tirto.id - Seketika setelah api merayap, asap mengepul, kekacauan menghancurkan separuh Kota Wamena, setiap orang baik mengulurkan tangan ke setiap orang tak berdaya, membantu apa yang mereka bisa bantu, menjadikan semua orang adalah nayak—saudara. Tak peduli kau suku apa, kau berasal dari kelas sosial mana; mereka berusaha mengikis kekalutan yang mudah tersulut.
Sebagaimana dalam ungkapan Dominikus Surabut, Ketua Dewan Adat Papua LaPago: “Kami melindungi warga yang kami bisa.”
Dalam situasi serba mendadak, barang-barang ditinggal jika memang tak bisa dibawa, begitu pun seisi rumah, tapi yang terpenting, kata Domi, nyawa selamat.
Robet Surabut dan Manu Esema, yang tinggal di kampung belakang Pasar Wouma, bergegas memanggil tetangga-tetangga warga pendatang sekitar yang panik, sementara “ada kelompok berusaha mau serang” dan bunyi tembakan di mana-mana.
Keduanya menyembunyikan sekitar 50 warga di rumah dan berkata “tak ada pedagang di sini” saat orang-orang dari kelompok itu mencari-cari, bersulut amarah.
Di dekat Pasar Wouma, dipisahkan Jl Sumatera dan pagar tembok, hanya 4 menit berjalan kaki, terdapat kompleks Kantor Dekanat Pegunungan Tengah. Di situlah, pada pagi hari Senin, 23 September, Pastor Allo Dabi dari Keusukupan Jayapura berada.
Pastor Allo berpikir semula ada tawuran pelajar saat mengecek keadaan kota sampai ke kampung Sinapuk dekat Bandara Wamena.
“Tetapi,” ujarnya tersadar setelah menemui anak-anak sekolah, “ternyata keadaannya lebih parah.”
Ia melihat kekacauan di sepanjang jalan. "Pasar Potikelek, Hom-Hom, Kantor Bupati, Pasar Misi (Wouma)—semuanya. Orang ketakutan. Lari.”
“Saya melihat semua orang kaget. Mereka tidak tahu ada aksi. Ada pembakaran. Ada aparat keamanan berusaha menangani itu. Kemudian ada yang mengeluarkan tembakan.”
“Lalu ada isu yang berkembang … ada penyerangan, ada penyisiran.”
“Sehingga orang Papua, bukan orang Papua, orang di luar Kota Wamena … mereka semua takut. Panik. Cemas.”
“Semua orang mencari keselamatan,” ujarnya.
Pastor Allo melihat beberapa personel Brimob, yang berjaga-jaga di perempatan Pasar Wouma, datang setelah pasar telah terbakar. Mereka bingung dan canggung kala menyaksikan beberapa titik api. Saat mereka melepaskan tembakan, massa malah menyerang.
Setelah terdengar ada tembakan itulah Pastor Allo melapisi pakaiannya dengan jubah, melindungi diri dengan sehelai otoritas yang nyaris tak berfungsi di Wamena hari itu. Dibantu beberapa anak muda, ia melindungi orang-orang yang datang ke Dekanat.
Ia berhasil menenangkan sedikitnya empat orang memasuki Dekanat yang berniat menyerang, dengan memanjat tembok belakang kompleks, yang diketahui oleh para personel Brimob.
Pastor Allo berkata kepada penyerang agar jangan terlihat; tetap di dalam kompleks.
Personel Brimob mendatangi Dekanat dan melihat Pastor Allo berdiri sembari mengangkat tangan.
“Pendeta, kah?” ujar seorang anggota Brimob.
“Ya, saya pastor.”
Akhirnya, cerita Pastor Allo, personel Brimob itu keluar.
Lalu ia menemui orang-orang yang berniat menyerang itu. “Saya bilang kepada mereka: ‘Kamu tidak boleh masuk ke sini. Kamu keluar dari sini. Di sini ada anak-anak. Nanti anak-anak trauma. Nanti mereka pikir [penyerangnya orang yang berlindung di Dekanat] kita lagi’.”
Keadaan mereda menjelang petang. Persis setelah jam 3 sore, Pastor Allo mendatangi anggota Brimob yang berjaga-jaga di dekat pasar dan menyampaikan ada umat di dalam Dekanat.
Satu jam kemudian, aparat keamanan Indonesia datang ke sekitar Pasar Wouma, membawa para pengungsi ke Polres Jayawiya dan Markas Kodim 1702.
“Semakin sore, keluarga ada yang datang ke Dekanat, menjemput. Sebagian lain memilih bertahan di Dekanat,” tuturnya.
Orang-orang yang memilih bertahan di Dekanat—ada suster, ada anak-anak asrama—akhirnya bergabung dengan warga di asrama, ujar Pastor Allo.
Menjelang malam, listrik padam. Keadaan kota gelap. Saat kerusuhan, kantor PLN dibakar. Salah satu travo meledak di Jl Hom-Hom. Pihak PLN memadamkan dua penyulang setelah menerima perintah Bupati Jayawijaya John Richard Banua. Keadaan Kota Wamena yang sepi dan warga takut keluar sendirian selepas petang bahkan bertahan hingga dua pekan kemudian, sekalipun PLN telah memulihkan dua penyulang sejak 1 Oktober.
Robet Surabut, berasal dari Kurulu dan tinggal di Wamena sejak 1987, menceritakan sempat tidur semalam di rumahnya meski lampu mati, setelah ia mengevakuasi sekitar 50 warga pendatang yang dijemput polisi dengan pikap. Esoknya, ia mengungsi bersama keluarganya ke rumah gereja di Dekanat. Keluarga itu baru kembali ke rumah pada 3 Oktober. Pada hari Sabtu, 5 Oktober, saya melihat para pekerja PLN membenahi jaringan kabel listrik di daerah Wouma.
Di Kantor Polres Jayawijaya, Mikael Alua melihat para pengungsi berdatangan sejak siang hari, sementara ia sendiri tak bisa pergi ke mana-mana. Asap menyelimuti langit kota sejak jam 9 pagi. Guru SMA PGRI Wamena itu telah berusaha mendinginkan emosi pelajar sejak pagi dari sekolahnya. Ia berniat mengajak massa pelajar ke polres, tetapi mereka justru berbelok ke kantor bupati Jayawijaya—menuntut isu ucapan rasis oleh seorang ibu guru diselesaikan oleh pemerintah sipil.
Pada jam 2 siang, Alua memberanikan diri keluar dan memilih tidur ke rumah saudaranya di dekat polres. Sebelum langit gelap, ia pergi ke Dekanat dan bertemu Pastor Allo. Dari dialah Pastor Allo mengetahui asal mula protes para pelajar.
Meski demikian, Pastor Allo masih bertanya-tanya: sekalipun yang dia lihat adalah anak-anak SMA, laki-laki maupun perempuan, tapi “saya tidak bisa membayangkan anak sekolah kok bisa seperti itu? Mereka tidak takut menyerang. Ada bunyi tembakan tidak takut. Mereka tidak menghindar. Tidak lari.”
Cerita di Balik Foto di Jl Phike
Dalam kepanikan yang mengagetkan seluruh penduduk, terutama ketika jaringan internet diputus sebelum jam 12 siang, Edenia Wawolumaya di Manado bertahan dalam harapan bisa terhubung dengan orangtuanya.
Keluarganya mencari peruntungan ke ibu kota Jayawijaya itu sejak 1993, dan Edenia lahir pada 2000—jadi, dia adalah ‘Labewa’ (lahir dan besar di Wamena). Rumah keluarga Edenia di Jalan Pikhe, salah satu lokasi ruko-ruko dibakar massa.
Pada pekan terakhir September itu, kerusuhan Wamena menjadi pusat pemberitaan di Jakarta dan percakapan di media sosial, bersamaan dengan aksi ‘reformasi dikorupsi’ di kota-kota Indonesia. Salah satu propaganda yang berkembang mengenai peristiwa di Wamena adalah “konflik horizontal” antara orang Papua dan warga pendatang, menyusul ada 25 warga “non-orang asli Papua (pendatang)” menjadi korban meninggal. (Sembilan di antaranya warga asal Pesisir Selatan Sumatera Barat.) Propaganda itu bahkan dimanfaatkan oleh sekelompok orang di Jawa yang memakai sentimen itu sebagai “konflik agama” sampai-sampai menyerukan “jihad”—perang suci.
Demi melawan propaganda itu, pada 29 September, Edenia mengunggah foto di akun Twitter dia sembari menulis bahwa tanpa orang Papua … “mungkin ibu saya tidak ada.”
Foto itu menggambarkan keluarga pendatang berwajah panik, orangtua bersama dua anaknya, digandeng tangannya oleh orang Papua, sang ayah menciumi pipi anak muda Papua sembari berjabat tangan erat, sementara anak gadis mereka menatap kosong, dengan langkah tergesa menjauhi pusat api dan asap di belakang mereka.
Foto itu bukan foto dari dia sendiri; Edenia mencomot dari satu unggahan akun lain di Twitter. Sesaat sebelum rumah kami akan dibakar, ujarnya, orang-orang Papua mengajak ibunya bersembunyi.
“Ini aman,” kata mereka. “Ibu kenal kami.”
Di Manado, tempatnya menjalani studi sarjana, Edenia berusaha mengontak mamanya, tapi baru bisa terhubung ke ponsel mamanya pada pukul 4 sore waktu setempat.
Di ujung telepon, ia mendengar mamanya menangis. Mamanya berkata diselamatkan ke sebuah rumah satu bapak pendeta di belakang kompleks honai center bersama ratusan warga lain.
“Ibu saya bercerita mereka baik. Ibu diminta diam. Handphone di-silent.”
Saya mengontak Edenia pada 30 September setelah ia menggalang donasi kemanusiaan untuk pengungsi di Wamena via Kitabisa. Ia berkata “tak menyangka” perhatian publik atas inisiatifnya “begitu luar biasa.” Sejak 28 September, tercatat sudah 761 donasi—ada yang menyumbang Rp10 ribu hingga Rp1 juta—dan menghimpun Rp81,7 juta.
Saya penasaran dengan kisah di balik foto yang diunggah Edenia itu—dan diunggah oleh banyak orang lain di media sosial. Saya mendatangi lokasi foto itu di Jl Phike pada 3 Oktober, hari pertama saya di Wamena. Lembar-lembar pagar seng, ditopang kayu, masih berdiri miring di tepi jalan, persis dalam foto itu.
Empat hari kemudian saya bertemu dengan Pendeta Simet Yikwa dari Gereja Baptis Wesaroma Pikhe.
Yikwa mengisahkan di tengah api, asap, situasi kacau di sepanjang jalanan kota, warga-warga gereja maupun orang Papua berusaha menyelamatkan warga pendatang, membongkar pintu-pintu rumah tempat orang-orang ini terjebak, membawa mereka menjauhi pusat amuk massa.
Jam 12 siang, tokoh-tokoh gereja mengevakuasi pendatang, cerita Yikwa. “Ruko dan jalan penuh,” ujarnya menggambarkan kepanikan warga. “Warga diamankan ke belakang. Semua ditarik ke gereja.”
Ia menyebut nama-nama gembala, pendeta, tokoh masyarakat, kepala kampung, kepala distrik—semuanya, semua yang mengulurkan bantuan, semua yang telah menjaga kemanusiaan, semua yang melihat tetangga mereka sebagai manusia, sebagai nayak—saudara.
Ia melihat terlalu banyak titik api, tak bisa mencegahnya lagi, sehingga para penolong ini menyimpulkan “... yang terpenting kami harus menyelamatkan orang.”
Ia juga mengisahkan kepala distrik di pinggiran Pikhe yang mengevakuasi para tukang bangunan—sekitar 100 orang.
Gereja Yikwa sendiri mengamankan sedikitnya 370 warga pendatang. Di kawasan Pikhe saja, sedikitnya 885 warga pendatang diselamatkan oleh pendeta, gereja, dan warga Papua, termasuk sekitar 250 orang diselamatkan oleh pendeta Yason Yikwa dari Gereja Baptis Panorama Pikhe.
Bukan Disandera
Media-media menulis upaya penyelamatan itu disebut “sandera”. Narasi ini berkembang karena dari warga pendatang yang diselamatkan pun bercerita mendengar ada orang yang bilang “para pengungsi ini akan kami sandera”—sekalipun para pengungsi diminta untuk tenang dan tidur, dihidangkan minum dan makan.
Pendeta Yikwa berkata memang berita yang muncul kemudian ratusan pengungsi itu disandera. “Padahal,” ujarnya, “bukan begitu kejadiannya.”
Kejadiannya bisa dikisahkan oleh Theo Hesegem, aktivis hak asasi manusia di Wamena dari Gereja KINGMI yang diterima oleh pelbagai kalangan—dari aktivis politik Papua hingga pejabat pemerintah daerah dan keamanan Indonesia.
Sesudah peristiwa amuk yang tak bisa dicegah di kantor bupati Jayawijaya, semula Theo mau mendatangi korban ke RSUD Wamena di Jl Trikora, dekat bandara, dengan sepeda motor. Tapi, di depan Polsek KP3 Bandara, ia bertemu dengan kepala operasional polres dan diminta ke Pasar Wouma. Bersama mobil polisi, sementara motornya ditinggal di polsek, Theo mengevakuasi warga pendatang yang telah diselamatkan oleh jemaat gereja di Dekanat.
Sementara polisi-polisi itu bekerja, Theo tetap di pasar, mendatangi beberapa ruko yang hangus rata tanah di seberang Kali Wouma, menyiram api yang masih menyala.
“Setelahnya kami ke Jalan Pikhe. Di sana sudah chaos. Anggota TNI & Polri tidak bisa masuk. Jalan dipalang,” kata Theo.
Muasal badan jalan dipalang karena warga Papua di Pikhe minta anak-anak mereka yang ditahan di Polres—ada tujuh pelajar—dibebaskan.
“Kakak, kami minta teman-teman yang ditahan di Polres, keluar dulu. Nanti kami lepaskan anggota masyarakat di situ,” ujar seseorang kepada Theo setelah mendatangi Pikhe pada pukul 5 sore.
Pendeta Simet Yikwa berkata karena anak-anak mereka masih ditahan di Polres, “pohon ditebang, hambat badan jalan. Polisi tidak boleh lewat.”
Ratusan warga pendatang masih di dalam Gereja Panorama Pikhe, ujar Yikwa.
Menurut Theo, bila mereka sudah diamankan oleh gereja, itu bukan sandera. “Hanya orang-orang tertentu memanfaatkan itu supaya adik-adik di dalam Polres dikeluarkan.”
“Beberapa hamba tuhan di situ mengamankan, bukan maksud disandera, bukan buat bunuh mereka. Kalau sudah di gereja, sudah aman,” terang Theo.
Maka, Theo menjalankan negosiasi itu. Ia bertemu Bupati Jayawijaya John Richard Banua di RSUD Wamena. Banua setuju, “Jangan sampai di sana ada chaos, kita kasih keluar.” Banua bernegosiasi dengan kepala satuan reserse kriminal AKP Suheriadi.
“Akhirnya, polisi bawa anak sekolah itu. Baru masyarakat menyerahkan semua warga pendatang,” ujar Theo mengisahkan evakuasi itu berjalan sekitar jam 7 malam.
Pendeta Yikwa berkata majelis-majelis gereja menyerahkan ratusan warga itu ke polisi yang menunggu di seberang palang jalan.
“Mereka bilang terima kasih, menangis. Jabat tangan dengan warga sini yang mengamankan,” ujarnya.
Edenia, yang ibunya termasuk salah satu dari ratusan warga itu, mengisahkan “tangan ibu saya digenggam bapak gembala.” Bapak gembala memohon maaf atas kejadian yang membuat warga pendatang di Pikhe baru bisa dievakuasi sampai larut malam. Sebaliknya, keluarga-keluarga itu berkata “saya yang harusnya berterimakasih” seraya tangan mereka masih digenggam oleh tangan si orang baik, dipapah menaiki pikap dan Strada polisi, meninggalkan harta benda di belakang mereka.
Edenia berkata mamanya dibawa ke Gedung DPRD Jayawijaya, untuk beberapa jam, dan ia bisa mengontaknya lagi sekitar jam 8 malam. Mamanya berkata ia sudah aman. Esok malamnya, mamanya dan beberapa orang lain mengungsi ke Polres Jayawijaya. Pada Kamis, 26 September, mamanya baru bisa diterbangkan ke Jayapura, tinggal dengan saudaranya.
“Hati saya hancur. Saya dari kecil, saya diasuh oleh orang-orang asli Papua. Saya dari kecil main dengan mereka. Tidak ada yang mempersalahkan warna kulit. Saya main dengan mereka, bergaul dengan mereka.
“Saya sedih sekali dengan pendapat yang menyebut peristiwa ini konflik rasial,” kata Edenia.
========
Bagian terakhir dari tiga serial laporan Tirto mengenai kerusuhan Wamena. Laporan dikerjakan atas kolaborasi Tirto dan Jubi.
Penulis: Fahri Salam
Editor: Mawa Kresna