tirto.id - Pernah ada perang antara Belanda dengan orang-orang di tanah Minahasa, yakni Perang Tondano (1808-1809). “Salah satu penyebab Perang Tondano adalah bahwa Minahasa tidak mau menyediakan tentara untuk Hindia Belanda,” tulis Jessy Wenas dalam Sejarah dan kebudayaan Minahasa (2007, hlm. 51).
Soal mereka yang tidak mau jadi serdadu ini, budayawan Minahasa Giroth Wuntu dalam bukunya Perang Tondano 1808-1809 (2002, hlm. 238) menuturkan: “Tentu saja banyak di antara mereka yang lebih suka dikirim ke pembuangan, tetapi ada pula yang tertipu dengan janji-janji dan bujukan atau hadiah, (akhirnya) mau jadi serdadu atau tentara bantuan”. Di antara yang tertipu itu, ada beberapa yang kabur.
Belum dua dekade Perang Tondano usai, pemerintah kolonial kembali meminta orang-orang Minahasa untuk jadi serdadu demi menghadapi Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830). Kali ini Residen Manado Daniel Francois Willem Pietermaat mendekati tokoh-tokoh masyarakat.
Seperti dicatat Jessy Wenas, pendekatan itu sukses (2007, hlm. 51). Sebuah kontrak penyediaan 1.421 personil diteken oleh pihak Minahasa dan Belanda pada 23 Desember 1927. Orang-orang Minahasa diwakili Abraham Dotulong dan J. Kawilarang.
“Pasukan Minahasa yang disebut Tulungan (tulung=tolong bantu), tapi lebih dikenal dengan Serdadu Manado,” tulis sejarawan Jessy Wenas yang juga dikenal sebagai pencipta lagu era 1960-an. Dalam bahasa Belanda, pasukan Tulungan disebut Hulptroepen. Kenyataannya, pasukan ini adalah tenaga bantuan untuk memperkuat pasukan reguler Belanda di Perang Jawa.
Pasukan Tulungan dikomandoi Tololiu Herman Willem Dotulong yang berasal dari Sonder. Lahir di Kema pada 12 Januari 1795, usianya Tololiu 34 tahun ketika memimpin pasukan. Tololiu, kata Giroth Wuntu (hlm. 204), adalah keponakan dari kepala walak (distrik) Tonsea yang membantu Belanda dalam Perang Tondano. Jadi, kira-kira saat berumur 13-14 tahun dia sudah terlibat perang. “Konon nama H.M. Dotulong ini dijiwai oleh nama Herman Willem Daendels," masih kata Giroth Wuntu yang mantan serdadu KNIL Belanda itu.
Sebagai kepala pasukan, Tololiu dibantu tiga kapten. Masing-masing kapten ini berasal dari distrik yang menyumbang banyak serdadu. “Mereka antara lain Benyamin Sigar (Langouwan), D. Rotinsulu (Tonsea), dan Polingkalim (Tondano),” tulis Jessy Wenas. Setiap kapten dibantu dua orang letnan. Para letnan yang terkenal antara lain H. Supit dan Alexander Wuisan dari Tondano; Jahanis Sangari dari Langowan; Mandagi, Palar, dan Mongula dari Tomohon.
Melawan Diponegoro
“Mereka berangkat dengan kapal laut ke Pulau Jawa tanggal 29 Maret 1829,” tulis Jessy. Pasukan ini datang pada tahun-tahun terakhir Perang Jawa. Meski begitu, mereka menambah kekuatan militer Belanda untuk terus mengejar pengikut Diponegoro yang makin terdesak. Pihak Belanda tentu terkesan.
Koran berbahasa Belanda di Hindia Belanda kala itu De Sumatra Post (13/09/1939) menyebut: orang-orang Minahasa tentu tahan dengan iklim tropis dan kondisi apa saja. Tentang Tololiu Dotulong, koran ini menyebutnya sebagai seorang pria yang dikaruniai keberanian dan kebijaksanaan luar biasa, seorang pria yang selalu berhasil memimpin para prajuritnya. Intinya, mereka sangat bermanfaat.
“Diponegoro hanya ingin menyerah kepada Pasukan Tulungan Minahasa,” tulis De Sumatra Post (12/09/1939). Selain itu koran ini menyatakan bahwa “Diponegoro berulang kali menyampaikan kekagumannya atas keberanian Mayor Sonder setelah ia dipenjara.”
Pangeran Diponegoro berhasil ditangkap di Magelang pada 28 Maret 1830. Setelahnya perang dianggap selesai. Pasukan Tulungan pulang dengan ikut merasa menang dalam Perang Jawa yang menguras kantong pemerintah kolonial Belanda. Dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 – 1855 (2014), Peter Carey menjelaskan bahwa pemain utama drama penangkapan Diponegoro itu adalah perwira Belanda. Carey hanya sedikit menyinggung peran orang Minahasa.
Kepala Distrik
Setelah perang selesai, “banyak pemuda Minahasa kembali ke kampung halamannya,” tulis RZ Leirizza dalam Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia (1997, hlm. 42). Masih kata Leirizza, minat untuk menjadi tentara pun meningkat. Tak heran pada masa-masa setelahnya banyak orang Minahasa yang bersemangat jadi serdadu KNIL. Seperti Dotulong, Jesajas Pongoh adalah salah satu legenda serdadu KNIL dengan bintang penghargaan seperti Milltaire Willems Orde. Tak seperti Dotulong, ia tak pernah jadi mayor.
Jika pemuda serdadu bawahan makin berminat menjadi tentara, maka para perwiranya yang masih terhubung erat dengan keluarga para kepala melanjutkan hidup sebagai orang terpandang. Pemerintah kolonial tentu sangat berterimakasih kepada para kepala distrik di Minahasa.
“Terima kasih atas jasa ini kepala (distrik) Sonder berikutnya diperbolehkan memakai gelar (pangkat tituler) Mayor. Beberapa kepala lainnya juga memakai gelar ini,” tulis Mieke Schouten dalam Myth and Reality in Minahasan History: The Waworuntu-Gallois Confrontation di jurnal Archipel, Volume 34, (1987, hlm. 124). Tololiu Datulong pun akhirnya menjadi kepala distrik di Sonder. Dia pensiun pada 1861. Salah seorang keturunan Dotulong menjabat kepala distrik—atau Hukum Besar—bergelar mayor. Namanya Albertus Bernardus Waworuntu.
Sementara itu, perwira bawahannya, Kapten Benjamin Thomas Sigar alias Tawajlin Sigar, juga akhirnya jadi kepala distrik Langowan, daerah asalnya. Makamnya tidak jauh dari Gereja Sentrum (Patung Schwarz), Langowan. Ada pula keturunannya yang pernah jadi Hukum Besar atau kepala distrik di Langowan dengan gelar Mayor. Namanya Phillip Sigar, kakek dari Prabowo Subianto.
Kepala distrik di masa lalu sangat terpenguruh budaya Pra-Kristen. Menurut sejarawan Minahasa Roger Allan Kembuan dan Bode Tolumewo, para kepala distrik punya lebih dari satu istri (dalam satu waktu), sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam ajaran Kristen. Makam Tololiu Datulong berada Sonder dan pernah dikunjungi gubernur jenderal Hindia Belanda. Petilasannya juga ada di Cilincing, sebelah makam Kapitan Jonker, legenda serdadu dari Ambon.
Editor: Windu Jusuf