tirto.id - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mendorong agar transisi pemerintahan baru ke depan dapat membentuk Badan Pengelola Industri Kelapa Sawit. Badan ini diharapkan bisa berada di bawah langsung presiden yang memiliki kewenangan dalam tata kelola industri kelapa sawit dari hulu sampai hilir, termasuk izinnya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, mengatakan pembentukan badan tersebut dinilai solusi jitu di tengah pelbagai persoalan terhadap industri sawit nasional. Karena sejauh ini industri sawit sendiri masih menghadapi banyak tantangan.
Faktor-faktor menjadi tantangan tersebut mulai dari produksi dan produktivitas relatif stagnan dan cenderung turun, volume ekspor cenderung menurun, serta kebutuhan dalam negeri cenderung meningkat (pangan, energi dan industri oleokimia).
Berdasarkan catatan GAPKI sejak kurun waktu 2005 - 2010 tejadi penurunan produksi sebesar 10 persen. Berikutnya pada 2010 - 2015 turun menjadi 7,4 persen. Kemudian di periode 2015 - 2020 turun 3,2 persen dan seterusnya stagnan. Sementara dalam tiga tahun terakhir sepanjang 2020-2022 pertumbuhan produksi negatif.
Di saat bersamaan volume ekspor bahan baku CPO pada 2020 sekitar 21,36 persen, kemudian pada 2023 turun menjadi 10,12 persen dari total produk sawit Indonesia.
"Memang produksi kita stagnan kemudian produktivitas kita juga tidak menggembirakan," ujarnya dalam acara Press Tour Belitung 2024: Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian, di Belitung Timur, Selasa (27/8/2024) malam.
Eddy menyebut salah satu penyebab produksi stagnan dan produktivitas sawit menurun akibat program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang terlambat. Rata-rata realisasi program PSR baru mencapai 50 ribu hektare (ha) setiap tahunnya sejak program ini dirilis pada 2016. Padahal Padahal, target luasan program tersebut mencapai 180 ribu ha setiap tahunya di 21 provinsi sentral penghasil kelapa sawit.
"Sehingga produktivitas kita bukannya naik malah justru turun produktivitasnya, produksi kita stagnan, malah justru turun produktivitasnya," jelas dia.
Masalah lainnya, lanjut Eddy adalah soal ketidakpastian hukum dan berusaha. Belum lagi banyak kementerian atau lembaga yang mengatur dan/atau terlibat dalam industri sawit (teridentifikasi 37 insnstansi terlibat). Ini menyebabkan terjadinya peraturan perundangan yang tumpang tindih.
"Jadi kebijakan ini justru saling tumpang tindih yang terjadi. Yang paling banyak masalah di anggota kita atau plasma," kata dia.
Sebagai contoh, plasma atau perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh anggota GAPKI merupakan bekas peninggalan zaman Presiden Soeharto. Saat itu, direncanakan peremajaan sawit namun tidak bisa karena masuk dalam kawasan hutan. Di sisi lain, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tidak bisa mencairkan dana PSR kalau itu masih dianggap masuk dalam kawasan hutan.
"Ini yang contoh nyata real terjadi. Sudah punya sertifikat koperasi, mereka tidak bisa melakukan sesuatu, karena masuk dalam kawasan hutan," kata dia.
"Nah inilah yang masalah-masalah seperti ini yang kita berharap nanti di pemerintahan baru yang akan di bulan Oktober nanti terjadi perubahan, ini harus menjadi perhatian utama," lanjut dia.
Dalam kesempatan sama, Bupati Belitung Timur, Burhanudin, mengatakan memang perlu ada satu lembaga khusus atau kementerian untuk mengurusi masalah persawitan di Indonesia. Karena saat ini banyak campur tangan dan kepentingan beberapa pihak terkait industri sawit ini.
"Para asosiasi kepala daerah itu teriak sebenarnya cuma tidak berani teriak-teriak terlalu tajam. Maka, kita berharap bahwa transisi politik ke depan ada satu lembaga yang mengatur dari mulai hulu sampai hilir dari mulai izinnya," jelas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang