tirto.id - Pada abad ke-20, Hindia Belanda memasuki masa pergerakan. Ditandai dengan kemunculan berbagai organisasi yang digerakkan kaum intelektual bumiputra sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme guna mencapai kemerdekaan.
Masa ini banyak memunculkan sosok bumiputra yang kelak menjadi pengisi pemerintahan awal Indonesia seperti Sukarno, Mohammad Hatta, H. Agus Salim dan lain-lain.
Di antara golongan bumiputra, terdapat pula sosok Mr. Sartono yang perjuangannya sejak masa pergerakan sering terlupakan. Meski tidak diberkahi kemampuan orasi dan pengerahan massa seperti Sukarno, ia turut serta menyemai persatuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
Membela Redaktur Koran
Raden Mas Sartono lahir pada 5 Agustus 1900 di Desa Baturetno, Wonigiri. Ayahnya bernama Raden Mas Martodikaryo, sementara ibunya Raden Ayu Darmini. Ya, ia memang terlahir dari keluarga priyayi yang berasal dari garis keturunan Mangkunegaran.
Ia lulus dari HIS pada tahun 1913 dengan predikat terbaik dan melanjutkan studinya ke MULO selama tiga tahun dan lulus saat menginjak usia 16 tahun.
Menurut Nyak Wali A. T dalam Mr. Sartono: Karya dan Pengabdiannya(PDF), berkat prestasinya selama sekolah di MULO, Sartono dapat melanjutkan ke Rechts School (sekolah hukum) di Jakarta.
Di Rechts School, ia menjadi lulusan terbaik kedua pada tahun 1922, di bawah Iwa Kusuma Sumantri yang menjadi lulusan terbaik pertama.
Sebelum melanjutkan studi ke Belanda, Sartono sempat bekerja di kantor Pengadilan Negeri Surakarta. Di tahun yang sama, ia bersama Iwa Kusuma Sumantri yang sempat bekerja di Pengadilan Negeri Bandung berangkat dengan biaya sendiri menuju Rijks Universiteit di Leiden, Belanda.
Ia menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1926 dengan gelar Meester in de Rechten. Gelar akademik itulah yang menggantikan gelar bangsawan yang dimilikinya hingga ia dikenal dengan nama Mr. Sartono.
Setelah mengantongi gelar sarjana hukum, ia bersama Mr. Iskaq Cokrohadisuryo dan Mr. Sunario membuka kantor advokat di Bandung dan membuka kantor cabangnya di Jakarta.
Selama menjadi pengacara, ia pernah membela dan membebaskan Haw Tek Kong (mantan redaktur surat kabar Sin Po dan Hoofdredacteur surat kabar Keng Po) dari tuduhan penghasutan untuk melawan Belanda, yang berawal dari tulisannya dalam surat kabar Keng Po.
Aktif di Organisasi Kepemudaan
Mr. Sartono aktif dalam berbagai organisasi kepemudaan. Pada 1916 ia terdaftar sebagai anggota Tri Koro Dharmo. Kemudian pada 1920, bersama Iwa Kusuma Sumantri mendirikan klub debat di Rechts School.
Setelah tiba di Belanda, ia bergabung dengan Perhimpunan Indonesia yang berdiri pada tahun 1908 dengan nama awal Indische Vereeniging. Pada masa inilah pertemuannya dengan Mohammad Hatta terjalin pertama kali.
Menurut Daradji dalam Mr. Sartono: Pejuang Demokrasi & Bapak Parlemen Indonesia (2014), ketika terjadi perpecahan internal dalam tubuh organisasi pada 1923, Mr. Sartono menjadi sekretaris Perhimpunan Indonesia menggantikan dr. JB Sitanala yang diduga pendukung Noto Soeroto yang cenderung mendukung pembentukan Indonesia sebagai bagian tak terpisahkan dari Kerajaan Belanda.
Saat menjadi sekretaris, ia bersama Iwa Kusuma Sumantri yang saat itu menjadi ketua Perhimpunan Indonesia, membuat pernyataan tegas bertajuk “Keterangan Asas Baru” yang dimuat dalam majalah Hindia Poetra pada 1923.
Ini adalah upaya menyulam kembali persatuan dalam tubuh Perhimpunan Indonesia dengan menempatkan demokrasi sebagai gagasan penting untuk kemerdekaan yang dicita-citakan.
Pada 1925, Mr. Sartono terlibat dalam perumusan “Manifesto Perhimpunan Indonesia 1925” yang menekankan persatuan dalam keberagaman untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dan menjadi landasan bagi Kongres Pemuda I tahun 1926. Tak lama setelah itu, ia berhasil menyelesaikan studinya di Belanda.
Selain bekerja sebagai advokat di Bandung, ia turut melibatkan diri dalam Algemeene Studie Club. Lebih lanjut, pada tanggal 20 Februari 1927, bersama RM. Joesoepandi Danoehadiningrat, Mr. Sunario, dan Sugiono mendirikan Jong Indonesia di Bandung sebagai wadah persatuan bagi organisasi-organisasi kepemudaan di Hindia Belanda.
Antara PNI dan Partindo
Saat di Bandung, Mr. Sartono bertemu dengan Sukarno. Keduanya menjalin persahabatan atas kesamaan cita-cita untuk mencapai kemerdekaan. Lewat dirinya, Sukarno mengenal lebih dekat Mohammad Hatta yang masih di berada Belanda.
Saat itu Hatta baru mengenal Sukarno melalui tulisan-tulisannya dalam surat kabar Oetoesan Hindia. Karena dipisahkan jarak, maka Hatta berpesan kepada Sartono yang waktu itu hendak pulang ke Hindia Belanda untuk membawa “Manifesto Perhimpunan Indonesia 1925” kepada Sukarno.
Pada 4 Juli 1927, bersama Sukarno, Anwari, Dr. Samsi Sastrowidagdo, Mr. Iskaq, Mr. Sunario dan Mr. Budiarto dengan mentornya dr. Cipto Mangunkusumo, mereka mendirikan satu organisasi yang mengusung asas self-help/non kooperatif dengan nama awal Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) di Bandung.
Menurut A. K. Pringgodigdo SH dalam Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia (1980), pembentukan PNI adalah bentuk kesadaran dari para pendirinya akan pentingnya persatuan rakyat dalam suatu organisasi. Sebab tanpa wadah persatuan, rakyat Indonesia sekadar bola yang dimainkan negara-negara kolonial yang sedang berebut wilayah jajahan.
PNI turut membentuk wadah persatuan yang lebih besar dengan menghimpun organisasi-organisasi lainnya dengan nama Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 17 Desember 1927.
Sebagaimana organisasi pada umumnya saat itu, PNI menerbitkan surat kabar Persatoean Indonesia sebagai corong organisasi pada tahun 1928. Berdasarkan penelusuran Agung Dwi Hartanto dalam Seabad Pers Kebangsaan (2007), ruang redaktur surat kabar diisi Sukarno dan Mr. Sunario, sedangkan Mr. Sartono berperan sebagai administratur.
Pada Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928, Mr. Sartono hadir sebagai perwakilan PPPKI.
Seturut dengan Agung Dwi Hartanto, menurut Indra Prayana dalam Jejak Pers di Bandung (2021), Mr. Sartono saat itu beruntung karena tidak ikut ditahan bersama tokoh PNI lainnya pada Desember 1929. Ia tetap melanjutkan penerbitan Persatoean Indonesia bersama Inggit Garnasih, istri Sukarno.
Mengutip kembali Daradji (2014, hlm. 11), saat Sukarno diadili dalam persidangan di Landraad Bandung pada 1930, Mr. Sartono merupakan pembela utama bagi sahabatnya tersebut.
Ia menyebut bahwa penangkapan terhadap tokoh-tokoh PNI tidak lebih dari sekadar halusinasi yang bersumber dari ketakutan pemerintah kolonial Belanda terhadap pergerakan bumiputra yang bersemangat meraih kemerdekaan.
Seiring vonis penjara 4 tahun yang dijatuhkan kepada Sukarno, ia membubarkan PNI dan membentuk Partindo (Partai Indonesia) pada 29 April 1931. Keputusannya membubarkan PNI mendapat kritik dari Mohammad Hatta dan tokoh-tokoh PNI lainnya.
Perkembangan Partindo diiringi dengan bergabungnya Sukarno pada tahun 1932 selepas keluar dari penjara Sukamiskin. Namun, Partindo hanya mampu bertahan selama 5 tahun setelah Mr. Sartono membubarkannya pada November 1936.
Lebih lanjut A. K. Pringgodigdo SH (1980) memberikan keterangan bahwa pembubaran Partindo atas dasar ketiadaan aksi massa dan penangkapan terhadap anggota-anggotanya.
Selain itu, pembubaran Partindo terjadi karena perubahan sikap dan pendirian Mr. Sartono yang mulai membuka bantuan kepada Belanda sebagai upaya untuk membendung pengaruh fasisme.
Setelah membubarkan Partindo, seperti dilansir dari Koran Sulindo, Mr. Sartono menjadi Ketua Muda Pengurus Besar Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia). Pada 1941, ia menjadi ketua pengurus harian Majelis Rakyat Indonesia. Mr. Sartono juga tercatat sebagai anggota BPUPKI.
Setelah Indonesia merdeka, ia menjabat sebagai menteri negara pertama. Dalam rentang tahun 1950-1959, Mr. Sartono menduduki jabatan Ketua DPR-RIS, DPRS-RI, dan DPR-RI.
Saat menjabat sebagai wakil ketua DPA tahun 1962-1966, melalui suatu panitia DPA mencabut undang-undang darurat yang berlaku saat itu dan memperluas hak-hak demokrasi rakyat.
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi