tirto.id - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, menampik pendapat Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang mengatakan bahwa banyak pengusaha sawit yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Dia juga memastikan, kalau seluruh anggota Gapki telah memiliki NPWP.
"Kalau anggota Gapki yang sebanyak 740 perusahaan, saya pastikan punya NPWP," jelas Eddy, saat dihubungi Tirto, Kamis (11/7/2024).
Kata Eddy, bagi pengusaha,, NPWP penting untuk mengurus berbagai perizinan, baik yang berkaitan dengan pengusahaan lahan, tempat produksi hingga, hingga sertifikasi untuk menunjukkan bahwa produk yang mereka hasilkan diproduksi secara berkelanjutan.
Sebab, untuk mengurus perizinan tersebut dibutuhkan bukti pembayaran pajak, yang hanya bisa didapatkan apabila pengusaha memiliki NPWP.
"Untuk mengurus perizinan seperti HGU (Hak Guna Usaha), ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil), dan lain-lain, harus ada bukti pembayaran pajak," katanya.
Sebagai informasi, saat ini perusahaan yang tergabung dalam Gapki ada sebanyak 740, dari total 3.000 perusahaan kelapa sawit di Indonesia. Degan berbagai perizinan yang harus diurus tersebut, Eddy juga menilai, pengusaha sawit legal yang tidak tergabung dalam Gapki juga memiliki NPWP.
"Setahu saya kalau perusahaan pasti harus punya NPWP, ya," tambahnya.
Sementara itu, dalam unggahannya di media sosial beberapa waktu lalu, Luhut mengatakan, ada banyak perusahaan kelapa sawit yang tidak memiliki NPWP. Kondisi ini membuat negara kehilangan potensi penerimaan pajak dari para pengusaha sawit.
Selain itu, nihilnya NPWP dari perusahaan sawit juga membuat Pajak Penghasilan (PPh) badan dari perusahaan berbasis komoditas mengalami tekanan.
"Dari data yang saya terima, ada banyak perusahaan kelapa sawit yang belum memiliki NPWP, hal ini membuat kita tidak bisa memagih PPh badan," ungkap Luhut, dikutip dari Instagram @luhut.pandjaitan, Kamis (11/7/2014).
Tertekannya PPh badan ini kemudian membuat penurunan penerimaan negara, yang pada akhirnya membuat pendapatan negara diproyeksi tidak bisa mencapai target. Selaras, kondisi ini juga berpotensi memperlebar defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 yang saat ini ditetapkan sebesar 2,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau setara Rp522,8 triliun.
"Saya melihat lesunya penerimaan negara disebabkan karena inefisiensi di berbagai sektor. Hal itu sebetulnya sudah mulai kami tanggulangi secara bertahap melalui digitalisasi yang telah diterapkan dalam kegiatan pemerintah dan bisnis," tulis Luhut.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Bayu Septianto