Menuju konten utama
Kebijakan Energi

IESR Minta Pemerintah Rombak Strategi Bauran Energi Terbarukan

Rendahnya bauran energi terbarukan di pembangkit listrik merefleksikan capaian bauran energi terbarukan hanya mencapai 12,3%.

IESR Minta Pemerintah Rombak Strategi Bauran Energi Terbarukan
Teknisi sedang melakukan pemeriksaan instalasi panel surya di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (3/9/2020). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Institute for Essential Services Reform (IESR) merespons pernyataan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menyampaikan capaian kinerja 2022 serta rencana program 2023 di sektor ESDM, Subsektor Ketenagalistrikan, dan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE).

Dalam laporannya, Kementerian ESDM mengatakan capaian bauran energi terbarukan di energi primer dan pembangkitan listrik naik hanya sekitar 0,1% dan 0,45% secara berurutan dari tahun sebelumnya. Berbeda jauh dengan batu bara yang produksinya naik 3% dari target mencapai 687 juta ton pada 2022. Tidak hanya itu, investasi di sektor energi terbarukan pun masih jauh dari target.

IESR memandang bahwa perkembangan tersebut menjadi lampu kuning bagi pemerintah untuk segera merombak strateginya dalam mencapai target 23% bauran energi terbarukan pada 2025. Serta mencapai net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.

Bauran energi terbarukan di pembangkitan listrik tercatat sebesar 14,5% dengan kapasitas energi terbarukan yang terpasang sebesar 12.542 MW. Kapasitas terpasang ini melebihi target 2022, namun masih jauh dari target minimal 24 GW di 2025.

Rendahnya bauran energi terbarukan di pembangkit listrik merefleksikan capaian bauran energi terbarukan di energi primer yang hanya mencapai 12,3% berdasarkan data sementara Kementerian ESDM pada 2022.

“Ketertinggalan pembangunan energi terbarukan di sektor kelistrikan dalam 3 tahun terakhir menunjukkan ada kekeliruan dan minimnya terobosan dalam strategi pengembangan energi terbarukan,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR melalui keterangan tertulis, Kamis (2/2/2023).

Ia menjelaskan, sejak 2019 kapasitas pembangkit energi terbarukan tumbuh 2 GW atau hanya 25% dari kapasitas yang diperlukan untuk mencapai target 23%, sesuai amanat PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.

“Pengembangan energi terbarukan tersandera dengan dilanjutkannya pembangunan PLTU di program 35 GW. Padahal target pertumbuhan permintaan listrik tidak tercapai, dan keengganan PLN untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dengan dalih over capacity,” ucapnya.

Menurut dia, pemanfaatan energi surya secara masif dan gotong-royong seharusnya menjadi langkah strategis pemerintah untuk mencapai target bauran energi terbarukan.

Tahun 2021, PLTS atap menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan target 3,6 GW hingga 2025. Akan tetapi terganjal oleh keengganan PLN menerapkan Permen ESDM No. 26/2021. Dari target kapasitas terpasang energi surya 893 MW di 2022, yang tercapai hanya 270 MW.

Bukannya lebih ambisius, pada 2023 pemerintah justru menurunkan target pegembangan energi surya hingga separuhnya dari 2022 menjadi 430 MW.

Ketegasan dan kejelasan aturan yang mendorong adopsi PLTS sudah selayaknya pemerintah tunjukkan, kata dia.

“Perkembangan energi terbarukan, khususnya PLTS atap terhadang kepentingan PLN untuk mengejar pertumbuhan penjualan listrik untuk menyerap kelebihan pasokan. Rencana didieselisasi 500 MW PLTD hingga 2024 juga terkendala oleh proses lelang PLN dan minimnya minat investor sehingga realisasinya masih belum ada,” kata dia.

Oleh karena itu, kata Fabby, pemerintah harus mencari terobosan untuk mengakselerasi PLTS atap. Diperlukan dukungan langsung dari Presiden Jokowi dalam bentuk perintah tegas kepada PLN untuk mengakselerasi perkembangan energi terbarukan dengan sisa dua tahun ini, mengejar 10 GW target di RUPTL dan mengintegrasikan PLTS atap untuk mencapai target PSN.

Selain itu, pemerintah perlu menyegerakan pelaksanaan Perpres No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Terutama dengan merilis peta jalan penghentian pengoperasian PLTU batu bara dan penyusunan rencana investasi yang dimaktubkan dalam kemitraan transisi energi berkeadilan atau Just Energy Transition Partnership (JETP).

Fabby menambahkan, bahwa dari hasil kajian IESR, ada potensi 4,5 GW kapasitas PLTU yang bisa dipensiunkan sebelum 2025, dan tambahan 3 GW dari daftar proyek PLTU di RUPTL 2021-2030 yang punya kemungkinan dibatalkan.

“Pengakhiran operasi PLTU tua dan tidak efisien sebelum 2025 memungkinkan masuknya energi terbarukan yang lebih besar,” kata dia.

Baca juga artikel terkait ENERGI TERBARUKAN atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz