Menuju konten utama

Sururi, 'Kiai' Bakau dari Pesisir Semarang

Ia tak cuma menyelamatkan rumahnya tapi juga desanya. Melestarikan kawasan pesisir yang diabaikan pemerintah Kota Semarang.

Sururi, 'Kiai' Bakau dari Pesisir Semarang
Sururi di Kampung Mangunharjo, Mangkang, Semarang, Jawa Tengah, 11/11/2019. foto/Wisnu Agung Prasetyo untuk Storigraf

tirto.id - Manusia, konon, hanya sanggup menunda kekalahan dalam pertempurannya yang singkat melawan alam. Sebab, seterunya, manusia memiliki sekongkol tanpa tanding, yakni waktu, dan Sururi agaknya menyadari fakta sebegitu ketika berbicara tentang hutan bakau di pesisir kampung halamannya di Mangunharjo, Semarang.

“Kalau ada kecerobohan manusia lagi,” ujarnya dengan nada bicara menipiskan keyakinan diri, “mungkin (abrasi bakal terjadi lagi) 10 tahun yang akan datang.”

Laki-laki berusia 61 ini bertahun-tahun istikamah mengelakkan desanya dari penaklukan alam. Saat melontarkan kata-kata itu, wajahnya keruan menampakkan kegelisahan. Ia seperti ingin memastikan masih ada relief ingatan buruk dari suatu masa yang terawetkan di sana. Kecerobohan manusia, yang ia kutip itu, telah membuatnya, dan banyak orang di kampungnya, kehilangan banyak; dan ia tak kuasa membayangkan terulang kembali kehilangan itu.

Urip saya rekasa dari 1997 sampai 2002. Saya mesti cari kepiting di sela-sela tambak, yang kalau malam menempel di tepi,” katanya dalam bahasa Jawa untuk menyebut hidup sengsara.

“Satu kilogram laku Rp15-20 ribu. Kalau agak besar sedikit, Rp25 ribu,” ujarnya menyebut harga kepiting.

Padahal, sebelumnya, saat masih ada tambak, Sururi tak pernah betul-betul kesusahan. Ayahnya, yang meninggal pada 1981, mewariskan dua aset penting. Sebuah rumah yang kini masih didiami Sururi dan keluarganya serta tambak seluas dua hektare.

“Ketika saya menikah pada 1984, tambak masih mengalami kejayaan. Waktu itu tiap hari masih mudah cari uang Rp100 ribu dari udang. Masih ada tambahan lagi dua kali setahun dari panen bandeng. Bandeng empat sampai lima kuintal saja di sini habis,” ujarnya.

Dengan peninggalan orangtua itu Sururi membiayai kuliah kedua adiknya hingga tamat. Sialnya, memasuki dekade 1990-an, tanda-tanda abrasi mulai hadir menyusul perluasan wilayah tambak dan penyusutan tanaman-tanaman alami di sekitar Mangunharjo. Saat itu, tak satu pun warga Mangunharjo pernah membayangkan alam bakal menghukum mereka.

Namun, dunia mengajukan sebab-akibat: Ia memberi meski kadang tak diminta atau dinanti.

Bagi warga kampung, pemberian itu meninggalkan konsekuensi panjang. Saat bakau, vegetasi natural di sana, akhirnya nyaris habis karena dikikis kolam-kolam udang windu, pasang laut mulai merambati kampung dan menenggelamkan kolam pencaharian.

“Tambak mulai hilang total itu 1995,” kata Sururi. “Tahun 1995 sampai 1997, tidak ada harapan lagi untuk punya tambak."

Sururi kehilangan tambak pada 1992. Beriring itu, sumbu perekonomiannya patah. Di tengah keputusasaan, ia berangkat ke Kuala Lumpur, Malaysia, untuk bekerja menjadi kuli bangungan. Dua tahun di sana tanpa banyak menghasilkan, ia memutuskan pulang. Namun, problem di rumah jelas belum terselesaikan.

Sururi mafhum bahwa alam sekenanya menguji keuletan manusia, dan ia mengambil bagian. Ia bergerak sebagai upaya penebusan atas dosa ekologis yang sempat lama ditanggungnya. Maka, menanam bakau jadi pilihan paling rasional yang bisa dijangkaunya. Dengan bantuan istrinya, Nurchayati, dan seorang tetangga bernama Muhyasir, ia mulai menantang abrasi.

“Pertama kali nanam itu dapat bantuan bertahap. Setahun dapat bibit propagul (kecambah pohon) 100 ribu dengan nilai per bibit Rp300 sudah dengan nanam. Tapi, yang hidup cuma 35 persen karena hantaman gelombang masih tinggi,” ujarnya.

Bertahun-tahun mereka begitu. Tentu saja tak selalu beroleh dukungan. Beberapa tetangga malah enteng mencemooh. Sururi dianggap kurang kerjaan. Bukannya mengurusi anak tapi malah menanam bakau. Saat itu anaknya sudah empat.

“Perjuangan saya terutama untuk melindungi supaya tidak pindah rumah. Kalau rumah selamat, ekonomi dari mana pun bisa dicari,” ujarnya saat saya menemuinya di Mangunharjo.

Dua puluh dua tahun kemudian, perjuangan itu tak mengingkarinya. Rumahnya selamat, meski fisik Sururi seperti terisap keseriusannya sendiri.

Berkali-kali saya menilai tubuh setinggi 170-an cm itu, dan berkali-kali pula saya menilai ketangguhan sulit sekali ditautkan kepadanya. Waktu berjalan, kakinya terlihat seolah-olah bakal mengkhianatinya dan membuatnya terjatuh kapan saja. Dan waktu ambil jeda jalan kaki, napasnya tertahan-tahan.

“Capek atau tidak itu tinggal pribadinya. Kalau saya capek, ada istirahatnya. Masih ada waktu untuk istirahat,” katanya.

Penampilan luar memang bisa menipu. Sambil sesekali mengungkapkan kedongkolan atas orang-orang yang kini merasa butuh tenar dan tinggal mengambil faedah dari perbaikan ekologis di Mangunharjo, Sururi menekankan lakunya justru bersandar pada kesabaran dan ilmu. Faktor yang terakhir menuntun jalannya, sementara yang pertama mengeraskan landasan tempatnya melangkah.

“Yang penting kaya ilmu. Kalau ilmu katut, banda nunut. Kalau banda nunut, belum tentu ilmu katut,” ujarnya mengungkap falsafah hidup yang dia dapat dari Sudharto P. Hadi, peneliti lingkungan hidup dari Universitas Diponegoro, Semarang, yang acap dia sebut “Prof.”

Dari mana Sururi mendapatkan sikap keras kepala puluhan tahun untuk menjauhkan kampungnya dari kerusakan?

Ia mengaku pernah berakad dengan Sudharto bahwa anak-anaknya mesti setidaknya berpendidikan sarjana. “Yang penting semua anaknya dapat ilmu, begitu kata Pak Darto. Setelah itu kalau mau pensiun, silakan."

Kini Sururi tak menyangka luas lahan yang berhasil ditanami bakau hampir mencapai 80 hektare. Jika ditimbang dengan luas tambak di Mangunrejo dulu—yang mencapai 300 hektare—itu memang bukan angka memuaskan. Belum lagi tentang 100 hektare area tambak yang mungkin belum pulih.

Tetapi, setidaknya, sejak tembok bakau mulai menebal pada 2011, roda ekonomi sektor pertambakan kembali berputar. Dan bukan itu saja. Tiga kelurahan—Mangunharjo, Mangkang Kulon, dan Mangkang Wetan—terhindar dari abrasi. Tangkapan nelayan lebih menjanjikan setelah hutan bakau meluas.

Atas jasanya, Sururi jadi tempat bertanya. Banyak mahasiswa berguru kepadanya. Rumahnya yang hangat itu sering diinapi oleh banyak orang dari dalam dan luar negeri. Ia juga diganjar sekitar 300 penghargaan, dua di antaranya berasal dari Bank Indonesia dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

“Tapi, yang paling masuk di hati, yang mengalahkan segala-galanya, adalah hadiah umrah pada 2017. Itu penghargaan tertinggi karena bisa ziarah ke makam Rasulullah,” ujarnya.

Warga Tambak Blorok

Warga beraktivitas di Tambaklorok, Semarang, Jawa Tengah, 13/11/2019. ©Wisnu Agung Prasetyo untuk Storigraf

Pesisir yang Menyempit

Sururi mengenang medio 1990-an hingga awal 2000-an adalah periode Mangunharjo berada di titik erosi pantai paling berbahaya.

Jarak garis pantai dan batas kampung yang tadinya 1,6 kilometer saat itu bersisa 500 meter. Debur ombak terdengar jelas dari rumahnya. Jika pasang besar tiba, jalan-jalan kampung sontak menjadi genangan.

Ia berpikir harus melakukan sesuatu. Rumah itu satu-satunya harta dia punya, dan dia tak ingin kehilangannya. Maka, meneteslah pemikiran untuk menanam bakau. Masalahnya, dia belum punya pendamping. Dalam hematnya, itu problem.

“Menyelamatkan lingkungan butuh penguat,” katanya, dan pendamping dapat memenuhi kebutuhan tersebut.

Pada saat bersamaan, para nelayan setempat protes keras atas keberadaan perusahaan olahan kayu di Kabupaten Kendal, yang dinilai mereka berkontribusi menyebabkan abrasi parah di daerah Tugu, satu kecamatan di pesisir Semarang. Perusahaan sama juga terekam menghasilkan limbah dan sampah yang merusak ekosistem setempat.

Unjuk rasa itu tak dinyana membawa berkat. Sururi tergiring ke banyak pertemuan dan sejumlah pihak. Di antara yang dia jumpai adalah Sudharto, sosok yang memantiknya untuk mulai menanam bakau. Ia ingat tahun pertama menanam adalah 1997. Proyek-proyek awal disokong pemerintah Jawa Tengah dan Kementerian Kehutanan. Namun, sayangnya, dukungan itu berhenti total pada 2006.

"Profesor Sudharto lalu memperkenalkan saya dengan perusahaan rokok besar dari Kudus sebagai mitra pada 2007,” ujarnya, “dan sejak itu situasi berubah."

Perusahaan dimaksud mulanya menghargai bibit Sururi Rp600 per batang. Lebih murah dari harga bibit pemerintah, memang, tapi pemesanan berlangsung konsisten. Tiap bulan bisa ribuan. Kenyataan itu jelas menjamin dua hal bagi Sururi: dapur bisa ngebul dan rehabilitasi lahan pesisir tetap berjalan. Sejak bekerja sama dengan perusahaan itu, nama Sururi pelan-pelan mulai diperhitungkan masyarakat. Bukan cuma di Semarang, tapi pesisir utara Jawa.

Selain itu, di atas segalanya, ketekunan Sururi dan beberapa rekannya di belakang hari terbukti mengembalikan ekosistem pesisir Mangunharjo.

Hasil perhitungan terakhir yang dilakukan oleh mahasiswa Teknik Sipil Universitas Diponegoro membuktikan lebar pesisir Mangunharjo dari batas kampung ke garis pantai sudah lebih dari 1,4 kilometer. Kalau mau menghitung valuasinya—seperti lazim terjadi di dunia perusahaan rintisan—mesti menyandingkannya dengan harga proyek-proyek reklamasi. Angkanya jelas jatuh di angka miliaran rupiah.

Saya menyaksikan sendiri salah satu efek benteng bakau itu. Sedimen pasir sepanjang lebih dari 20 meter dan panjang lebih dari 100 meter baru tergelar empat bulan belakangan membentuk pantai. Pasir itu sebenarnya bisa ditanami cemara laut untuk berteduh. “Tapi belum ada dananya,” ujar Sururi. “Padahal bisa untuk ekowisata bakau. Kalau ramai, masyarakat sekitar bisa mendapat nilai tambah rezeki lagi."

Dari pantai itu, petak satu sudah sulit ditengok. Petak satu merupakan sebutan untuk area perintis yang Sururi tanami mangrove untuk kali pertama. Tinggi pohonnya sudah lebih dari 10 meter. “Ke situ harus pakai perahu,” ujarnya, “karena sudah terlalu rapat. Enggak bisa jalan kaki ke situ”.

Dari kerimbunannya, rombongan kuntul besar tertangkap mata. Mereka tampak oleng saat mengatur pendaratan dan mungkin terlalu bersemangat melihat belanak atau gelodok yang menghuni perairan bakau.

Kecemasan yang Memanjang

Beberapa kali di tengah perbincangan dengan Sururi, saya berusaha menempatkan sosoknya dalam gambar besar Mangunharjo. Seorang perokok berat yang pernah mengabdi di pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, selama beberapa tahun. (“Mengemong Gus Ipul”, ujarnya menukil panggilan Saifullah Yusuf, dan mengambil teladan dari seorang kiai.)

Seorang Laki-laki yang tak pernah menonton pertunjukan wayang hingga selesai serta berkali-kali menyebut frasa “Tuhan Mahaadil” serta “Wallahu A'lam” untuk pelbagai peristiwa yang merobek batinnya; bapak dari enam anak yang secara fisik begitu kecil ketimbang pohon-pohon mangrove yang kini tegak mengawal pesisir Mangunharjo.

Dua dekade lebih ia menyapih diri dari eksploitasi, dan sepanjang itu pula ia belum bisa tenang. Kekhawatiran atas dampak kusut “kecerobohan manusia” menjadi topik berulang pembicaraannya.

Sururi

Sururi di antara pepohonan bakau di Kampung Mangunharjo, Mangkang, Semarang, Jawa Tengah. 11/11/2019. ©Wisnu Agung Prasetyo untuk Storigraf

Dulu kawasan itu menampung banyak pemilik tambak. Lalu, ada masa mereka mulai menjual lahan kepada pengembang. Setelah abrasi berakhir dan tambak mulai bisa dibuka lagi, mereka hanya bisa menyewa untuk membudidayakan bandeng atau kepiting.

Sururi mengaku tak seperti mereka. Ia kehilangan tambak bukan karena jual-beli, tapi karena kena tipu. Akta kepemilikannya dibawa lari orang. Kini, jangankan membeli lahan baru, Sururi masih harus mengontrak lahan untuk mengembangkan bibit bakau.

Secara umum, area hutan bakau Mangunharjo memang dikuasai pengembang. Sebab, pada awalnya, tata ruang Kota Semarang menempatkannya sebagai kawasan industri. Namun, Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No.13/2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Jateng meletakkan hutan itu sebagai kawasan lindung.

Perda itu akan menjadi acuan bagi Kota Semarang untuk memperbarui tata ruangnya. Jadi, sebenarnya, mungkin saja hutan bakau di sekitar Mangunharjo bisa ditetapkan Pemerintah Kota Semarang sebagai ruang terbuka hijau.

Dalam hemat Sururi, pemerintah Semarang hendaknya membeli lahan itu, seperti tindakan pemerintah Kota Surabaya atas hutan bakau Wonorejo. Setelahnya, pengelolaan bisa dikerjakan kelompok masyarakat atau kelurahan.

“Sampai sekarang kalau mengingat-ingat sebenarnya hati masih sakit. Semua pihak yang menikmati sekarang kan tinggal menikmati hasilnya saja,” ujarnya.

Di tengah kekecewaan itu, ilmu agama yang pernah ia reguk dari periode mengabdi di pesantren pada pertengahan 1970-an sesungguhnya menjadi semacam perisai. Ilmu yang bukan cuma “menjadi bekal di kemudian hari” tapi juga membuatnya rendah hati dan terbuka.

Sururi akhirnya memang tak menjadi kiai yang mengajar dari khazanah keilmuan klasik. Namun, ia bisa dikata ‘kiai’ bakau di pesisir Semarang.

_______

Liputan ini adalah kolaborasi antara Storigraf dan Tirto atas dukungan dan kerja sama dari Internews’ Earth Journalism Network (EJN) dan Resource Watch.

Baca juga artikel terkait ABRASI PANTAI UTARA JAWA atau tulisan lainnya dari Storigraf

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Storigraf
Editor: Fahri Salam