tirto.id - "Simpan uangmu, nak. Sana, main saja di pantai."
Elon Musk bertekad menciptakan roket untuk membebaskan umat manusia dari ketergantungan terhadap Bumi dan karena mengetahui NASA tak memiliki program apa pun melebihi atmosfer atau bahkan kembali ke Bulan. Namun tentu itu bukan perkara mudah. Eric Berger dalam buku berjudul Liftoff: Elon Musk and the Desperate Early Days That Launched SpaceX (2021) menyatakan dalam sejarah, penjelajahan angkasa hanya bisa dilakukan oleh negara, bukan pengusaha--sekaya apa pun ia.
Tentu ada banyak individu yang berusaha mencapai angkasa, tetapi semuanya berakhir dengan kegagalan. Entah karena kekurangan dana atau, jika kaya raya, minim pengetahuan dalam membangun roket.
Musk, yang kaya raya gara-gara Paypal dan memperoleh saran untuk menyimpan uangnya dan main saja ke pantai alih-alih dihamburkan guna membangun roket, tak mengindahkan kenyataan itu. "Saya punya $180 juta dari PayPal," aku Musk, "tidak masalah, sih, kalau hilang setengahnya gara-gara roket."
Usai ditolak mentah-mentah oleh tiga orang ahli di bidang roket, yaitu Michael Griffin (teknisi roket yang kemudian menjadi administrator NASA), James Cantrell (teknisi roket yang kemudian mendirikan Strategic Space Development), dan John Garvey (pehobi roket yang mendirikan Garvey Spacecraft Corporation), Musk mendirikan perusahaan roket bermodal dua teknisi, Tom Mueller dan Chris Thompson, dan setengah hartanya tepat pada 6 Mei 2002. Awalnya Musk memberi nama perusahaan tersebut Space Exploration Technologies, namun kemudian diubah menjadi SpaceX. "Supaya lebih enak didengar," tulis Berger.
Dengan teknisi yang terus bertambah setiap bulan, Musk memulai perjalanannya menciptakan roket. Tentu, karena membuat roket dari nol, ada banyak rintangan teknis yang menerjang. Misalnya, mereka hanya bermodal komputer seharga 500 dolar AS, sementara komputer NASA berbanderol 5 juta dolar AS. SpaceX harus pula merancang sistem yang memungkinkan negara (dalam hal ini militer) untuk menghancurkan roket dari jarak jauh apabila benda tersebut ternyata berbahaya karena keluar dari jalur saat diluncurkan.
Meski dihinggapi banyak rintangan, tepat pada 24 Maret 2006, momentum pertama SpaceX tiba jua. Saat itu, Falcon 1, roket pertama mereka, meluncur ke angkasa dari kawasan Kwajalein di Pasifik.
SpaceX kemudian menjelma sebagai perusahaan roket swasta tersukses. Mereka berhasil melakukan 62 misi peluncuran ke berbagai tujuan (semisal mengirimkan satelit ke orbit) sebelum 2018 berakhir. 12 tahun sejak didirikan, SpaceX telah menggenggam lebih dari 100 kontrak peluncuran satelit.
Dikutip dari laman resmi SpaceX, terdapat dua roket yang ditawarkan guna dijadikan "boncengan" wahana, yakni Falcon 9 dan Falcon Heavy. Keduanya dapat digunakan untuk mengirimkan wahana ke tiga tujuan, low earth orbit (160 hingga 2.000 km di atas permukaan bumi), geosynchronous transfer orbit (orbit di ketinggian 42.164 km di atas permukaan bumi), dan (dalam rencana) menuju Mars.
Untuk menggunakan roket SpaceX, peminatnya hanya perlu mengeluarkan uang senilai 62 juta dolar AS hingga 90 juta dolar AS sekali peluncuran. Kembali merujuk buku Berger, biaya tersebut jauh lebih murah dibandingkan kompetitor, terutama UAC (konsorsium yang digawangi Boeing). Delta IV Heavy yang memiliki kemampuan setara Falcon Heavy, misalnya, dibanderol 350 juta dolar AS sekali terbang. Bahkan, sempat disebut dalam rapat House Armed Services Committee yang membahas strategi pertahanan Amerika Serikat, Delta IV Heavy bisa dibandrol antara 400 juta dolar AS dan 600 juta dolar AS untuk konfigurasi tertentu.
Biaya produksi roket SpaceX bahkan tak bisa dikalahkan NASA. Pembuatan satu roket ala NASA butuh 7,8 miliar dolar AS, itu pun hanya bisa diterbangkan satu kali.
Revolusi peroketan yang digawangi Musk akhirnya memunculkan pemain-pemain lain, seperti Virgin Galactic dari Richard Branson hingga Blue Origin milik Jeff Bezos.
Dengan semakin banyaknya pemain, ketergantungan manusia terhadap Bumi mungkin akan segera berakhir. Namun semua itu harus dibayar dengan ongkos selangit dan, paling utama, kerusakan lingkungan.
Mengapa?
Cara Roket Menembus Cakrawala
Roket, sebagaimana dipaparkan John Drury Clark dalam buku berjudul Ignition!: An Informal History of Liquid Rocket Propellants (2018), adalah jawaban yang tidak bisa dibantah siapa pun untuk pergi ke luar angkasa. Itu adalah wahana paling masuk akal di antara yang lain.
Meskipun roket disusun dari berbagai modul yang saling bertautan dan memiliki peranan penting masing-masing, Clark menyebut bagian utama yang membuat roket dapat terbang ke angkasa adalah propelan atau bahan pendorong. Ini adalah suatu zat campur aduk antara bahan bakar dan oksidator (atau material yang mentransfer elektron bagi bahan bakar) yang dapat menghasilkan energi atau gas bertekanan yang mampu menciptakan gerakan fluida dan berakhir dengan terbentuknya propulsi (tenaga penggerak). Teknologi ini memang jadul, tetapi kegunaannya tak lekang dimakan usia.
Gagasan roket propelan muncul pertama kali pada 1903 alias di tahun yang sama ketika Wright bersaudara tengah mengembangkan pesawat terbang pertama di dunia. Ide ini dicetuskan oleh Konstantin Eduardovich dalam artikel "Exploration of Space with Reactive Device" yang terbit di jurnal di St. Petersburg, Rusia. Ide ini adalah jawaban terhadap fakta bahwa luar angkasa merupakan vakum hampa/hampa udara (empty space) yang tidak memungkinkan bagi modul/wahana bersayap yang memanfaatkan tekanan udara (semisal pesawat terbang) dapat bekerja.
Eduardovich menggunakan hidrogen cair sebagai bahan bakar dan oksigen cair sebagai oksidatornya.
Meskipun ilmuwan kala itu sepakat propelan memang jawaban untuk dapat menjelajah luar angkasa, mereka tak pernah satu suara tentang bahan bakar dan oksidator yang digunakan. Sikap ini muncul karena kerja manusia mengonversi gas menjadi cairan belum berakhir. Ketika itu hidrogen dan oksigen yang diusulkan Eduardovich sebagai propelan baru berusia tak lebih dari 10 tahun sebagai gas yang berhasil dikonversi menjadi cairan. Banyak ilmuwan menganggap ide ini masih terlalu muda dan sangat mungkin terdapat gas lain yang lebih baik sebagai bahan bakar + oksidator propelan, tetapi belum berhasil dijadikan cairan.
Di sisi pengembangan sains, konversi gas menjadi cairan (dengan cara didinginkan, diberi tekanan, dicampur aduk dengan gas lain) dilakukan agar ilmuwan dapat menganalisis sifat dasar molekul gas. Setelah dianalisis, mereka dapat menafsirkan apa yang terjadi satu gas ditubruk dengan gas lain.
Di sisi pengembangan roket, mengubah gas menjadi cairan penting karena dengan berbentuk cair (liquid state) molekul gas mudah ditempatkan dan mudah pula dimanipulasi penggunaannya. Saat berbentuk cair, misalnya, hidrogen dan oksigen dapat disemprotkan dalam kuantitas dan pembabakan waktu yang presisi untuk menghasilkan reaksi demi terciptanya propulsi. Tanpa kuantitas dan pembabakan waktu yang presisi, roket tidak akan terbang dan hanya berakhir sebagai petasan raksasa alias meledak.
Saat belum ada kata sepakat di antara para ilmuwan tentang penggunaan hidrogen cair, metana, etana, benzana, gugus metil, etanol, terpentin, bensin, minyak tanah, dan bahkan air, aluminum bubuk, serta mesiu satu per satu diajukan sebagai bahan bakar propelan dan dinitrogen tetroksida serta metil nitrat diajukan sebagai oksidator. Penggunaan dua molekul yang disebut terakhir ditinggalkan karena ilmuwan sadar bahwa tidak ada molekul lain yang memiliki tingkat oksidasi serendah oksigen.
Melalui otak-atik bahan bakar dan oksidator propelan ini, Robert H. Goddard, ilmuwan roket pada awal abad ke-20 yang kini namanya diabadikan sebagai salah satu markas dan teleskop milik NASA, berhasil membuat roket yang sanggup mengangkasa secara terbatas. Ia memanfaatkan bensin sebagai bahan bakar dan oksigen sebagai oksidator. Menyusul kemudian F. A. Tsander dari Rusia, Klaus Riedel dan Friedrich Wilhelm dari Jerman, serta Luigi Crocco dari Italia berhasil menciptakan propelan roket berkekuatan terbatas versi masing-masing.
Satu nama lain yang tentu harus dicatat dalam sejarah roket adalah Wernher von Braun, lahir pada 23 Maret 1912 dari pasangan Menteri Pertanian Republik Weimar (dari sisi ayah) dan keturunan Raja Philip III serta Raja Edward III (dari sisi ibu). Von Braun adalah ilmuwan roket paling wahid sejagat usai Walter Dornberger, salah satu petinggi militer Jerman yang mengepalai divisi penelitian penciptaan roket, mengajaknya bergabung ke militer Jerman dan bersama-sama menciptakan roket.
Di bawah dukungan militer, von Braun merilis roket A-1 pada 1932--tahun yang sama dengan kenaikan Hitler sebagai penguasa Jerman. Sayangnya roket tersebut gagal mengangkasa dan hanya berakhir sebagai petasan raksasa. Namun, belajar dari kegagalan, pada 1944 von Braun berhasil menciptakan roket A-4 alias V2 yang memiliki kemampuan membawa 1 ton hulu ledak sejauh 257 kilometer ke area musuh yang dikehendaki Hitler.
Usai sadar bahwa Hitler akan kalah dalam Perang Dunia Kedua, ia setuju dinaturalisasi sebagai warga negara AS. Di sanalah von Braun berhasil menciptakan Saturn V, roket yang dirancang untuk sampai ke Mars dan berhasil mendaratkan Neil Amstrong dan Buzz Aldrin di Bulan.
Pada roket V2, von Braun menggunakan etanol cair sebagai bahan bakar dan oksigen cair sebagai oksidator. Sementara pada Saturn V, terinspirasi dari gagasan Eduardovich, von Braun menggunakan hidrogen cair serta oksigen cair--lengkap dengan motor roket super canggih yang dapat menginjeksi bahan bakar dan oksidator dalam kuantitas dan pembabakan waktu super presisi.
Berjarak lebih dari lima dekade usai Saturn V meluncur membawa Neil A. Armstrong, Michael Collins, dan Edwin E. Aldrin Jr. ke Bulan, baik roket buatan SpaceX, Virgin Galactic, dan Blue Origin masih tetap memanfaatkan propelan. Falcon 9 dari SpaceX, misalnya, memanfaatkan minyak tanah (kerosene).
Terbang Merusak Lingkungan
Dalam laporan Katharine Gammon untuk The Guardian, beraneka ragam bahan bakar yang dipakai untuk meluncurkan roket memancarkan berbagai zat ke atmosfer, semisal karbon dioksida, air, klorin, nitrogen oksida, dan bahan kimia lain.
Berbeda dengan pesawat komersial, knalpot roket melepaskan berbagai zat tersebut ke stratosfer (12 km-50 km) dan mesosfer (50 km-85 km). Zat-zat itu dapat bertahan setidaknya selama dua hingga tiga tahun. Dan, karena roket menghasilkan temperatur yang sangat tinggi ketika peluncuran serta tatkala masuk kembali ke atmosfer, itu mengubah nitrogen stabil di udara menjadi nitrogen oksida reaktif.
Dalam sekali peluncuran, rata-rata roket mengeluarkan 200 hingga 300 ton "asap knalpot" atau "soot" yang membuat, seperti dipaparkan Martin Ross dalam artikel berjudul "Potential Climate Impact of Black Carbon Emitted by Rockets" (Geophysical Research Letters Vol. 37 2010), lapisan ozon rusak serta mengakibatkan peningkatan suhu di Antartika hingga 1 derajat Celcius. Faktanya ini lebih parah bahkan bila dibandingkan dengan emisi yang dikeluarkan pesawat komersial, yang hanya mengeluarkan asap sejumlah tiga ton per penumpang.
Dengan demikian, tanpa memikirkan cara termutakhir nan ramah lingkungan menerbangkan roket, usaha Musk, Bezos, dan Branson menerbangkan manusia ke luar angkasa, bahkan ke Mars, harus dilalui dengan cara merusak Bumi.
Ironis, tentu saja.
Editor: Rio Apinino