tirto.id - Lahir dari keturunan ningrat di Sumedang pada 1898, Gatot Mangkupraja dapat mengenyam pendidikan di sejumlah sekolah yang didirikan Pemerintah Kolonial Belanda.
Ia mengawali pendidikan formalnya di ELS (Europeesche Lager School) pada 1905 di Bandung dan lulus tahun 1913. Setelah itu, Gatot melanjutkan studi ke STOVIA di Weltevreden, namun tak selesai.
Warsa 1917, ia kembali ke Bandung dan sekolah di HBS (Hoogere Burgerschool).Setelah tamat, ia bekerja sebagai juru tulis di perusahaan kereta api dan tergabung dalam VSTP (Serikat Pekerja Kereta Api).
Masa mudanya banyak dihabiskan di Bandung saat organisasi pergerakan nasional bermunculan dan ia larut di dalamnya.
Bersama Sukarno dan rekan-rekannya yang lain, ia turut mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Tahun 1929 ia turut ditangkap dan diadili, lalu divonis hukuman penjara selama dua tahun.
Karier politiknya pada masa pergerakan berakhir tahun 1933 setelah mengundurkan diri dari Partindo.
Persahabatan dari Toko Obat
Dalam Memoarnya berjudul The PETA and My Relations with the Japanese: a Correction of Sukarno’s Autobiography (1967) disebutkan, setelah mengundurkan diri dari Partindo, Gatot membuka toko obat.
Selama menjalankan bisnisnya, ia menjalin hubungan dengan para importir dari Belanda, Jerman, serta Jepang.
Pada Oktober 1933, Gatot Mangkupraja turut serta dalam rombongan yang dipimpin Parada Harahap untuk mengunjungi Jepang dalam rangka menjalin hubungan dengan para industrialis Negeri Matahari Terbit itu.
Bersamaan dengan kunjungan itu, saat memasuki bulan Desember 1933, ia menjadi salah satu perwakilan Indonesia dalam kongres Pan-Asia pertama di Jepang.
Saat itulah Gatot berkenalan dengan tokoh-tokoh penting dan terkesan dengan tekad Jepang untuk menjadikan Asia bagi bangsa Asia. Setelah itu, ia segera memperlebar hubungan dengan para pengusaha Jepang yang memiliki toko di Bandung, Yogyakarta, Solo, dan pengelola perkebunan di Garut serta Cianjur.
Dalam menjalin hubungan dengan para pengusaha Jepang, Gatot sering didatangi para pengawas politik Jepang di Indonesia. Mereka mengunjungi toko obatnya bukan sekadar sebagai konsumen, lebih dari itu, sering diminta pandangan pribadinya terhadap Jepang.
Demi keamanan keluarga, ia memutuskan pindah ke Cianjur sambil membuka toko obat herbal yang dinamai Toko Jamu Hindia “Ahli Waris Dr. Saleh”. Selain itu, ia juga aktif sebagai Ketua Paguyuban Pasundan Cabang Cianjur dan Wakil Ketua Muhammadiyah Cianjur.
Gatot kemudian berkenalan dengan Takeomi Togashi, pemilik toko obat di Jalan Raya Cianjur yang memiliki hubungan dengan militer Jepang seperti Letnan Yanagawa. Maka itu, saat Jepang berhasil merebut Hindia Belanda, ia turut menyambut kedatangan penguasa baru.
Ia kemudian ditunjuk sebagai pemimpin organisasi Tiga A di Bandung, meskipun organisasi ini gagal dalam mencapai tujuan Jepang.
Tinta Darah
Masih berdasarkan memoarnya, Gatot Mangkupraja mendapatkan berita dalam surat kabar Tjahaja pada September 1943, isinya tentang Sutardjo Kartohadikoesoemo yang mengusulkan wajib militer di Indonesia kepada Pemerintah Jepang sebagai dukungan untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya. Saat itu, Sutardjo sedang berada di Jepang.
Ia menyayangkan usulan itu. Sejak tergabung dalam PNI pada masa kolonial, Gatot menentang kebijakan wajib militer.
Baginya, alih-alih wajib militer dengan sistem paksaan, wajib militer sukarela lebih baik. Ia kemudian menulis hal tersebut dalam surat kabar Thajaja.
Sehari setelah tulisannya dimuat, Gatot didatangi kempetai dari Sukabumi untuk dijemput menuju kediaman Sersan Kobayashi. Setibanya di Sukabumi, ia diinterogasi mengenai tulisannya di surat kabar Tjahaja oleh Kempetai Cho (kepala cabang kempetai), Mr. Ichizaki, dan nyonya Milbradt Miller selaku penerjemah.
Beberapa hari kemudian ia diperintahkan untuk menemui Letnan Yanagawa di kantor Beppan yang berada di Gambir 64, Jakarta. Setibanya di sana, ia dibawa Letnan Yanagawa untuk bertemu dengan Mayor Jenderal Sato yang memberikan pertanyaan yang sama dengan Kempetai Cho.
Keesokan harinya, ia datang kembali ke kantor Beppan (Badan Pembantu Pimpinan Tentara ke-16 di Jawa, yang bertanggung jawab atas kontra intelijen dan operasi khusus). Mayor Jenderal Sato memahami usulan mengenai pasukan sukarela dan memintanya untuk menulis surat permohonan yang akan dikirimkan kepada Gunseikan (kepala pemerintah militer) dan Gunshirekan (panglima tentara).
Gatot Mangkupraja menulis surat permohonan tersebut di kantor Kapten Maruzaki dan disaksikan Letnan Yanagawa. Konon sebagai bentuk kesungguhan atas usulnya, ia menusuk lengan kirinya dengan pena. Darah yang keluar dibubuhkan dalam surat permohonan tersebut.
Mengutip Nugroho Notosusanto dalam Tentara PETA Pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia (1979), kurang dari sebulan sejak dituliskannya surat permohonan tersebut, keluar Osamu Seirei No. 44 pada tanggal 3 Oktober 1943 mengenai “Pembentukan Pasukan Sukarela untuk Membela Jawa”.
Pasukan sukarela ini berpusat di Bogor. Nama PETA muncul pada pertengahan tahun 1944 dari inisiatif Oto Iskandar Di Nata dan Yusuf Yahya untuk membentuk kelompok yang bertugas membantu keluarga para sukarelawan (Badan Pembantu Keluarga Prajurit Pembela Tanah Air).
Kritik terhadap Memoar Gatot Mangkupraja
Shigeru Sato dalam "Gatot Mangkupraja, PETA, dan Asal-usul Tentara Nasional Indonesia" menyampaikan kritik terhadap memoar Gatot Mangkupraja yang telah diterjemahkan oleh Harumi Wanasita Evans dan Ruth Mcvey.
Berdasarkan penelusurannya, Gatot telah merevisi tanggal terbit surat kabar yang memuat informasi usulan wajib militer dari Sutardjo Kartohadikoesoemo.
Pertama, ia menyebutkan mengenai informasi yang didapatkan pada tanggal 7 September 1943. Lalu kemudian menyebutkan pada tanggal 10 September 1943. Terhadap kedua tanggal tersebut tidak dapat dibuktikan secara pasti kebenarannya. Para sejarawan mencoba menemukan dua artikel itu, namun tidak membuahkan hasil.
Kantor Berita Domei melaporkan mengenai kunjungan Sutardjo pada tanggal 4 September 1943 dan tidak mewartakan mengenai usulan wajib militer. Selanjutnya, berita terkait usulan wajib militer dari Sutardjo Kartohadikoesoemo di Jepang diwartakan surat kabar Jawa Shinbun dan Pembangoen pada tanggal 9 September 1943.
Kedua surat kabar itu melaporkan bahwa pada 8 september 1943 Sutarjo menyatakan pandangannya kepada wartawan Jawa Shinbun bahwa masyarakat Indonesia, khususnya pemuda, sangat menantikan izin untuk mengangkat senjata dan pergi ke medan perang. Namun tidak ada keterangan dari Sutardjo mengenai wajib militer.
Di sisi lain, Gatot Mangkupraja sudah berada di Jakarta pada tanggal 5 September 1943. Esoknya, ia mulai membuat surat permohonan mengenai pembentukan pasukan sukarelawan.
Shigeru Sato menyimpulkan bahwa Gatot sudah menulis surat permohonan pembentukan pasukan sukarelawan sebelum keluarnya pernyataan dari Sutardjo Kartohadikoesoemo.
Selain itu, dalam wawancara dengan sejarawan Amerika Serikat, George Larson, pada tahun 1968, Letnan Yanagawa menyangkal mengenai pernyataan Gatot tentang darah yang dijadikan sebagai tinta dalam surat permohonan.
Menurut Yanagawa, surat permohonan tersebut ditulis menggunakan mesin tik, bukan dengan darah. Sebab menurutnya, darah itu kotor dan akan menyinggung perasaan umat Islam.
Terlepas dari kritik tersebut, PETA adalah organisasi yang dapat berkembang pada masa pendudukan Jepang dan merupakan inisiatif dari Gatot Mangkupraja.
Menurut Benedict Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (2018), PETA disiapkan sebagai pasukan gerilya pembantu yang terdesentralisasi sebagai antisipasi Jepang terhadap kemungkinan serangan Sekutu ke Pulau Jawa. Pasukan ini disusun hingga tingkat batalyon, dan setiap batalyon berkekuatan sekitar 500-600 orang.
Ruang lingkup komando PETA sama dengan kabupaten. Khusus untuk kabupaten yang besar seperti Jakarta dan Bandung memungkinkan untuk ditempatkan dua hingga tiga batalyon.
Seturut dengan Benedict Anderson, George McTurnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (1995) mencatat bahwa PETA mengalami puncak kekuatannya pada pertengahan 1945 saat memiliki anggota sebesar 120.000 orang.
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi