkan surya atau angin, misalnya, maka keduanya bisa di-hybrid untuk memitigasi kejadian serupa di masa mendatang.
“Hanya saja, saat itu kita masih menghadapi keterbatasan. Teknologinya masih impor dari luar, industrinya juga belum terbangun di Indonesia. Di sisi lain, ada masalah regulasi, misalnya soal TKDN yang harus dipenuhi sekian persen baru boleh dibangun,” jelasnya.
Di tengah risiko perubahan iklim itulah, kemampuan PLN untuk memperkuat infrastruktur kelistrikan sekaligus meningkatkan porsi EBT diuji.
Sebab, jika kondisi ini tak segera diperbaiki, ketergantungan pada energi primer batu bara yang sangat bergantung pada logistik—dan sewaktu-waktu juga bisa terganggu akibat iklim ekstrem—bisa membuat sistem kelistrikan jadi rentan.
PLN, lanjut Chairani, kini juga tengah menyiapkan roadmap percepatan pembangunan energi terbarukan. Dalam 15 tahun ke depan, perusahaan setrum pelat merah ini akan menambah sekitar 100 GW pembangkit baru dengan 70 persen berbasis terbarukan, termasuk nuklir.
Bauran Batu bara, yang ditargetkan dapat ditekan hingga tersisa sekitar 3 persen, akan didukung dengan teknologi carbon capture storage, gas sekitar 16 persen sebagai energi transisi, PLTS dan angin 61 persen, nuklir dan energi baru lainnya 5 persen, sementara PLTA dan panas bumi sekitar 15 persen sebagai baseload.
Namun, untuk merealisasikan rencana ini, PLN membutuhkan sekitar 200 miliar dolar AS alokasi belanja modal dan investasi, termasuk penguatan sistem agar jaringan tetap resiliens. "Intinya mungkin adalah, bahwa memang share renewable akan semakin tinggi," jelasnya.
Institute for Essential Services Reform atau IESR menyambut wacana pemangkasan subsidi dengan optimisme hati-hati. Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai bahwa pemangkasan subsidi melalui PLTS adalah langkah tepat, tetapi harus disertai kebijakan konkret agar tidak berhenti sebagai wacana.
Dengan strategi yang tepat, IESR menilai pemangkasan subsidi listrik lewat PLTS tidak hanya meringankan beban APBN, tetapi juga mempercepat transformasi energi Indonesia ke arah yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Fabby menjelaskan industri modul surya di Indonesia saat ini sudah memiliki kapasitas produksi hingga 5 gigawatt (GW) per tahun. Kapasitas itu bahkan diproyeksikan bisa mencapai 10 GW pada 2026, jika semua rencana investasi berjalan.
“Industri PLTS kita sudah ada, bahkan beberapa perusahaan sudah ekspor ke Amerika. Jadi bukan soal teknologi atau kapasitas, yang kita butuhkan sekarang itu market di dalam negeri,” ujar Fabby kepada Tirto.
Menurutnya, jika pemerintah konsisten mendorong PLTS sebagai strategi pemangkasan subsidi listrik, maka pasar domestik bisa terbentuk. "Supaya industri bisa hidup, paling tidak kita butuh market 8 sampai 10 GW per tahun. Kalau itu ada, industri surya dan baterai bisa melesat,” tambahnya.
Selain modul surya, pembangunan pabrik baterai di Karawang, Halmahera, dan Morowali juga disebut sebagai bagian penting dari ekosistem energi bersih.
“Saya tidak khawatir soal kapasitas industri. Yang penting adalah kepastian pasar. Kalau ada pasar, industri ini bisa tumbuh cepat,” tegas Fabby.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































