Pandemi COVID-19 telah menyurutkan penghasilan seorang transpuan asal Makassar yang akrab disapa Chieztha Mabua (20) sebagai seorang lip-sync performer. “Terakhir itu saya manggung di acara ulang tahun teman tahun 2019”. Selama kurang lebih 10 bulan terakhir, tawaran manggung untuk menghibur di beragam hajatan, benar-benar tidak ada. Harapan tersebut baru dia dapatkan kembali di bulan terakhir tahun 2020 ketika diajak Komunitas Sehati Makasar untuk tampil di sebuah hajatan peringatan hari HAM. Untuk sekali pertunjukkannya, dirinya dapat mengantongi uang saweran mulai dari 800ribu hingga 2,5 juta rupiah.
Selama masa pandemi, untuk menyokong ekonomi keluarganya, Chieztha mengalihkan energinya sebagai pendengung untuk mempromosikan produk-produk titipan di akun Instagram pribadinya yang memiliki jumlah pengikut sebanyak 1.834. Di keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya, Chieztha telah diterima kehadirannya sebagai transpuan, meskipun pada awalnya juga sempat mendapatkan represi dari berbagai pihak perihal identitasnya.
Chieztha mengenal pertunjukan seni lip-sync lima tahun lalu saat diajak temannya menyaksikan semacam pertunjukkan drag queen di Makassar yang memperagakan kostum dan pertunjukkan lip-sync yang diselenggarakan oleh komunitas transpuan di Makassar. Dari situ dirinya mulai berkenalan lebih akrab dengan komunitasnya. Dirinya mulai mencoba beberapa ajang lomba lip-sync. Kesungguhannya sebagai lip-sync performer berbuah prestasi ketika mengikuti kompetisi di sebuah acara drag queen di Makassar dengan menyabet juara ke-4 di panggung Bali Jo pada tahun 2019.
Secara historis, seni pertunjukkan lip-sync telah dipopulerkan dalam skena drag queen. Nicole Pasulka dalam sebuah artikelnya berjudul “Read My Lips“ yang dirilis Slate memaparkan sejarah seni pertunjukkan lip-sync tidak terlepas dari skena drag queen yang telah ada sekitar abad ke-19. Di Indonesia sendiri, drag hadir dalam seni pertunjukkan kebudayaan lokal, seperti Arjen Weni di Bali, Ludruk dan Lengger di Jawa dan Landai di Sumatera.
Drag digunakan untuk menyebut female impersonator alias peniru perempuan: laki-laki yang bergaya dan berpakaian feminin, melakukan atraksi menyanyi, lip-sync, menari, komedi, atau bahkan teatrikal. Dulu, saat hak-hak perempuan masih terbatas termasuk tampil di atas panggung, para pria diperkenankan memerankan karakter di atas panggung asalkan memakai kostum dan wig. Dalam perkembangannya, drag digunakan sebagai simbol perlawanan terhadap budaya maskulinitas. Melalui semangat tersebut persimpangan antara drag queen dan transpuan tak pernah jauh.
Bagi Chieztha, seorang transpuan yang berprofesi sebagai lip-sync performer berharap pandemi segera berlalu agar dia kembali mendapatkan panggungnya dan berharap lip-sync dapat lebih diterima sebagai hiburan di tengah masyarakat, seperti halnya dengan identitas dirinya di lingkungan rumahnya.
--------------
Seluruh foto merupakan karya Iqbal Lubis.
Editor naskah oleh Hafitz Maulana
Selama masa pandemi, untuk menyokong ekonomi keluarganya, Chieztha mengalihkan energinya sebagai pendengung untuk mempromosikan produk-produk titipan di akun Instagram pribadinya yang memiliki jumlah pengikut sebanyak 1.834. Di keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya, Chieztha telah diterima kehadirannya sebagai transpuan, meskipun pada awalnya juga sempat mendapatkan represi dari berbagai pihak perihal identitasnya.
Chieztha mengenal pertunjukan seni lip-sync lima tahun lalu saat diajak temannya menyaksikan semacam pertunjukkan drag queen di Makassar yang memperagakan kostum dan pertunjukkan lip-sync yang diselenggarakan oleh komunitas transpuan di Makassar. Dari situ dirinya mulai berkenalan lebih akrab dengan komunitasnya. Dirinya mulai mencoba beberapa ajang lomba lip-sync. Kesungguhannya sebagai lip-sync performer berbuah prestasi ketika mengikuti kompetisi di sebuah acara drag queen di Makassar dengan menyabet juara ke-4 di panggung Bali Jo pada tahun 2019.
Secara historis, seni pertunjukkan lip-sync telah dipopulerkan dalam skena drag queen. Nicole Pasulka dalam sebuah artikelnya berjudul “Read My Lips“ yang dirilis Slate memaparkan sejarah seni pertunjukkan lip-sync tidak terlepas dari skena drag queen yang telah ada sekitar abad ke-19. Di Indonesia sendiri, drag hadir dalam seni pertunjukkan kebudayaan lokal, seperti Arjen Weni di Bali, Ludruk dan Lengger di Jawa dan Landai di Sumatera.
Drag digunakan untuk menyebut female impersonator alias peniru perempuan: laki-laki yang bergaya dan berpakaian feminin, melakukan atraksi menyanyi, lip-sync, menari, komedi, atau bahkan teatrikal. Dulu, saat hak-hak perempuan masih terbatas termasuk tampil di atas panggung, para pria diperkenankan memerankan karakter di atas panggung asalkan memakai kostum dan wig. Dalam perkembangannya, drag digunakan sebagai simbol perlawanan terhadap budaya maskulinitas. Melalui semangat tersebut persimpangan antara drag queen dan transpuan tak pernah jauh.
Bagi Chieztha, seorang transpuan yang berprofesi sebagai lip-sync performer berharap pandemi segera berlalu agar dia kembali mendapatkan panggungnya dan berharap lip-sync dapat lebih diterima sebagai hiburan di tengah masyarakat, seperti halnya dengan identitas dirinya di lingkungan rumahnya.
--------------
Seluruh foto merupakan karya Iqbal Lubis.
Editor naskah oleh Hafitz Maulana