tirto.id - Sekitar tahun 2005, saya luntang-lantung di stasiun Poncol, Semarang, mencari tempat menginap. Saya bertemu seorang laki-laki 40 tahunan. Kami berbincang sebentar. Ia mengajak saya bermalam di tempat lain yang menurutnya lebih layak ketimbang peron. Ajakan itu membuat saya mengingat-ingat pengalaman yang tak enak saat saya tertangkap tidur di stasiun. Saya setuju. Kami tiba di muka bangunan tua di kawasan pecinan setelah berjalan kaki sekitar dua kilometer. Omah Boro, begitu ia menyebutnya.
Hari ini, empat belas tahun kemudian, saya berdiri lagi di depan Omah Boro. Saya membawa kamera dan ingatan yang tak sepenuhnya hilang; bangunan tua besar yang menyerupai gudang berhias ornamen Cina yang tidak pernah dipugar, ratusan buruh yang tidur berjejalan—mengingatkan saya pada foto-foto dokumentasi kamp konsentrasi Auschwitz karya Wilhelm Brasse, dan orang-orang renta bermain catur dengan amat serius seakan sedang mempertaruhkan sisa usia mereka. Ingatan itu berputar cepat seperti pertunjukan layar tancap.
Seperti ingatan lain, beberapa hal tak banyak berubah. Rupa gedung ini juga. Plester tembok depan bangunan yang mengelupas di banyak sudut memperlihatkan batu bata yang mulai pucat akibat cuaca, bau apak balok-balok kayu jati penyangga atap yang selalu terlihat akan segera rubuh. Satu sudut yang kelihatannya mengalami perubahan adalah lembaran-lembaran kaca yang bersandar di dinding. Seingat saya, dulu dinding itu adalah tempat penyewa kamar menyandarkan sepeda-sepeda onthel mereka, dan ada warung kopi kecil beratap terpal di sisinya.
Saya mondar-mandir di depan pintu, memerhatikan perbedaan yang terjadi selama satu dekade, sambil menghabiskan satu batang rokok. Nostalgia memang menyenangkan, dan kalau saja seorang laki-laki tua tak menanyakan maksud kedatangan saya, saya mungkin akan menghabiskan satu bungkus rokok cuma untuk mengenang sesuatu dari masa silam. Kami berkenalan dan mengobrol.
Ia menyebut dirinya Maryadi, usianya barangkali enam puluh tahun. Ia pengrajin kaca—rupanya, ia pemilik lembaran-lembaran kaca itu. Ia juga generasi ketiga keluarga pengelola Omah Boro. Saat ini petugas pengelola atau manejer Rumah Boro adalah sepupunya, Pak Gito. Pak Gito bertugas mencatat kegiatan keluar masuk penyewa, baik penyewa harian mau pun bulanan. Pak Maryadi menjelaskan tarif sewa harian sebesar 3000 rupiah per malam, mengikuti tarif baru yang diterapkan pengelola pada 2017 setelah hampir sepuluh tahun bertarif 2000 rupiah. Sedangkan untuk bulanan ia enggan menyebutkan. Setiap penyewa akan dimintai kartu identitas dan kartu pengenal buruh.
Pak Maryadi lahir dan besar di Omah Boro. Sekalipun tidak ingat persis kapan gudang tepi sungai itu beralih fungsi menjadi penginapan, beberapa kejadian masih ia ingat. Misalnya, beberapa hari setelah peristiwa G30S pasukan RPKAD menggeledah Omah Boro dan menyeret banyak penghuni ke luar. Sebagian besar tidak pernah kembali. Ia juga ingat cerita tetua-tetua Tionghoa tentang kejayaan Omah Boro saat masih menjadi gudang logistik; saat sungai masih besar dan dalam, dan kapal-kapal dagang bersandar dan menaik-turunkan barang.
Omah Boro dalam ingatan Pak Maryadi adalah penginapan bagi para buruh Pasar Johar, sebagian besar buruh angkut. Omah Boro adalah solusi bagi mereka yang membutuhkan ruangan berdinding dan beratap buat istirahat. Banyak penghuni yang menetap bertahun-tahun. Ketika mereka sudah terlalu tua untuk bekerja sebagian besar kembali ke keluarganya di luar Semarang, beberapa memutuskan tinggal dan mengembuskan napas terakhirnya di Omah Boro. Saat ini, selain buruh Pasar Johar, banyak juga pedagang asongan yang menjadi penghuni tetap Omah Boro. Mereka memulai aktivitas sebelum matahari terbit dan kembali menjelang malam.
Omah Boro serupa hewan nokturnal. Orang-orang, sebagai organ vital gedung, baru beraktivitas setelah matahari hampir tak kelihatan. Bale-bale kayu panjang dipenuhi dan pertandingan catur digelar. Televisi dinyalakan dan olok-olok politik dikeluarkan. Aroma param kocok bercampur keringat menguar dari betis yang diurut dengan khidmat. Lantunan ayat suci berebut ruang dengan musik campursari. Ketika penghuni kota lain berlomba-lomba melapisi diri dari orang lain, penghuni Omah Boro sibuk melapisi atap mereka dengan plastik agar sanggup melindungi mereka dari angin dan hujan; melindungi apa yang sebetulnya bukan milik mereka.
Kini Omah Boro sudah tidak seramai dulu, kebakaran besar yang menghabisi Pasar Johar pada 2015 memaksa para buruh angkut meninggalkan pekerjaan mereka dan kembali ke kampung. Pemkot Semarang beberapa kali berusaha merelokasi penghuni Omah Boro yang dianggap kumuh, dan rencana menjadikan Omah Boro sebagai bangunan cagar budaya membuat sebagian penghuni khawatir untuk tinggal terlalu lama.
Proyektor dimatikan. Layar diturunkan. Pertunjukan usai. Saya, sebagai satu-satunya penonton di dalam pikiran sendiri, harus pulang. Besok adalah hari yang lain bagi saya, dan penghuni Omah Boro.
Editor: Sabda Armandio