tirto.id - Brigitte Macron adalah contoh tepat bagi istilah "menua dengan elegan". Brigitte mendobrak aturan baku tentang penampilan lazim perempuan lansia yang biasanya mengutamakan kenyamanan dengan menggunakan sandal ortopedi dan baju longgar penghangat tubuh.
Di usia 64 tahun, ia percaya diri menghadiri berbagai acara formal dengan mengenakan busana tanpa lengan yang memperlihatkan kulit keriputnya. Ia cukup konsisten mengenakan rok di atas lutut dan sepatu stileto kala menghadiri acara kenegaraan.
Nenek tujuh cucu ini punya bentuk tubuh proporsional. Busana terbuka yang ia kenakan memperlihatkan otot yang dijaga dengan baik. Sepatu hak tingginya menopang betis bebas varises hingga paha tak berlemak.
“Dia pasti tidak makan karbohidrat dan makanan kemasan. Ya, orang Perancis memang paling ahli mengontrol porsi makanan,” kata Paula Mee, pakar diet, kepada Independent. Jurnalis Independent Eleanor Steafel memastikan asumsi Mee dengan bertanya kepada kepala koki kepresidenan Guillaume Gomez. Menurut Gomez, setiap hari Brigitte selalu mengonsumsi 10 jenis buah dan sayur serta keju dan wine berkualitas. Makanan sehat Brigitte diimbangi rutinitas pilates dan angkat beban ringan yang dipandu pelatih pribadi, Pat Henry.
Tubuh yang prima membuat Brigitte yakin mengenakan busana sejenis rok mini dan jaket utilitarian seperti yang ia kenakan pada hari pelantikan sang suami, Emmanuel Macron, sebagai presiden. Kritikus fesyen New York Times Vanessa Friedman menganggap momen itu sebagai pernyataan sikap Brigitte yang menolak ‘seragam’ politisi borju Perancis yaitu rok sedengkul.
“Keberaniannya bikin penampilan perempuan yang dianggap ikon gaya perempuan Perancis ini terkesan jadi sosok perkasa,” tulis Friedman.
Friedman pun mengagumi cara Brigitte memilih merek busana untuk dipakai. Ia tidak seperti Carla Bruni (pasangan mantan Presiden Nicolas Sarkozy) dan Valérie Trierweiler (pasangan mantan Presiden Francois Hollande) yang memilih merek busana Perancis dengan citra klasik elegan. Desainer favorit Brigitte adalah Nicolas Ghesquière, direktur kreatif Louis Vuitton, lini busana dan aksesori yang didirikan pada 1854 dan kini jadi perusahaan retail terbesar di dunia.
Ghesquière bukan tipe desainer seperti Coco Chanel, Christian Dior, atau Hubert Givenchy. Ia gemar merancang pakaian dengan unsur desain futuristik dan menghindari kesan klasik feminin seperti yang bisa terlihat pada busana yang dikenakan Audrey Hepburn. Ghesquière kerap mendesain ragam luaran atau jaket yang bentuknya asimetris hingga kebesaran.
Friedman percaya bahwa Brigitte tengah mempromosikan Louis Vuitton. Selain itu, jaket yang terinspirasi seragam militer itu, imbuh Friedman, seolah menunjukkan ia dan sang suami siap menyambut pertarungan hari esok.
Usia Brigitte dan Emmanuel terpaut hampir seperempat abad.
Pada 17 tahun, Emmanuel meyakinkan Brigitte—yang waktu itu telah menikah, beranak tiga, dan bekerja sebagai guru—bahwa kelak ia akan mempersunting dirinya. Terdengar konyol, tapi jadi kenyataan pada 2007. Saat itu usia Emmanuel 30 tahun dan Brigitte 54 tahun.
Pada 1992, Emmanuel duduk di bangku SMP. Remaja usia 15 itu diminta menggarap adaptasi naskah dramawan Eduardo de Filippo. Emmanuel mengerjakannya bersama Brigitte Trogneux Auzière, guru pecinta sastra yang mengidolakan Baudelaire, Flaubert, dan Rimbaud.
“Aku benar-benar kagum dengan kecerdasannya. Dia sangat luar biasa,” kata Brigitte tentang Emmanuel.
Saat itu, Brigitte membuktikan sendiri perkataan puterinya tentang seorang cowok di sekolah yang paling pintar dan tahu segalanya.
“Kami menggarap naskah setiap Jumat. Setelah kelas selesai, entah mengapa rasanya aku ingin hari Jumat segera tiba,” ujar Brigitte dalam wawancara dengan Elle.
Kebersamaan mereka sempat ditentang orangtua Emmanuel. Toh, keduanya tetap nekat.
“Brigitte itu keseimbanganku,” ujar Emmanuel seperti dikutip Independent.
Pada 2017, New York Times memaparkan bagaimana Brigitte melatih Emmanuel soal keterampilan berdebat serta cara bersikap di depan publik selama kampanye Pilpres 2017.
Penulis buku Les Macron, Candice Nedelec mengisahkan bahwa kalimat pertama yang keluar dari mulut Emmanuel tiap kali selesai berkampanye adalah “Di mana Brigitte?”
Brigitte tak hanya berperan sebagai pendukung Macron. Perempuan yang menolak menyandang sebutan first lady ini ikut serta merealisasikan program pendidikan bagi anak kurang mampu dan difabel yang ada di daerah pinggiran.
Kepada Irish Times ia berkata dirinya perlu memperjuangkan inklusivitas dalam ranah politik Perancis, mengawasi setiap acara yang berlangsung di dalam istana negara, dan terlibat dalam aktivitas berbagai lembaga amal. Semua hal tersebut hendak ia optimalkan sebelum memasuki usia pensiun.
Masih ada waktu dua tahun sebelum masa itu tiba.
Editor: Windu Jusuf