tirto.id - Penerapan politik etis di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 telah melahirkan kelompok intelektual bumiputra. Berbekal ilmu pengetahuan modern, mereka tergugah untuk membangkitkan kesadaran bangsa dalam upaya memperluas perlawanan kepada kolonialisme melalui kerja jurnalistik; surat kabar, majalah dan jurnal.
Lebih lanjut para jurnalis bumiputra seperti Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, H. Agus Salim, hingga Sukarno berperan besar dalam pembentukan negara-bangsa yang terbayang ini di sidang BPUPKI.
Namun, menurut sejarawan Muhidin M. Dahlan dalam PutCast bersama Puthut EA, kita sebagai bangsa di masa kini sering kali lupa atau abai atas peran jurnalis-jurnalis bumiputra. Kekhilafan kolektif ini, ujar Muhidin, disebabkan persaingan wacana sipil dengan militer dalam narasi sejarah nasional.
Lebih dari itu, kita lupa, bahkan tidak ada dalam benak kita, untuk menyebut Sukarno sebagai jurnalis. Padahal penggalan kalimat dalam sila ketiga dalam Pancasila, menurut Muhidin berasal dari nama koran Sukarno: Persatoean Indonesia.
Sukarno sebagai Kontributor Surat Kabar
Kiprah Sukarno sebagai kontributor di surat kabar menjadi pintu untuk menyelami dunia jurnalistik sebagai alat perlawanan. H.O.S Cokroaminoto yang menjadi mentornya di Surabaya memberinya kesempatan untuk menuangkan pikiran dan gagasan di surat kabar Oetoesan Hindia yang menjadi corong utama Sarekat Islam Surabaya.
Kesempatan itu digunakan untuk menuangkan gagasannya dalam upaya membangkitkan kesadaran masyarakat dan perlawanan terhadap kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Ia menjadi kontributor Oetoesan Hindia dari tahun 1912 hingga 1918. Selama itu pula Sukarno menggunakan nama pena samaran seperti Bima dan Mahabarata.
Peter Kasenda dalam Bung Karno Panglima Revolusi (2014, hlm. 75) mencatat salah satu upaya Sukarno dalam mengajak masyarakat melawan kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme Belanda adalah melalui Oetoesan Hindia kuartal kedua tahun 1921.
“....sosialisme, komunisme, inkarnasi-inkarnasi Vishnu Murti, bangkitlah dimana-mana! Hapuskan kapitalisme yang didukung oleh imperialisme yang merupakan budaknya! Semoga Tuhan memberikan kekuatan kepada Islam agar berhasil..." tulis Sukarno kala itu.
Selain itu, Sukarno juga terdaftar sebagai anggota organisasi Jong Java di Surabaya. Sebagaimana organisasi pergerakan lainnya, Jong Java memiliki surat kabar sebagai corong organisasi yang diberi nama Jong Java mengikuti nama organisasi tersebut.
Sekalipun tidak ada keterangan yang mencatat secara pasti mengenai kontribusi tulisannya di surat kabar ini, tetapi Sukarno pernah mengusulkan penggunaan bahasa Indonesia (Melayu) untuk menggantikan bahasa Belanda dalam surat kabar Jong Java. Sampai di sini kesadaran mengenai politik bahasa sudah tertanam dalam dirinya.
Kasenda (2014) melanjutkan, memasuki tahun 1927 saat H.O.S. Cokroaminoto mendirikan surat kabar Bendera Islam, Sukarno bersama Mr. Sartono diberi kepercayaan untuk mengurus halaman khusus bernama “Ruang Pergerakan Nasional” yang memuat informasi tentang nasionalisme. Selain itu, dirinya tercatat sering menyumbangkan tulisan di majalah Pandji Islam dan surat kabar Pemandangan.
Soeloeh Indonesia Moeda
Setelah menyelesaikan studi dari HBS di Surabaya, Sukarno hijrah ke Bandung tahun 1921 untuk melanjutkan studi di Technische Hogere School (sekarang ITB, Bandung).
Saat berada di Bandung, pemikirannya semakin matang, hasil dari pergaulannya dengan tokoh-tokoh pergerakan di Bandung seperti, dr. Cipto Mangunkusumo, Isak Cokrohadisuryo, Ernest Douwes Dekker, dan kawan-kawan seangkatannya. Sukarno juga terlibat aktif dalam Algemeene Studieclub, sebuah perkumpulan pelajar di Bandung yang berhubungan erat dengan Indonesische Studieclub di Surabaya.
Tidak lama setelah menyelesaikan studi di Technische Hogere School tahun 1926, gagasan mengenai persatuan dituangkan dalam artikel yang ditulisnya secara berseri yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” di Indonesia Moeda.
menurutnya, ketiga unsur tersebut sebagai elemen penting yang harus bersatu dan berjalan beriringan dalam upaya menentang imperialisme dan kolonialisme.
Tidak lama setelah merintis PNI pada 4 Juli 1927, terbit majalah baru pada bulan Desember 1927 yang bernama Soeloeh Indonesia Moeda (S.I.M). Di sana Sukarno menjabat sebagai pemimpin redaksi. Majalah ini merupakan corong dari Algemeene Studieclub dan tempat persemaian gagasan nasionalisme.
Menurut Indra Prayana dalam Jejak Pers Di Bandung (2001, hlm. 43) sebagai pemimpin redaksi, Sukarno menyumbangkan artikel-artikel seperti “Swadeshi Dan Massa Actie Di Indonesia”, “Tjatatan Atas Pergerakan Lijdelijk Verzet”, dan memuat kembali “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” secara utuh pada tahun 1927.
Majalah Soeloeh Indonesia Moeda tidak berumur panjang. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan penahan terhadap dirinya dan tokoh-tokoh PNI lain oleh pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian dalam Seabad Pers Kebangsaan (2008, hlm. 324) tercatat bahwa Soeloeh Moeda Indonesia melakukan rekonstruksi ulang mulai dari jajaran redaksi hingga perubahan nama majalah ini menjadi Soeara Oemoem, sebagai upaya untuk menghadapi ancaman dari pemerintah kolonial.
Persatoean Indonesia
Selain menerbitkan majalah Seoloeh Indonesia Moeda, di periode yang sama, Sukarno juga menerbitkan surat kabar Persatoean Indonesia sebagai corong dari PNI.
Kasenda (2014, hlm. 80) menduga tujuan dari penerbitan surat kabar ini dalam rangka memperluas jaringan pembaca untuk menyentuh berbagai kalangan masyarakat. Hal ini ditegaskan dengan penggunaan bahasa Indonesia secara keseluruhan dalam surat kabar Persatoean Indonesia.
Dicetak oleh H. B. Partai Nasional Indonesia milik PNI, sebagai surat kabar dwi mingguan Persatoean Indonesia menjadi media untuk menyebarluaskan gelora nasionalisme di samping upaya untuk menumbuhkan perlawanan masyarakat terhadap pemerintah kolonial Belanda. Dalam struktur pengurus surat kabar ini, Sukarno bersama Mr. Sunaryo menjadi redaktur dan Mr. Sartono bertindak sebagai Administratur.
Dalam Seabad Pers Kebangsaan (2008, hlm. 342) disebutkan, upaya yang dilakukannya untuk mencapai yang dicita-citakan adalah dengan menulis artikel-artikel di antaranya yang berjudul “Jerit Kegemparan”. Belanda, tulis Sukarno, mulai cemas melihat perkumpulan pada pemuda yang kian membulat.
Kemudian Indra Prayana (2021, hlm. 45) menambahkan, artikel lainnya yang pernah ditulis oleh Sukarno di surat kabar ini seperti “Melihat Kemuka ..., Indonesianisme, dan Pan Asiatisme”, “Kewajiban Kaum Intelektuil Terhadap Kepada Pergerakan Rakyat”, “Soal Pergerakan Wanita”, dan “Tempo Yang Tak dapat Dikira-kirakan Habisnya?”.
Memasuki tahun 1929, surat kabar Persatoean Indonesia akhirnya berhenti terbit. Hal ini disebabkan aktivitas politiknya yang dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah kolonial Belanda yang menyebabkan penahanan terhadap dirinya dan tokoh-tokoh PNI lainnya dengan tuduhan rencana makar terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Sukarno selaku terduga isu rencana makar memberi jawaban atas tuduhan yang dijatuhkan kepada dirinya, melalui pledoi berjudul “Indonesia Menggugat” yang dibacakan dalam persidangan di Landraad, Bandung pada 29 Agustus 1930.
Fikiran Ra’jat
Setelah dinyatakan bebas pada 31 Desember 1931 dari Penjara Sukamiskin, Bandung, Sukarno menerbitkan sekaligus menjadi redaksi majalah Fikiran Ra’jat pada pertengahan tahun 1932. Majalah ini terbit empat kali dalam sebulan dengan mengusung slogan Kaoem Marhaen! Inilah Madjalah Kamoe!
Lebih dari itu, menurut Prayana (2021, hlm. 47) dalam Dummy Nummer (nomor perkenalan) pada tanggal 15 juni 1932, redaksi Fikiran Ra’jat memuat tulisan yang menerangkan bahwa “madjalah ‘Fikiran Ra’jat’ adalah saudaranja Soeloeh Indonesia Moeda, Fikiran Ra’jat beoat kaoem marhaen yang paham membatja dan menoelis, Soeloeh Indonesia Moeda oentoek kaoem pemimpin dan kaoem terpeladjar."
Marhaen adalah golongan masyarakat yang diperjuangkan olehnya. Dalam pandangannya, Marhaen adalah kategori sosial yang terdiri dari masyarakat yang memiliki alat produksi yang kecil dan hasil produksinya hanya cukup untuk dirinya dan keluarganya sehari-hari.
Maka sebagai upaya untuk menggugah kaum marhaen, majalah ini memuat pergerakan rakyat dari luar negeri, politik, pendidikan, berita dalam dan luar negeri, dan primbon politik.
Beberapa artikel yang ditulisnya dalam majalah ini, antara lain, “Matahari Marhaenisme”, “Kepada Kaoem Marhaen Indonesia”, dan “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi”.
Menurut Kasenda (2014, hlm. 80) seruan serta perhatiannya terhadap pendidikan dan kesadaran politik tersaji dalam artikel yang berjudul “Politik dan Kekuatannya Kolonialisme-Imperialisme di Indonesia” yang dimuat dalam Fikiran Ra’jat No. 2, 8 Juli 1932.
Pada akhirnya majalah Fikiran Ra’jat berhenti terbit seiring penekanan pemerintah kolonial Belanda terhadap aktivitas politiknya yang berdampak pada penangkapannya yang kedua dan persoalan manajemen finansial yang terdampak hiperinflasi Malaise.
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Nuran Wibisono