Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Drama Konflik Tak Berujung, PPP Berpotensi Terpental dari Parlemen

Konflik internal akan berdampak pada konsolidasi partai menuju 2024. Berdasar data, partai yang berkonflik pasti perolehan suaranya menurun.

Drama Konflik Tak Berujung, PPP Berpotensi Terpental dari Parlemen
Sejumlah pendukung mendengarkan Plt Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa saat menyampaikan orasi politiknya pada Kampanye Terbuka PPP di Lapangan Dadaha, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (12/4/2019). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/foc.

tirto.id - Menjelang Pemilu 2024, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) harus menghadapi drama baru. Ketua Umum PPP, Suharso Monoarfa diminta mundur oleh sejumlah ketua majelis tinggi dan para kiai yang notabene basis pendukung dari partai berlogo ka'bah ini.

Salah satu pemicunya adalah pidato Suharso mengenai “amplop kiai.” Akibatnya, sudah dua surat yang dikirimkan kepada Suharso agar ia mundur dari jabatannya sebagai ketua umum partai.

Namun Suharso bergeming, dirinya masih kukuh dengan pendirian bahwa tidak ada masalah yang membuatnya harus mengundurkan diri. “Itu tidak sesuai mekanisme,” kata Suharso mengonfirmasi surat yang dikirimkan kepadanya pada Senin (29/8/2022).

Meski surat tersebut sudah dikirimkan kepada Suharso, tapi dia mengaku belum menerimanya. “Saya tidak perlu merespons, karena saya tidak menerimanya,” kata dia.

Mengetahui ketua umumnya diminta mundur, sejumlah pengurus PPP menyatakan pembelaannya. Salah satunya datang dari Ketua DPP PPP Bidang Organisasi, Keanggotaan dan Kaderisasi, Syaifullah Tamliha. Ia sebut permintaan mengundurkan diri adalah hal yang tidak realistis.

Dalam pembelaannya, Tamliha menyebut Suharso sudah bekerja dengan baik tanpa ada gejolak konflik internal sebelumnya.

“Saya menilai permintaan tiga Ketua Majelis DPP PPP yang meminta Suharso Monoarfa untuk lengser dari kursi Ketum PPP tidak realistis karena organisasi partai saat ini sudah berjalan dengan baik. Apalagi proses pemilu sudah berjalan,” kata Tamliha dalam rilis tertulis.

Tamliha secara gamblang juga menyebut ada sejumlah masalah pribadi yang saat ini masih harus diselesaikan Suharso. Seperti proses perceraiannya dengan istri. Namun masalah itu tidak berarti dan berdampak apa pun bagi PPP.

“Ini merupakan masalah pribadi Suharso yang tidak melanggar syariat Islam. Selama ini masalah pribadi Pak Suharso tidak mengganggu urusan partai. Beliau siang sampai malam memonitor proses verifikasi parpol dan PPP sudah diputuskan oleh KPU lulus verifikasi,” kata Tamliha.

Ia juga menjamin selama kepemimpinan Suharso permasalahan partai bisa dikelola dan diselesaikan dengan baik. Hal itu merujuk pada pengalaman PPP yang kerap kali berkonflik, tapi selalu bisa berakhir dengan baik.

“Kami berharap para ketua majelis, baik itu Majelis Kehormatan, Majelis Syariah dan Majelis Pertimbangan memahami tupoksi masing-masing. Masalah dalam partai bisa dikelola dengan baik, apalagi PPP sudah berpengalaman konflik internal beberapa kali pemilu,” kata dia.

Tamliha menambahkan, “Kami tak ingin suara PPP mengalami penurunan akibat konflik pada 2024. Ketua Majelis dan Pengurus Harian harus bisa mengendalikan diri agar citra partai tidak terus menurun.”

Hingga saat ini, Suharso sudah berupaya untuk menarik kembali simpati pendukungnya. Sejumlah usaha sudah dia lakukan dari bertemu dan minta maaf dengan para kiai, ormas Islam seperti PBNU. Namun belum ada tanda-tanda bahwa keretakan ini akan segera berakhir.

Sering Konflik, Suara PPP Konsisten Turun

Konflik di internal PPP bukan hal yang baru. Masyarakat sudah disuguhi permasalahan PPP yang dilakukan oleh orang-orang sebelum Suharso. Dimulai dari Suryadharma Ali terpilih sebagai ketua umum PPP pada Februari 2007 menggantikan Hamzah Haz, sampai akhirnya ia harus melepaskan jabatannya pada 16 Oktober 2014 karena tersangkut kasus korupsi.

Selepas Suryadharma Ali, PPP kembali diguncang konflik internal dan sempat terbelah, yakni kubu Muhammad Romahurmuziy dan Djan Faridz.

PPP kepengurusan Romahurmuziy akhirnya menjadi pemenangnya. Di bawah kepemimpinan pria yang akrab disapa Romi itu, PPP bergabung dengan gerbong petahana dan mendukung Joko Widodo maju kembali sebagai capres untuk Pemilu 2019. Namun nasib Romi juga tidak baik, dia harus ditangkap KPK jelang Pemilu 2019.

Konflik demi konflik yang mendera internal PPP sama sekali tak menimbulkan dampak apa pun, kecuali semakin mengecilnya perolehan suara mereka di setiap pemilu. Pada Pemilu 2004, PPP berhasil memperoleh suara 9.248.764 atau 8,15 persen suara. PPP saat itu berhasil menduduki suara terbesar ke-4 di parlemen.

Di Pemilu 2009, suara PPP menurun dan hanya memperoleh 5.544.332 suara atau setara 5,33 persen. Dari angka itu, PPP berada di posisi ke-6.

Sementara pada Pemilu 2014, posisi PPP menurun dan harus berada di tempat ke-9 dari nomor urut partai parlemen. PPP memiliki suara 8.152.957 setara dengan 6,53 persen.

Dalam sejarahnya, PPP yang berdiri sejak rezim Orde Baru ini hanya berhasil mencetak 99 kursi di DPR pada Pemilu 1977. Dengan perolehan suara 18.743.491 atau 29,29 persen. Jumlah tersebut adalah terbesar selama kiprah PPP di parlemen. Namun perolehan suara itu hanya menjadi catatan sejarah dan tidak pernah terulang lagi dalam pemilu berikutnya.

Pada Pemilu 2019, walaupun sudah masuk ke gerbong pemerintah dan ikut mendukung Jokowi, PPP harus menelan pil pahit dengan suaranya yang semakin mengerdil yaitu 6.323.147 dan hanya memiliki 4,52 persen. Jumlah ini membuat PPP hanya memiliki 19 kursi DPR RI dan membuatnya menduduki posisi fraksi paling bawah.

Akibat konflik di internal PPP, hasil survei yang dilakukan oleh lembaga riset Poltracking menunjukkan, selama Agustus 2022 perolehan suara PPP hanya sebesar 3,1 persen. Apabila suara itu diakumulasikan ke dalam pemilu, maka PPP sudah tidak lolos ke parlemen.

Direktur Eksekutif Poltracking, Hanta Yuda mengatakan, salah satu penyebab PPP hanya memperoleh angka survei 3,1 persen adalah permasalahan internal yang berujung pada kekuatan mesin politik. Hanta menegaskan bila tidak segera dibenahi hubungan antar elite PPP, maka potensi gagal masuk parlemen akan terjadi.

“Faktor determinan adalah mesin politik, dan persepsi publik. Angka ini menjadi alarm bagi PPP agar tetap lolos. Kalau tidak suaranya akan pas. Dan sebelum pemilu atau satu tahun pemilu harus sudah beres dan mengurus semua konflik yang ada di dalam tubuh PPP," terangnya.

Sementara pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani menyampaikan, saat ini posisi PPP berada di ambang bahaya. Ada nyaris setengah dari pemilih PPP di 2019 akan beralih pilihan ke partai lain.

Dalam presentasinya, Saiful Mujani menyebut 22,5 persen yang sekarang menyatakan memilih Partai Demokrat dan PDIP 8,3 persen. Sedangkan pemilih PPP yang belum menentukan pilihan atau wait and see cenderung sedikit, yaitu 11 persen.

Hal tersebut berbahaya karena perolehan suara PPP pada Pemilu 2019 adalah 4,5 persen. Jika setengahnya berkurang, maka partai ini akan tidak lolos ke Senayan. Sementara PPP sejauh ini belum mampu menarik pemilih dari partai-partai lain.

“Ini berbahaya. Kalau tidak ada upaya yang ekstra, mungkin partai yang akan mengikuti Hanura yang tidak lolos ke Senayan padahal pernah ada di Senayan, adalah PPP,” kata Saiful dalam presentasinya di kanal Youtube SMRC TV pada Kamis (1/9/2022).

Partai Sering Konflik, Penyebab Masyarakat Apatis Politik

Pembina Perludem, Titi Anggraini menyebut, konflik internal partai yang terjadi seperti PPP menjadi salah satu penyebab masyarakat semakin tidak peduli pada eksistensi partai dan proses berpolitik. Masyarakat yang apatis akhirnya menilai partai gagal dalam bekerja padahal organisasi partai memiliki peran penting sebagai salah satu instrumen demokrasi.

“Konflik internal juga bisa membawa dampak buruk berupa kepercayaan publik yang makin menurun pada partai politik. Karena partai sebagai instrumen demokrasi justru dianggap gagal karena tidak bekerja sesuai dengan peran dan fungsinya,” kata Titi saat dihubungi Tirto.

Titi menambahkan, “Orang-orang partai malah sibuk dengan kepentingan pragmatis yang tidak mencerminkan aspirasi publik maupun kepentingan orang banyak sebagaimana esensi keberadaannya.”

Selain berimbas kepada masyarakat umum yang kian tidak peduli dengan dinamika politik, kader yang ada di akar rumput juga menjadi bingung melihat para elite partai terus berkonflik. Akibatnya konsentrasi dan kinerja mereka di masyarakat semakin terganggu.

“Kalau partai memiliki wakil-wakil di jabatan eksekutif dan legislatif tentu konflik internal juga bisa menurunkan kinerja para kadernya akibat konsentrasi dan fokus yang terbelah dan terganggu oleh dinamika konflik yang terjadi. Dampaknya, penyerapan dan penyaluran aspirasi publik oleh kader akan sulit bisa berlangsung optimal," ujarnya.

Puncaknya, apabila konflik terus dilestarikan dan solusi tak kunjung ditemukan, maka perpecahan tak bisa dihindari. Salah satu fenomena yang kerap ditemukan adalah saling memecat antar kader. Hal ini bisa berujung konflik dengan kekerasan yang tak bisa dihindari.

“Belum lagi kalau terjadi fenomena pecat memecat di antara kepengurusan yang berkonflik. Dalam beberapa kasus, pecat memecat itu juga berujung konflik horizontal yang disertai kekerasan akibat sejumlah oknum memobilisasi massa atau pendukung yang terafiliasi dengan mereka,” kata Titi.

Maka tak heran, partai yang berkonflik salah satu konsekuensinya adalah suara menurun. Sebagaimana yang dialami PPP dalam pemilu sebelumnya.

“Dari sisi pemilih, konflik partai tentu akan mempengaruhi pilihan politik mereka. Sangat mungkin pemilih segera berpindah ke partai politik lain yang ideologinya sama atau hampir serupa. Apalagi partai politik di Indonesia jumlahnya cukup banyak dengan ideologi yang tidak terlalu kentara perbedaannya,” kata Titi.

Selain itu, kata Titi, konflik internal pasti akan berdampak pada konsolidasi partai menuju pemenangan 2024. Berdasar data yang ada, partai yang berkonflik pasti perolehan suaranya menurun.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Politik
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz