tirto.id - Nyaris setiap pagi air laut bertamu di halaman rumah Leli di Kampung Beting. Leli, 35 tahun, masih berkukuh karena di situlah harta dia satu-satunya dan kehidupan yang dikenalinya.
Terletak di Desa Pantai Bahagia, penduduk di kawasan pesisir utara Muara Gembong, Bekasi, itu telah banyak mengungsi, pindah ke tempat yang lebih aman dan tinggi dari terjangan abrasi. Meninggalkan rumah kosong dan berlumpur. Ombak pasang telah mengisi sekolah hingga tempat ibadah.
Wajah pesisir utara Semarang juga tak lagi sama. Abrasi telah menghancurkan sedikitnya 337.968 hektare luasan pesisir di ibu kota Jawa Tengah itu hanya dalam lima tahun, dari 2008 hingga 2013.
Bukan hanya garis pantai yang rusak, potensi banjir rob semakin jamak di sepanjang kawasan tersebut.
Tahun demi tahun, air semakin mendekati permukiman, bersamaan ikhtiar warga yang memulihkan ekosistem pesisir dengan menanam dan melestarikan pohon-pohon bakau.
Betapapun pohon bakau dan sejenisnya bisa menyelamatkan mereka, sekalipun untuk sementara, tapi hanya segelintir dari mereka yang bermukim di pinggir utara Pantai Jawa yang mau membuang waktu dan tenaga untuk menanam benteng alami penangkal abrasi.
Bagi para ahli, bagaimanapun, upaya melestarikan hutan mangrove secara swadaya tetap kalah cepat dari laju perusakan lingkungan, yang mengubah ruang hijau menjadi beton-beton pembangunan dan kawasan pertanian dan permukiman.
Mereka menyarankan setidaknya para pemangku kebijakan harus segera membangun tanggul buatan. Bukan hanya untuk memecah ombak, tapi juga demi membantu proses rehabilitasi wilayah yang sudah telanjur rusak.
Bencana iklim yang ditandai dengan kenaikan permukaan air laut, plus masifnya pembangunan di sepanjang pesisir, mengakibatkan berlapis-lapis krisis ekonomi dan kemanusiaan serta perubahan politik dalam tiga dekade ke depan.
______
Liputan ini adalah kolaborasi antara Storigraf dan Tirto.id atas dukungan dan kerja sama dari Internews’ Earth Journalism Network (EJN) dan Resource Watch.
Editor: Fahri Salam