Seharusnya tak ada yang terbakar. Atau, kalaupun terbakar, seharusnya cukup gedung, rumah, ruko, kantor, atau apa saja selain manusia.
Seharusnya rancangan rumah di Wamena punya pintu keluar yang bisa memudahkan kita meloloskan diri, bukan melihat diri kita tertegun ngeri saat menatap pagar seng semata yang menutupi halaman dapur, sesaat setelah membuka pintu belakang rumah selagi api merambat mendekati kita.
Seharusnya cukup dengan protes pelajar di halaman depan gedung kantor bupati Jayawijaya pada 23 September 2019.
Seharusnya anak-anak itu tetap duduk tenang, sesekali meminta Bupati John Richard Banua mendengarkan aspirasi mereka, lalu setengah hari sisanya mereka bisa lepas baju seragam, mungkin bermain sepakbola, mungkin pergi ke pasar, bertemu dan membantu orangtua mereka.
Seharusnya anak-anak sekolah menyelesaikan ujian tengah semester pada Senin pagi itu.
Seharusnya tak ada penembakan.
Seharusnya Eles Himan pulang ke rumah dengan langkah optimis setelah merampungkan urusan proposal skripsi di STISIP Amal Ilmiah Yapis Wamena. Seharusnya Kelion Tabuni berkebun saja, bukan pulang dengan nyawa terbungkus kain, ditandu oleh warga, dan luka tembak di pusar perutnya.
Seharusnya Naligi Wenda masih jadi satpam Yudha Supermarket di Jalan Hom-Hom, bukan diduga tertembak di bagian jantung dan tewas di dekat Pasar Wouma. Seharusnya toserba milik keluarga Batak-Toraja yang dijaga Wenda itu tidak dibakar.
Seharusnya tak ada pengungsian.
Seharusnya tak ada belasan ribu pengungsi meninggalkan Wamena, menunggu giliran diangkut oleh Hercules, tiba di Sentani, dan berkumpul bersama komunitas asal daerahnya di Jayapura atau melanjutkan pulang ke kampung halaman mereka di luar Papua.
Seharusnya tak ada ribuan pengungsi orang Papua, berjalan kaki berkilo-kilo meter dari petang hingga pagi atau menaiki Strada, membawa barang-barang dan memapah anak-anak, pergi menelusuri pegunungan tengah menuju kampung halaman mereka.
Kerusuhan telah menghapus semuanya.
Kerusuhan telah menghentikan aktivitas sehari-hari mereka. Orang melupakan pekerjaannya, menyelamatkan sanak famili ke tempat yang aman, menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan.
Mereka tak cukup tangan buat memadamkan api, buat menghalau massa, buat menyetop tindakan-tindakan yang telah menewaskan sedikitnya 42 orang, pendatang maupun orang Papua.
Rasisme—barang panas yang bertahun-tahun dialami oleh orang Papua—menjadi api protes; dihadapi tembakan-tembakan; menyala dan menyalak, menghancurkan separuh Kota Wamena hanya dalam waktu setengah hari.
========
Seharusnya rancangan rumah di Wamena punya pintu keluar yang bisa memudahkan kita meloloskan diri, bukan melihat diri kita tertegun ngeri saat menatap pagar seng semata yang menutupi halaman dapur, sesaat setelah membuka pintu belakang rumah selagi api merambat mendekati kita.
Seharusnya cukup dengan protes pelajar di halaman depan gedung kantor bupati Jayawijaya pada 23 September 2019.
Seharusnya anak-anak itu tetap duduk tenang, sesekali meminta Bupati John Richard Banua mendengarkan aspirasi mereka, lalu setengah hari sisanya mereka bisa lepas baju seragam, mungkin bermain sepakbola, mungkin pergi ke pasar, bertemu dan membantu orangtua mereka.
Seharusnya anak-anak sekolah menyelesaikan ujian tengah semester pada Senin pagi itu.
Seharusnya tak ada penembakan.
Seharusnya Eles Himan pulang ke rumah dengan langkah optimis setelah merampungkan urusan proposal skripsi di STISIP Amal Ilmiah Yapis Wamena. Seharusnya Kelion Tabuni berkebun saja, bukan pulang dengan nyawa terbungkus kain, ditandu oleh warga, dan luka tembak di pusar perutnya.
Seharusnya Naligi Wenda masih jadi satpam Yudha Supermarket di Jalan Hom-Hom, bukan diduga tertembak di bagian jantung dan tewas di dekat Pasar Wouma. Seharusnya toserba milik keluarga Batak-Toraja yang dijaga Wenda itu tidak dibakar.
Seharusnya tak ada pengungsian.
Seharusnya tak ada belasan ribu pengungsi meninggalkan Wamena, menunggu giliran diangkut oleh Hercules, tiba di Sentani, dan berkumpul bersama komunitas asal daerahnya di Jayapura atau melanjutkan pulang ke kampung halaman mereka di luar Papua.
Seharusnya tak ada ribuan pengungsi orang Papua, berjalan kaki berkilo-kilo meter dari petang hingga pagi atau menaiki Strada, membawa barang-barang dan memapah anak-anak, pergi menelusuri pegunungan tengah menuju kampung halaman mereka.
Kerusuhan telah menghapus semuanya.
Kerusuhan telah menghentikan aktivitas sehari-hari mereka. Orang melupakan pekerjaannya, menyelamatkan sanak famili ke tempat yang aman, menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan.
Mereka tak cukup tangan buat memadamkan api, buat menghalau massa, buat menyetop tindakan-tindakan yang telah menewaskan sedikitnya 42 orang, pendatang maupun orang Papua.
Rasisme—barang panas yang bertahun-tahun dialami oleh orang Papua—menjadi api protes; dihadapi tembakan-tembakan; menyala dan menyalak, menghancurkan separuh Kota Wamena hanya dalam waktu setengah hari.
========
Baca juga artikel terkait PHOTO STORY atau tulisan lainnya
tirto.id - Hukum
Penulis: Fahri Salam
Editor: Sabda Armandio
Editor: Sabda Armandio