Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Ganjalan Sandiaga, Ganjar hingga Anies Maju Pilpres: Partai Politik

Keterusungan kandidat di Pemilu 2024 dinilai akan berkaitan dengan partai. Karena itu, calon dengan elektabilitas tinggi bisa tak diusung.

Ganjalan Sandiaga, Ganjar hingga Anies Maju Pilpres: Partai Politik
Ilustrasi parpol. ANTARA/Mohammad Ayudha

tirto.id - Situasi politik Indonesia menghangat setelah sejumlah partai mulai “bersilaturahmi” satu sama lain. Nama-nama kandidat bakal capres-cawapres pun mulai disimulasikan dalam menghadapi Pemilu 2024.

Dalam beberapa hari terakhir muncul sejumlah kejutan hasil politik menarik. Sebut saja Musyawarah Rakyat (Musra) I Bandung yang digagas kelompok relawan Jokowi. Dalam Musra I itu, nama kader Partai Gerindra, Sandiaga Uno lebih dipilih publik daripada Prabowo Subianto sebagai bakal capres.

Nama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno menjadi kandidat bakal calon presiden terkuat kedua setelah Presiden Joko Widodo berdasarkan hasil Musra I Bandung dengan total 5.721 orang responden dari berbagai latar belakang.

“Capres harapan rakyat ini memang cukup mengejutkan dari hasil yang riil kami peroleh nomor 1 Pak Joko Widodo hasil 29,79 persen. Yang mengejutkan Sandiaga Uno mendapat tertinggi posisi kedua di 16,92 persen,” kata Ketua Dewan Pengarah Musra Indonesia Relawan Jokowi, Andi Gani Nena Wea di Jakarta, Rabu (31/8/2022).

Nama Presiden Jokowi berada di peringkat pertama 1.704 atau 29,79 persen. Kemudian disusul Sandiaga dengan 968 orang atau 16,92 persen. Setelah Sandiaga, ada nama lain seperti Ganjar Pranowo (921 orang atau 16,10 persen), Prabowo Subianto (635 orang atau 11,10 persen).

Selain tiga nama di atas, ada nama lainnya, seperti Anies Baswedan (516 orang atau 9,02 persen), Ridwan Kamil (296 orang atau 5,17 persen), Puan Maharani (238 orang atau 4,16 persen), Dedi Mulyadi (164 orang atau 2,87 persen), Moeldoko (147 orang atau 2,57 persen), Andika Perkasa (81 orang atau 1,42 persen) dan lainnya (51 orang atau 0,89 persen).

Sementara dari kursi cawapres tertinggi adalah Ridwan Kamil (2.225 orang atau 38,89 persen), Airlangga Hartarto (758 orang atau 13,25 persen), Erick Tohir (733 atau 12,81 persen), Arsjad Rasjid (591 orang atau 10,33 persen), dan Puan Maharani (543 orang atau 9,49 persen).

Sedangkan dalam survei per Agustus 2022 berdasarkan 1,220 responden, Poltracking mencatat nama kader PDIP, Ganjar Pranowo berada di peringkat pertama dalam simulasi 25 calon dengan angka 22,1 persen. Kemudian disusul Prabowo 18,1 persen. Posisi ketiga disusul Anies yang non-parpol dengan angka 15,9 persen.

Di luar tiga kandidat tersebut, angka elektabilitas rendah di bawah 10 persen antara lain: Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan angka 4, 4 persen, Ridwan Kamil (3,3 persen), Sandiaga (2,1 persen), Erick Tohir (1,9 persen) atau Ketua DPP PDIP Puan Maharani (1,3 persen).

Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 5-13 Agustus 2022 dengan 1.220 responden juga menunjukkan 3 nama kandidat capres terkuat secara terbuka, antara lain Ganjar (17,6 persen), Prabowo (12,6 persen) dan ingin kembali Jokowi sebagai presiden (12,5 persen).

Di bawah itu, ada nama-nama lain, yaitu: Anies Baswedan (9,1 persen), Ridwan Kamil (4,3 persen), Muhaimin Iskandar (1,3 persen), Megawati Soekarnoputri (1,2 persen) dan AHY (1,2 persen).

Partai Pegang Kunci

“Yang namanya calon presiden, calon wakil presiden itu di konstitusi kita, di undang-undang kita, itu memang harus diusung oleh partai atau gabungan partai. Artinya apa? Belum tentu yang elektabilitasnya tinggi itu diajukan oleh partai atau gabungan partai. Kalau mereka nggak mau gimana?”

Pernyataan tersebut adalah petikan video yang diunggah Presiden Jokowi lewat akun media sosialnya @Jokowi. Pernyataan tersebut pun dinilai relevan dalam dinamika politik saat ini.

Pada 3 September 2022, Partai Demokrat menuding ada upaya untuk menggagalkan Anies yang memiliki elektabilitas tinggi menjadi kandidat capres 2024. Kepentingan ini tidak terlepas dari isu bahwa Demokrat akan membangun koalisi dengan Partai Nasdem dan PKS mengusung Anies-AHY.

Selain itu, muncul pula narasi potensi pasangan Prabowo-Puan untuk menjadi pasangan capres-cawapres Pemilu 2024. PDIP disebut lebih memilih Puan untuk diajukan sebagai kandidat capres-cawapres daripada Ganjar Pranowo yang lebih punya elektabilitas tinggi.

Lantas apakah momen ini wajar? Pemerhati politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah beranggapan, keterusungan kandidat dalam Pemilu 2024 akan berkaitan dengan partai. Dengan demikian, kandidat dengan elektabilitas tinggi bisa tidak diusung di Pemilu 2024.

“Keterusungan tokoh potensial di Pilpres 2024 akan didominasi faktor parpol, sehingga elektabilitas yang tinggi tidak menjadi jaminan. Dan tokoh dengan elektabilitas tinggi, akan banyak yang terpaksa mundur teratur dari kontestasi,” kata Dedi kepada reporter Tirto, Rabu (7/9/2022).

Dedi menilai ada dua alasan bila tokoh potensial tidak diusung. Pertama, tidak ada tokoh dominan sehingga kandidat partai punya peluang untuk menang. Dengan demikian, partai berani mencalonkan kader sendiri lantaran lawan yang muncul tidak signifikan.

Kedua, kata Dedi, dampak elektoral partai. Ia tidak memungkiri Ganjar atau Sandiaga lebih menarik diusung dari PDIP dan Gerindra, tapi ketokohan mereka belum tentu punya dampak pada keterpilihan partai. Alhasil, peluang menang pilpres yang belum tentu diperoleh, tetapi kekalahan partai bisa jadi terbuka lebar.

“Untuk itulah, Puan jauh lebih kuat keterusungannya, karena punya daya memenangkan partai, pun demikian dengan Prabowo. Bisa saja Prabowo potensi kalah, tetapi [Gerindra] punya peluang menang di legislatif,” kata Dedi.

Dedi menilai, upaya tidak mengusung kandidat elektabilitas tinggi bisa dianggao sebagai upaya penjegalan pengusungan. Namun, tindakan tersebut bukan kriminal. Ia justru mengatakan, “Ini seni lobi politik pada mitra parpol agar tidak mengusung tokoh potensial. Ini demi mengurangi beban kontestasi.”

Dedi pun mengatakan, metode penjegalan kampanye adalah hal yang lazim. Ia beralasan, partai umumnya kerap mengedepankan kemenangan pileg. Oleh karena itu, sebagai contoh Prabowo bisa membawa elektoral kepada partai daripada Sandiaga.

“Demikian halnya dengan keterusungan Puan, ini pertimbangan partai yang tidak saja melihat kontestasi pilpres, tapi pileg. Toh, usung Ganjar atau Puan sama-sama tidak terjamin kemenangnya, maka lebih baik mengusung tokoh yang potensial bisa memenangkan pileg, dan berpeluang juga di pilpres, daripada usung tokoh yang sama-sama potensi kalah di pilpres, dan potensi tidak mampu memenangkan pileg,” kata Dedi.

Dedi juga menegaskan bahwa upaya penjegalan bukan aksi oligarki. Ia menuturkan, oligarki adalah bentuk semua lapisan kekuasaan dikuasai oleh sedikit partai, dan oligarki itu yang menciptakan adalah sistem politik, bukan partai itu sendiri.

“Gerindra, PDIP, utamakan usung kader inti, itu sudah benar, terlebih jika memang punya modal terusung dan menang,” kata Dedi.

Sementara itu, peneliti PRP-BRIN, Wasisto Raharjo Jati juga tidak memungkiri bahwa kader dengan elektabilitas tinggi tidak akan diusung. Ia mengaku ada sejumlah alasan seperti jumlah suara partai koalisi tidak memenuhi kuorum untuk mengusung kandidat.

Di sisi lain partai takut kandidat lebih baik daripada koalisi. “Adanya kekhawatiran kalau nantinya figur merasa lebih besar dari parpol atau koalisi,” kata Wasisto saat dihubungi reporter Tirto.

Wasisto menuturkan, alasan lain yang membuat kandidat elektabilitas tinggi tidak diusung partai yakni popularitas figur sebagian besar karena persepsi yang berkembang karena pengaruh sosial media, namun belum tentu di ruang publik.

Kemudian ada juga rekam jejak figur tersebut yang tidak sesuai dengan platform parpol atau koalisi, Wasisto. Terakhir adalah masih kuatnya pengaruh patronase ketua umum.

Wasisto tidak memungkiri aksi parpol tidak mengusung kandidat elektabilitas tinggi. Ia beralasan, masih adanya penerapan ambang batas pilpres sebesar 20 persen memberikan keistimewaan pada parpol atau koalisi untuk bisa menominasikan figur yang mereka anggap tepat, tanpa peduli figur tersebut populer.

Wasisto juga menilai, aksi penjegalan tidak berarti sebagai merugikan rakyat. Semua tergantung pada pemilih.

“Tergantung pada segmen masyarakatnya. Secara garis besar, nominasi figur dan representasi aspirasi pemilih terkadang berbeda. Kalau misalnya preferensi mereka adalah para figur populer, maka tidak ada representasi ideal,” kata Wasisto.

Oleh karena itu, Wasisto menyarankan agar regulasi diubah supaya kasus penjegalan tidak terjadi. “Perubahan regulasi mungkin bisa memperbaiki situasi tersebut,” kata Wasisto.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz