tirto.id - Pecinta kemewahan adalah ungkapan paling tepat untuk menggambarkan Imelda Marcos. Terlalu sederhana bila istri diktator Filipina Ferdinand Marcos itu hanya dipandang sebagai kolektor ribuan sepatu. Imelda lebih dari itu. Gaya hidup mewah yang ia jalani sampai saat ini, di umurnya yang hampir 90, membuatnya lebih tepat disebut sosialita ketimbang politikus atau ibu negara.
Imelda lahir dari klan Romualdez, wangsa tersohor di Filipina. Beberapa anggota klan itu punya kedudukan penting di pemerintahan, seperti hakim mahkamah agung, wali kota, dan juru bicara parlemen. Imelda adalah anak Vincent Orestes Romualdez, pengacara yang sempat membuka praktik di Manila kala reputasi kota tersebut mencapai puncaknya pada 1930-an.
Bisnis Orestes merosot beberapa tahun setelah Imelda lahir. Ini membuatnya harus meninggalkan Manila, pindah ke sebuah kota kecil, dan menitipkan Imelda kepada saudaranya yang lebih kaya supaya tetap bisa sekolah.
Carmen Navarro Pedrosa dalam Untold Story of Imelda Marcos (1969) mencatat bahwa sang saudara tidak memperlakukan Imelda dengan baik. “Ibaratnya, ia ada satu level di atas pelayan tetapi tidak masuk hitungan keluarga. Hal ini membuat Imelda berusaha mati-matian agar bisa jadi orang terkenal, hidup mewah, dan kaya raya,” tulis Pedrosa.
Jalan pertama yang Imelda tempuh ialah berusaha menjadi terkenal. Ia sadar bahwa dirinya cantik. Karena itu Imelda percaya diri mengikuti kontes kecantikan saat usianya 18. Paras eloknya diakui para juri dan ia jadi juara satu kontes tersebut.
Setahun setelahnya, Imelda tak sengaja berjumpa dengan Ferdinand Marcos, politikus muda Filipina yang cukup terkenal dan kariernya tengah menanjak. Beberapa bulan setelah bertemu, keduanya sepakat menikah. "Kesengsaraan" Imelda pun perlahan sirna dan hidupnya mulai berubah.
Hostess with the Mostest
Kecantikan Imelda jadi senjata kampanye Marcos. Pedrosa mengisahkan bahwa selama masa kampanye, Imelda mengunjungi 1.200 area di Filipina demi berkampanye untuk suaminya. Ia menyanyi dan menari di tiap tempat yang dikunjungi. Publik terhibur dan Marcos pun mendulang suara.
Imelda kian bergelora lantaran makin banyak yang mengidolakannya. Sang suami mengakui Imelda punya peran yang signifikan dalam meraih simpati massa.
Akhirnya Marcos memenangi pemilu dan Imelda memenangi peluang untuk hidup mewah.
Salah satu inspirasi hidup ala jet set didapat ketika ia melakukan kunjungan kenegaraan ke AS setahun setelah menjadi ibu negara. Pedrosa menyebutkan ketakjuban Imelda kala menghadiri acara pembukaan Metropolitan Opera House (Lincoln Center) pada September 1966 dan mengunjungi Metropolitan Museum of Art (The Met) New York. Ia terpana melihat lampu gantung dan terkesima menyaksikan karya seni Picasso dan Chagall.
Buat Imelda, semua itu tak ada artinya dibanding pujian dari Lyndon Johnson, presiden AS yang menjamunya setelah acara pembukaan gedung teater.
“Anda benar-benar ‘A’ dan ‘A’—admiration and affection.”
Imelda pun tersipu malu. Pujian itu datang setelah dirinya spontan bernyanyi di acara makan malam.
“Aku adalah ibu negara pertama yang melakukan itu. Dan untungnya saat itu aku memakai perhiasan mutiara, jadi aku benar-benar tampil beda dari perempuan-perempuan AS yang memakai berlian.”
Imelda meniru apa yang ia temui di Amerika untuk jamuan kenegaraan di Filipina. Ketika Marcos menjamu tamu dari berbagai negara, Imelda merancang konsep ala Johnson. Prinsipnya: segalanya harus tampak ekstravagan. Ia menghabiskan banyak dana untuk dekorasi, mengundang selebritas papan atas, dan menampilkan budaya tradisional. Upaya itu lagi-lagi dipuji Johnson.
“Kamu memang hostess with the mostest.”
Imelda pun kembali tersipu.
Ibu Negara Paling Hedon
Pada 1986, jurnalis People Roger Wolmuth pernah mendeskripsikan gaya hidup hedon sang ibu negara kala berkunjung ke luar Manila. Artikel berjudul “The Imelda Marcos Shopping Guide: a Cache 'n' Carry Way to Spend the Fortunes of a Nation” memaparkan betapa bangganya Imelda saat memamerkan dua koper dari kulit buaya yang dipenuhi perhiasan.
“Bagian dalam koper itu berisi berbagai laci. Setiap lacinya menyimpan perhiasan dengan warna berbeda yang terbuat dari berlian, emerald, rubi, safir,” catat Wolmuth.
Laporan Wolmuth menyatakan Imelda selalu menghabiskan dana jutaan dolar setiap pergi ke luar negeri. Misalnya ketika ia datang ke New York pada 1978. Di sana ia menghabiskan 1,43 juta dolar AS untuk membeli perhiasan merek Bvlgari, salah satu lini aksesori tersohor asal Italia, dan mengeluarkan 1,15 juta dolar AS untuk membeli gelang berlian.
“Ia pernah menghabiskan $7 juta selama 90 hari. Ia membeli seprei seharga $10.340, piranti makan seharga $43.370, serbet seharga $19.400,” ungkap Wolmuth.
Imelda juga hobi membeli lukisan dan karya seni lain yang dibuat seniman legendaris sekelas Michelangelo.
Barang-barang yang ia beli di luar negeri itu kerap digunakan kala mengadakan jamuan di istana. Era kepemimpinan Marcos dikenal sebagai masa ketika istana kenegaraan kerap mengadakan jamuan-jamuan mewah. Bahkan, saking ingin terlihat mewah, pasir saja jadi perhatian si ibu negara sosialita. Pernah suatu kali ia melihat pasir pantai yang tampak tidak terlalu putih jika dilihat dari istana. Lantas, Imelda menyewa pesawat untuk mendatangkan pasir baru dari Australia.
“Hidup di Filipina ini mewah. Di sini tidak ada orang yang hidup dalam kemiskinan seperti di negara-negara lain,” katanya.
Imelda selalu berpikir bahwa lewat gaya busananya ia telah membantu para pengusaha Filipina, terutama pengusaha sepatu. Selama 20 tahun menjadi ibu negara, setidaknya ia punya 1060 pasang alas kaki yang sebagian besar diproduksi di Marikeno, kawasan industri sepatu Filipina.
Ia mengaku bahwa dirinya berperan sebagai duta promosi sepatu ke publik. Meski pada kenyataannya sebagian besar sepatu koleksi Imelda berasal dari produsen rumah mode asal Eropa dan AS. Dan tak ada catatan pula yang menyebutkan sepatu mana yang kerap ia pakai kala berkunjung ke luar negeri.
Rumor yang beredar di masyarakat menyatakan bahwa saban minggu tiap perusahaan di Marikeno memberi selusin sepatu kepada Imelda. Dalam "The Shoe Industry of Marikina City, Philipines: A Developing-Country Cluster in Crisis" (2005), Allen J. Scott menyebut bahwa sejak era Marcos sampai 2000-an, para pengusaha kecil dan menengah di Marikeno harus berupaya mencari cara agar tetap bertahan di tengah tantangan bisnis yang kerap menempatkan mereka pada situasi krisis.
Scott tak menyebut nama Imelda sebagai sosok penyelamat yang memberi bantuan pada pelaku industri. Namanya hanya disebut di kisah tentang pembukaan museum sepatu pada 2001. Museum itu memajang ratusan sepatu milik Imelda yang tertinggal di istana Malacanang kala ia dan suaminya terpaksa melarikan diri akibat situasi politik.
“Polisi mungkin berharap menemukan tengkorakku di sana. Tapi yang mereka temukan justru sepatuku. Itu bagus. Mereka menemukan keindahan,” kata Imelda yang sempat diasingkan ke AS.
Ia kembali ke Filipina pada 1990-an dan berniat jadi presiden. Niatnya gagal. Kini kabar yang beredar tentangnya bukan lagi soal gaya hidup mewah, melainkan kabar yang menyebut dirinya terbukti bersalah karena korupsi.
Editor: Ivan Aulia Ahsan