tirto.id - Dalam semesta internet, Twitter, yang lahir pada 21 Maret 2006, sebenarnya sangatlah kecil. Ia hanya memiliki 290,5 juta pengguna aktif bulanan (Facebook 2,9 miliar pengguna dan TikTok 1 miliar pengguna) serta hanya mampu mendulang pendapatan dari iklan senilai 5,08 miliar dolar AS sepanjang 2021 (Facebook 117,9 miliar dan Youtube 28,8 miliar).
Meskipun kecil, sebagaimana tertuang dalam “Twitter Links Between Politicians and Journalists” (Journalism Practice Vol. 6 2012) dan “Le Tweet Stratégique: Use of Twitter as a PR tool by French Politicians” (Public Relations Review Vol. 41 Juni 2015) yang ditulis Peter Vermeij serta Alex Fame, pengaruh Twitter sangatlah signifikan. Ia, misalnya, menjadi salah satu rujukan utama kantor berita besar seperti CNN. Hanya lewat maksimal 280 karakter, microblogging garapan Jack Dorsey dan kawan-kawannya di startup bernama Oden ini juga menjadi arena para politikus dari Amerika sampai Indonesia menyebarkan agenda serta pandangannya.
Dan, dengan latar kesewenang-wenangan penguasa di Timur Tengah, Twitter bertransformasi menjadi platform penggerak serta senjata utama masyarakat dalam pentas politik bernama Arab Spring.
Besarnya pengaruh di kancah sosial dan politik mungkin merupakan alasan mengapa Elon Musk, selebtwit yang menyambi menjadi CEO Tesla dan SpaceX, membeli 9,2 persen saham media sosial ini. Jumlah tersebut cukup membuatnya menjadi pemegang saham terbesar Twitter.
"Twitter, secara de facto, adalah alun-alun [dunia maya]," kata Elon Musk, manusia pemilik harta senilai 275 miliar dolar AS versi Forbes atau 255 miliar dolar AS versi Bloomberg Index, disela acara TED Talk, Kamis (14/4/2022) lalu.
Dalam pesan kepada para petinggi Twitter, Musk mengatakan media sosial ini memiliki potensi yang sangat besar namun hanya bisa dimaksimalkan manakala menjadi perusahaan privat; perusahaan yang dikendalikan secara absolut. Atas dasar itu baru-baru ini ia berniat membeli seluruh saham yang tersisa dengan mahar senilai 43 miliar dolar AS.
Dengan nada mengancam--meskipun mengklaim tidak demikian--Musk mengaku akan memikirkan ulang kepemilikannya di perusahaan tersebut (alias menjual lagi sahamnya) andai tawaran ini tak digubris.
Tapi Twitter bergeming. Memanfaatkan mekanisme dunia saham yang diciptakan pada 1980-an silam, mereka memilih menenggak "pil beracun" (poison pill) untuk mencegah sosok/institusi yang tidak dikehendaki menguasai suatu perusahaan publik. Dengan cara ini, andai Musk memiliki saham hingga 15 persen, Twitter akan mengeluarkan saham baru yang akan dihargai murah--guna mendegradasi nilai--dan hanya dijual selain kepada Musk. Mekanisme yang sama pernah digunakan Netflix untuk mencegah akuisisi pengusaha bernama Carl Icahn pada 2012 silam.
Artinya, seandainya ingin benar-benar ingin menguasai Twitter, Musk butuh uang berkali lipat dari 43 miliar dolar AS. Suatu pengorbanan yang, meskipun berstatus sebagai orang terkaya sejagat, tampaknya tak akan ia lakukan.
Mengapa? Sebab Musk adalah raja troll berkelakuan pragmatis.
The King of Meme
Dalam pemikiran Musk, setelah menguasai Twitter, ia bisa mengeksploitasi potensinya dengan membuka source-code/algoritma untuk publik (open source); menihilkan proses moderasi; menyediakan tombol edit; serta "memaksa" para pesohor untuk lebih aktif.
Ia memang tampak percaya diri betul. Dan itu bisa dimaklumi karena di masa lalu Musk sukses membawa Tesla dari tebing kebangkrutan menjadi produsen electronic vehicle terbesar serta berhasil menghilangkan ketergantungan AS terhadap roket milik Rusia melalui SpaceX.
Namun, sebagaimana disampaikan Conrad Quilty-Harper, editor Bloomberg yang sempat bekerja untuk New Scientist, salah satu media terbaik di bidang sains dan teknologi, tawaran Musk mengakuisisi Twitter lebih layak dibaca sebagai prank atau guyonan alih-alih kehendak nyata. Begitu pula dengan segala skema perombakan yang ia tawarkan.
Faktanya hal serupa pernah terjadi di masa lalu. Musk, yang mengaku sebagai pembaca setia New Scientist, sempat menyatakan hendak membeli media tersebut pada 2019 silam. Sama seperti rencana pembelian Twitter, Musk mengatakan itu ia lakukan demi menyelamatkan serta mengoptimalkan potensinya. Musk kesal dengan skema bisnis media tersebut yang sekadar mengandalkan paywall.
Nahas, usai tim New Scientist sibuk mengalkulasi berapa nilai perusahaan serta mempersiapkan take-over, Musk meninggalkan rencana pembelian tanpa kejelasan. Dan News Scientist akhirnya dibeli Daily Mail Group dengan mahar senilai 92 juta dolar AS (angka yang kelewat kecil untuk Musk).
Quilty-Harper bahkan mengatakan seandainya Musk mengirim pesan berisi tawaran mengambil alih perusahaanmu, "jangan lupa membumbui dengan emoji untuk menciptakan keseimbangan."
"Ini penting dilakukan agar kamu tidak malu jika tawaran itu hanya lelucon semata," katanya. "Ingat, Musk adalah raja meme."
Musk memang pribadi "aneh" di kalangan miliarder. Ia rutin berkelakar melalui akun Twitter @elonmusk. Di sana ia menyebut "harga saham Tesla terlalu tinggi"; menghina Joe Biden; menyebut Bernie Sanders keterlaluan karena terus-terusan mengusiknya; membuat nilai kripto naik turun; serta rutin berkelakar seksi (misalnya mengurutkan Tesla Model S, E, dan X agar menjadi "SEX"). Guyonan terkait saham bahkan sempat membuat Musk didenda SEC.
Ia berbeda dengan orang tajir lain yang rajin menggelontorkan uang berjuta dolar untuk memuaskan hasrat membantu kalangan miskin seperti Bill Gates lewat Bill & Melinda Gates Foundation atau Mark Zuckerberg melalui Chan Zuckerberg Initiative. Musk juga tak seperti Jeff Bezos yang memilih membeli pengaruh melalui kepemilikan The Washington Post.
Reporter The New York Times Jeremy W. Peters mengatakan kelakuan Musk yang cukup aneh dibandingkan miliarder lain mungkin karena ia memang pada dasarnya seorang pragmatis, selain libertarian--orang yang menjunjung tinggi kebebasan--sebagaimana yang ia sendiri deklarasikan. Ia adalah orang yang mementingkan diri sendiri dibandingkan siapa pun.
Ketika tak menerima ucapan "selamat" dari Presiden AS Joe Biden atas keberhasilan mengembangkan SpaceX, Musk memilih untuk menghinanya; tatkala diserang bertubi-tubi soal pajak, ia memanfaatkan fitur jajak pendapat Twitter untuk melawan Kantor Pajak AS serta Bernie Sanders; dan, saat Tesla dipaksa untuk menurunkan tempo produksi mobil karena Covid-19 merajalela, tak sungkan ia menyebut itu sebagai pemaksaan dan tindakan "fasis".
Mungkin membeli Twitter, yang akan diubah menjadi medium bebas tanpa moderasi, dilakukan karena Musk ingin mempersatukan seluruh kalangan masyarakat di platform tersebut. Tak pandang bulu, tak pandang ideologi, tak pandang pemikiran atau kesesatan informasi yang mungkin akan semakin masif. Dengan tindakan ini, tentu, Twitter akan lebih ramai dan keriuhan tersebut berbanding lurus dengan pundi-pundi uang yang mengalir kemudian.
Singkatnya, segala ucapan dan tindakan Musk tak layak dipercaya. Semua yang keluar dari mulutnya (yang dipublikasikan melalui Twitter) hanyalah guyonan semata.
Editor: Rio Apinino