tirto.id - “Tidakkah ini tragedi hidupmu, bahwa engkau ingin merengkuh dua dunia?”
Raden Mas Noto Soeroto tak mampu menjawab pertanyaan seorang kawan. Kala itu 1932, di atas geladak kapal Saarbrucken yang membawanya pulang ke Jawa, Noto Soeroto merenungi kembali masa-masa rantaunya di negeri Belanda. Ia pulang dengan penuh kekecewaan, dikucilkan, dan dianggap pengkhianat oleh kawan sebangsanya.
Noto Soeroto adalah anomali. Ketika para aktivis kemerdekaan sedang giat-giatnya memupuk nasionalisme, sepupu Ki Hajar Dewantara itu malah ingin melanggengkan ikatan antara Belanda dan Indonesia. Gara-gara itu ia dipecat dari Perhimpunan Indonesia.
Meski sering merasa hancur dan kesepian, ia tak lantas berhenti. Di tengah tudingan miring ia terus berupaya memperluas anjurannya di kalangan Belanda dan kawan-kawan sebangsanya. Tentu saja itu tak berakhir baik hingga ia menyerah.
“Saya sudah mengatakan semua yang ada dalam pikiran saya. Sekarang saatnya melakukan sesuatu di Hindia,” tulisnya dalam sepucuk surat untuk seorang kawan.
Di tanah kelahirannya pun ia gagal. Hidupnya morat-marit dan kemudian meninggal dalam keadaan miskin pada 25 November 1951, tepat hari ini 68 tahun lalu. Ketika orang mengingat hari lahir sepupunya sebagai Hari Pendidikan Nasional, nama Noto Soeroto lenyap ditelan sejarah.
Tapi dari kisah hidupnya kita bisa mengambil catatan penting: pemikiran soal masa depan Indonesia tidaklah tunggal sebagaimana termaktub dalam buku pelajaran sekolah.
Belajar Hukum Lalu Jadi Penyair
Noto Soeroto lahir di Yogyakarta pada 5 Juni 1888. Ayahnya adalah Pangeran Notodiredjo, putra Paku Alam V. Karena silsilah inilah ia masih bersepupu dengan Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara.
Pada 1906, Noto Soeroto yang berusia 18 tahun menyelesaikan pendidikan di HBS Semarang dan langsung bertolak ke Belanda. Ia berhasil masuk jurusan hukum Universitas Leiden dan pada 1911 menempuh ujian sarjana muda. Ia termasuk orang pertama yang menempuh ujian bidang itu di Leiden.
Di luar kuliah, ia ikut mendirikan Indische Vereeniging yang kelak jadi Perhimpunan Indonesia (PI). Ia didapuk jadi ketua PI untuk periode 1911-1914. Lain itu ia juga mulai menulis untuk beberapa surat kabar berbahasa Belanda.
“Sejak pertengahan 1909 itu secara teratur ia menulis artikel panjang tentang masalah-masalah Hindia dalam Nieuwe Rotterdamsche Courant. Tulisan-tulisan itu kemudian di muat dalam Bendera Wolanda,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah (2014, hlm. 66).
Noto Soeroto menulis banyak hal, mulai dari soal politik hingga budaya. Tapi kemudian yang menonjol darinya adalah prosa liris. Tak tanggung-tanggung, ia menulis dalam bahasa Belanda.
Mulanya ia menulis sejumlah prosa liris pada 1914. Kala itu ia terpesona oleh Gitanjali karya Rabindranat Tagore. Ia lalu mencoba menulis prosa liris dengan langgam serupa penyair India itu. Tema-temanya berkisar pada kerinduannya akan masa muda di Jawa dan terutama pada ibunya.
Coba-coba ia kirimkan karya-karya yang masih belum dijuduli itu ke redaksi majalah De Gids dan De Tijdspiegel. Hanya De Tijdspiegel yang bersedia menerbitkannya. Valckenier Kips, direktur majalah itu, secara khusus menyebutnya sebagai karya bermutu.
“Valckenier Kips-lah yang menyarankan judul Melatiknoppen [Kuncup Melati] untuk dua puluh empat sajak yang pertama itu. Sajak-sajak itu dimuat juga dalam edisi-edisi terakhir majalah De Indier. [...] Pada awal 1915 Melatiknoppen diterbitkan dalam bentuk buku,” tulis Poeze (hlm. 94).
Ia benar-benar tak menyangka bahwa antologinya yang pertama itu sukses. Namanya dengan cepat dikenal di kalangan sastrawan dan kritikus sastra Belanda sezaman. Rosa M.T. Kerdijk dalam Wayang-liederen: Biografi Politik Budaya Noto Soeroto (2002) menyebut bahwa kesuksesan pertama itu lantas diikuti oleh terbitnya antologi-antologi baru setiap tahun sebelum hiatus pada 1925.
“Semua itu membuat Noto Soeroto dikenal sebagai penyair di Belanda,” tulis Rosa.
Noto Soeroto menggunakan bahasa Belanda bukan hanya untuk menulis karya liris, tapi juga esai dan naskah ceramah. Banyak dari karyanya itu bicara tentang Jawa, dari soal wayang hingga Borobudur. Dalam pandangan penulis Joss Wibisono, itulah caranya memperkenalkan Jawa ke khalayak Eropa.
“Tapi bukan itu saja. Soeroto sebenarnya juga ingin memanfaatkan kemajuan Barat bagi kemajuan Jawa, terutama kebudayaannya. Inilah gagasan utama Noto Soeroto: mencangkokkan budaya Barat ke dalam budaya Jawa,” tulis Joss dalam Saling Silang Indonesia-Eropa (2012, hlm. 109).
Penganjur Rijkseenheid
Noto Soeroto secara konsisten mendulang inspirasi dari budaya Jawa dan pemikiran-pemikiran sastrawan idolanya, Tagore, tak hanya untuk menulis puisi atau esai budaya, tapi juga sebagai dasar untuk merumuskan pemikiran politik.
Dari pelacakan Poeze (hlm. 66-67), ide dasar pemikiran politik Noto Soeroto sudah terbaca sejak ia mulai menulis untuk media massa. Dalam sebuah artikel di Indische Gids 1911, ia menulis tentang perlunya Belanda menjaga Hindia. Juga perlunya Belanda membimbing warga Hindia agar setara.
Ide itu diulanginya lagi dalam pidato ulang tahun ke-5 Perhimpunan Indonesia pada November 1913. Ia memasang judul yang gamblang: De Eendracht van Nederland en Indie—Persatuan Belanda dengan Hindia. Fokusnya adalah bagaimana mengangkat harkat rakyat Hindia, bukan status Hindia.
Meski begitu, Joss menjelaskan bahwa itu tak berarti Noto Soeroto mengabaikan kolonialisme Belanda. Bagaimana pun sebagai warga Hindia Belanda, khususnya Jawa, ia juga membenci kolonialisme.
“Hindia, menurutnya, tidak boleh hanya sebagai sapi perahan Belanda semata. Keduanya harus duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Itu berarti rakyat Hindia harus dididik supaya bisa sederajat dengan Belanda, dan itu adalah tugas besar Belanda,” tulis Joss (hlm. 103).
Gagasan itu kian matang manakala ia mulai membaca pemikiran-pemikiran Tagore. Dari penyair India itu ia mendulang ide tentang harmonisasi antara budaya Barat dan Timur. Pandangan harmonis itulah yang membuatnya menolak cara-cara revolusioner yang berpotensi menimbulkan konflik.
Lebih jauh Noto Soeroto membayangkan terbentuknya Rijkseenheid, semacam persemakmuran Belanda dan Hindia. Dalam kerangka itu dua bangsa ini harus saling bekerjasama dalam hubungan yang setara.
“Ia membayangkan ada suatu kehidupan yang harmonis antarbangsa-bangsa, terutama bangsa Belanda dengan bangsa Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa. Seperti Tagore, Noto Soeroto juga berusaha menjadi penengah dalam pertikaian politik yang terjadi dengan menggunakan pendekatan humanistis,” demikian tulis Rosa (hlm. 39).
Untuk menyebarkan gagasannya ini, Noto Soeroto mendirikan majalah Oedaya. Nomor pertamanya terbit pada April 1923. Tak hanya menampung karangannya, ia juga mempersilakan penulis-penulis lain yang berseberangan untuk mengisi majalah itu.
Namun, di tengah menguatnya nasionalisme dan semakin beraninya para aktivis mengampanyekan kemerdekaan Indonesia, gagasan-gagasan Noto Soeroto mulai menuai kritik. Bahkan di kalangan PI, di mana ia pernah jadi ketuanya, ia mendapat kecaman keras.
PI sampai perlu menyidang secara khusus Noto Soeroto. Dalam sidang yang terjadi pada akhir 1924 itu, Arnold Mononutu menuntut Noto Soeroto dikeluarkan dari PI. Ada pula Purbatjaraka yang mengejek bahwa gagasan Noto Soeroto lahir karena ia butuh makan dan sokongan Belanda. Anggota lain pun sama saja kecamannya.
Mohamad Hatta dalam memoar Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi (2011), mengingat bahwa Noto Soeroto bahkan tak sempat membela diri karena terus diinterupsi selama sidang. Sidang yang dihadiri 50 anggota PI itu pun memutuskan nasib keanggotaan Noto Soeroto melalui voting. Hasilnya: 45 orang setuju mendepaknya, sementara lima lainnya menolak.
“Setelah ternyata hasil pemungutan suara, Noto Soeroto entah apa sebabnya, terus saja duduk. Ia baru keluar dari rapat setelah setelah ketua sidang, Nazir Pamontjak, mengatakan bahwa putusan telah selesai dengan suara yang menentukan dan tidak menragukan lagi dan dimintanya Noto Soeroto keluar dari rapat. Hampir semua anggota bertepuk tangan,” tulis Hatta (hlm. 222).
Terkucil dari lingkungan mahasiswa Indonesia sebenarnya tak membuat Noto Soeroto menyerah—setidaknya belum. Ia masih sempat bergiat di Nederlandsch-Indonesisch Verbond (Perserikatan Belanda-Indonesia) yang memiliki haluan yang sama dengannya. Ia juga masih menerbitkan Oedaya dan mengelola penerbit Hadi Poestaka.
Namun, tenaga dan kesabarannya habis juga. Pada akhir 1931 ia memutuskan untuk pulang kampung ke Jawa. Ia berharap masih bisa mengembangkan gagasannya di Hindia Belanda. Tentu saja ia segera sadar bahwa gagasannya sudah usang di tengah semakin kuatnya gerakan pro-kemerdekaan.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 31 Mei 2019. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Windu Jusuf & Ivan Aulia Ahsan