tirto.id - Indonesia memiliki potensi energi surya yang besar, berkisar antara 3.000 hingga 20.000 GWp (IESR, 2021). Namun, hingga akhir 2024 kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) masih berada di bawah 1 GW.
Angka tersebut merupakan ironi, mengingat urgensi krisis iklim dan komitmen Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
"Kalau kita melihat surya ini adalah sumber energi terbesar di Indonesia karena kita berada di daerah khatulistiwa, di daerah tropis, sehingga sepanjang tahun kita mempunyai energi surya yang tinggi," kata Andriah Feby Misna, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan, Direktorat Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM, dalam pertemuan Zoom Meeting, Selasa (2/9/2025).
Energi surya, sebagai teknologi yang paling modular, cepat terpasang, dan berpotensi besar tersebar di seluruh wilayah Indonesia, seharusnya dapat menjadi ujung tombak transisi energi yang berkeadilan. Namun, pemanfaatannya belum mencapai level maksimal.
"Tetapi memang kalau kita melihat dari sisi pemanfaatannya, tadi juga sudah disampaikan belum mencapai 1 GW di tahun 2024, dan mudah-mudahan nanti di tahun 2025 ini kita bisa melaporkan angka 1 GW pertama kita," papar Andriah.
PLTS juga telah masuk dalam berbagai perencanaan energi nasional, baik dalam peta jalan NZE 2060 maupun dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 yang disusun oleh PLN. Namun, realisasi dan implementasinya belum sejalan dengan ambisi yang tertulis.
Target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 pun tampaknya sulit tercapai tanpa lompatan signifikan dalam adopsi PLTS di berbagai lini, mulai dari rumah tangga, kawasan industri, hingga pembangkit skala besar.
Pemerintah akhirnya menyiapkan strategi untuk mempercepat pemanfaatan energi surya sebagai sumber energi bersih di Indonesia, yakni melalui PLTS Atap dan PLTS Terapung. Hingga Juni 2025, kapasitas terpasang PLTS Atap tercatat sekitar 495 MW dari 10.700 pelanggan PLN.
"Kita juga mendorong agar resor-resor yang saat ini jumlahnya cukup banyak di daerah-daerah, di pedesaan, di remote area, ini juga kita dorong dengan melakukan de-resol dengan memanfaatkan PLTS (Atap dan Terapung)."
Penulis: Natania Longdong
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































