tirto.id - Lima dekade sesudah berakhirnya Perang Dunia II dan pengakuan kedaulatan Filipina oleh Amerika Serikat pada 4 Juli 1946, Filipina baru melahirkan seorang presiden yang tidak berasal dari elite-elite lama. Mereka adalah kaum ilustrados atau “orang-orang tercerahkan”, yang padanannya dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai “elite modern”. Elite-elite lama ini merupakan golongan yang paling awal mengenyam pendidikan modern pada periode kolonial.
Di Hindia Belanda, seperti tecermin dalam Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi (1979)karya Heather Sutherland, elite modern mengenyam pendidikan yang diperkenalkan Politik Etis. Sementara di Filipina, elite modern mengenyam pendidikan karena kesuksesan perniagaan galiung (kapal layar besar) yang memungkinkan kelompok pedagang menyekolahkan anak-anak mereka ke Eropa.
Golongan terpelajar yang lahir pada periode kolonial itulah yang setelah kemerdekaan mengambil peran sebagai elite politik negeri. Keadaan demikian juga terjadi di Indonesia. Jajaran Presiden Filipina, misalnya Sergio Osmeña, Diosdado Macapagal, Carlos Garcia, bahkan Ferdinand Marcos, adalah golongan elite modern atau orang dekat dari elite modern. Pada 1998, jaringan elite ilustrados untuk pertama kalinya tidak menduduki kursi presiden.
Dalam The Emergence of Modern Southeast Asia (2005), Norman G. Owen mengungkapkan bahwa 1998 merupakan tahun yang terlampau demokratis bagi Filipina. Sebelum Presiden Joseph “Erap” Estrada—non-ilustrados pertama yang menjadi presiden—terpilih pada 11 Mei 1998, ada 83 kandidat presiden yang bersaing.
Di antara lusinan kandidat itu, banyak yang hadir dengan gaya dan visi yang nyeleneh. Seorang kandidat maju setelah mendirikan sebuah partai bernama “Kandidat Sipil Independen yang Melawan Pengkhianat dan Agen Satanis di Filipina”. Kandidat lain bahkan membuat siaran pers untuk mengumumkan bahwa ia telah “[…] kembali dari surga secara khusus untuk maju sebagai presiden”.
Kegilaan ini terjadi setelah liberalisasi pemilihan umum yang sama sekali tidak menetapkan ambang batas partai bagi pengajuan presiden—isu yang kini kembali santer disuarakan beberapa kelompok politik di Indonesia.
Setelah menyampingkan kandidat-kandidat yang nyeleneh tadi, maka muncul kembali nama-nama kandidat abadi seperti Imelda Marcos, istri diktator dan kleptokrat terkenal Ferdinand Marcos. Di tengah konstelasi kandidat yang demikian itulah Joseph Estrada maju setelah menjadi wakil presiden petahana di samping Presiden Fidel Ramos.
Estrada mengalahkan para pesaingnya dengan selisih yang tinggi. Kemenangannya didukung oleh latar belakang identitas non-ilustrados yang ia bawa dicampur dengan popularitasnya sebagai aktor. Di tengah publik Filipina, ia dikenal dengan nama Erap—pelesetan dari kata bahasa Tagalog “pare” yang artinya “kawan”.
Karier Film dan Politik
Lahir pada tahun 1937, Estrada telah terjun ke dunia model pada usia 13 tahun dan dunia seni peran pada usia 20-an. Ia menjadi terkenal lewat perannya dalam “sinetron-sinetron” Filipina yang dalam kata-kata Owen (2005) disebut, “[…] film-film medioker penuh romansa [dan] minim seni.”
Kariernya moncer sebagai aktor. Ia bahkan mendirikan Mowelfund (Yayasan Kesejahteraan Pekerja Film) pada tahun 1974, “[…] untuk menyediakan dukungan kesehatan dan kesejahteraan bagi pekerja seni yang terpinggirkan dan untuk memberi subsidi pendidikan tentang film bagi anggota maupun non-anggota.” (Philippines Star, 13 Maret 2020).
Dalam sinetron-sinetron yang dibintanginya, Estrada umumnya berperan sebagai protagonis, seorang pahlawan yang menentang tuan-tuan tanah korup atau saudagar-saudagar Tionghoa kaya yang antagonis. Peran itu membuatnya populer hingga ia memanfaatkannya untuk terjun ke dunia politik.
Karier politik Estrada dimulai dari pemilihan umum wali kota San Juan pada tahun 1967 yang tidak berhasil. Ia baru memenangkan pemilu untuk daerah dan jabatan yang sama pada tahun 1969. Estrada tetap berada pada posisi itu hingga Corazon Aquino naik menjadi presiden pada tahun 1986. Aquino melakukan pembersihan besar-besaran dengan menurunkan semua pejabat daerah yang terpilih lewat pemilu pada periode pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos.
Ia terutama menyasar orang-orang yang terlibat dalam partai politik buatan Marcos, Kilusang Bagong Lipunan (KBL). Ini adalah pembersihan besar mengingat hampir semua elite politik lama di bawah Marcos secara informal “harus” masuk KBL. Estrada jadi bagian dari orang-orang yang dicopot pada tahun 1986. Namun, ia kemudian mengikuti pemilu senat dan mendapat kursi. Enam tahun setelahnya, Estrada memutuskan ikut pemilu presiden. Awalnya sebagai presiden namun kemudian menjadi wakil presiden.
Saat itu dukungan publik dan pekerja film sangat besar. Lewat bantuan kawannya, Fernando Poe Jr., dunia industri seni peran mengumumkan 60 hari penangguhan kegiatan produksi film. Tujuannya agar para pekerja seni peran dapat melakukan kampanye untuk membantu Joseph Estrada. Akhirnya, Estrada duduk sebagai wakil presiden bagi Presiden Fidel Ramos.
Namun pada tahun 1997, ia berseberangan pandangan dengan Ramos yang ingin mengamandemen konstitusi Filipina, yaitu Piagam 1987. Tidak jelas apakah Ramos ingin menggunakan amandemen tersebut untuk memperpanjang masa jabatannya atau hanya melemahkan musuh-musuh politiknya. Hal ini ditentang oleh kelompok Corazon Aquino, Gloria Macapagal Arroyo, dan Gereja Katolik Filipina. Estrada turut serta dalam gerakan ini. Ia akhirnya dipilih sebagai presiden bersama Gloria Macapagal Arroyo yang menjadi wakilnya.
Terpilihnya Estrada yang berlatar belakang rakyat biasa dipandang sebagai perubahan besar di mata rakyat. Namun, realitasnya berbeda dari ekspektasi. Orang dekat Estrada merupakan perkancaan dan kroni-kroni lama Marcos. Orang-orang seperti Eduardo Cojuangco dan Lucio Tan yang dekat dengan Marcos kembali punya kekuatan untuk memengaruhi kebijakan ekonomi.
Realitas inilah yang bersembunyi di balik tampilan humanis dan “apa adanya” yang ditunjukkan Estrada. Ia dipandang sebagai bagian dari orang kebanyakan: berperut buncit, menata rambut dengan klimis, merokok, minum minuman keras, dan mengaku diri sebagai Don Juan—pecinta wanita.
Salah satu kebijakan strategis yang ia keluarkan adalah perlawanan penuh terhadap Front Pembebasan Islam Moro (MILF atau FPIM) yang berbasis di Mindanao. Di bawah kekuasaannya, markas-markas besar FPIM dihancurkan dan para pemimpinnya melarikan diri ke luar negeri. Para pemimpin FPIM di pengasingan akhirnya menyerukan jihad melawan pemerintah Filipina.
Tersandung Judi
Estrada kemudian tersandung sebuah skandal besar. Ia disebut terkait dengan jueteng, sebuah judi rakyat—semacam toto gelap (togel)—yang mencengkeram kalangan miskin di Filipina. Dalam “Philipinnes: Trauma of Failed Presidency” (2001), Alexander Magno mengungkap bagaimana Clarissa Ocampo, wakil presiden dari PCI Bank—bank terbesar kedua di Filipina—mengatakan bahwa memang benar ada beberapa akun dengan nama samaran dan terkait dengan jueteng yang sejatinya dimiliki oleh Estrada.
Pengungkapan ini terjadi setelah mantan kawan dekat Estrada, Chavit Singson, mengungkap permainan korup Estrada ke publik. Kasus judi ilegal ini akhirnya menyeret Estrada ke muka sidang pemakzulan. Dewan Perwakilan Rakyat Filipina mengirim tuntutan pemakzulan pada 13 November 2000. Senat Filipina kemudian membentuk peradilan pemakzulan dan proses pemakzulan pun dimulai.
Saat itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah, rakyat Filipina menyaksikan presiden yang berkuasa lewat pemilu dihadapkan pada sidang pemakzulan. Alexander Magno menyebut bahwa sempat terjadi aksi bom beruntun di Manila pada 30 Desember 2000—tepat saat hari peringatan Jose Rizal. Pengamat sezaman menduga bahwa itu mungkin aksi dari Estrada yang, seperti Marcos, berniat memperpanjang masa jabatannya dengan menyatakan status “negara dalam keadaan genting”. Namun, aksi bom itu akhirnya terbukti tidak terkait dengan Estrada.
Sidang tanggal 16 Januari 2001 sempat diwarnai aksi hengkang kaki tim jaksa penuntut. Musababnya majelis hakim tidak bersedia membuka sebuah amplop yang berisi barang bukti karena dinilai tidak berkaitan dengan tuntutan. Pada malam harinya, rakyat Filipina berdemo atas keputusan itu di depan monumen Bunda Maria Ratu Perdamaian, tidak jauh dari lokasi demo besar “People Power” yang sebelumnya menjatuhkan Presiden Ferdinand Marcos.
Melihat keadaan yang semakin runyam, Kepala Staf Militer Filipina, Angelo Reyes, menarik loyalitasnya dari Presiden Estrada pada tanggal 19 Januari 2001 dan mengalihkannya kepada wakil presiden, Gloria Macapagal Arroyo. Sehari kemudian, 20 Januari 2001—tepat hari ini 21 tahun lalu—Mahkamah Agung Filipina mendeklarasikan kekosongan posisi presiden dan mengumumkan makzul serta mundurnya presiden Estrada. Hakim Agung kemudian mengambil sumpah Gloria Macapagal Arroyo sebagai presiden.
Joseph Estrada menjadi pemimpin pertama di Asia yang dimakzulkan secara formal. Ia memilih meninggalkan sendiri Istana Kepresidenan Malacañang, yang dalam pidatonya ia lakukan “[…] demi perdamaian dan demi mulainya penyembuhan negeri kita […]”.
Ia tetap bersikeras bahwa dirinya tidak pernah mengundurkan diri dan menilai kepresidenan Arroyo inkonstitusional. Naiknya Presiden Arroyo, seorang ekonom dan putri mantan presiden ke puncak pemerintahan negeri, mengembalikan dan menegaskan lagi peran kaum ilustrados dalam perpolitikan Filipina.
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Irfan Teguh Pribadi