Menuju konten utama

Kisah Roket dan Bagaimana Kaum Kaya Mencari Cuan di Angkasa

Sebagaimana dikisahkan film Elysium (2013), jika bumi hancur dihantam asteroid atau terpercik radiasi matahari, hanya orang-orang kaya yang selamat.

Kisah Roket dan Bagaimana Kaum Kaya Mencari Cuan di Angkasa
Ilustrasi Roket. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Wernher von Braun lahir pada 23 Maret 1912. Ayahnya adalah Menteri Pertanian Republik Weimar, keturunan Raja Philip III. Sementara ibunya keturunan Raja Edward III. Sejak kecil dia jatuh hati pada roket. Saat usianya baru 12 tahun, von Braun melakukan eksperimen membuat roket kecil-kecilan dari serbuk mesiu yang dia pasangkan pada gokar. Mobil mainan itu akhirnya melaju layaknya mobil sungguhan. Akibatnya, gokar itu menghancurkan sejumlah pekarangan rumah tetangganya. Mengutip sebuah pepatah di dunia roket, "it's rocket science"--roket memang sukar dikendalikan.

Magnus von Braun, ayahnya yang berstatus sosial tinggi, tak terima dengan perilaku anaknya yang merusak. Ia pun menghentikan eksperimen tersebut dan membelikan teleskop sebagai penggantinya. Namun, karena akhirnya sang anak terus-terusan menatap langit melalui teleskop, muncul hasrat dalam diri von Braun kecil untuk menjelajah luar angkasa menggunakan roket.

Lewat buku Die Rakete zu den Planetenraumen (The Rocket into Planetary Space) karangan profesor matematika asal Transilvania bernama Herman Obert, von Braun sadar bahwa roket memang sangat mungkin digunakan untuk menggapai langit. Hal ini merujuk pada Hukum Gerak Ketiga (Third Law of Motion) Isaac Newton. Roket dapat membebaskan manusia dari gravitasi jika gaya yang dimilikinya lebih tinggi dan diarahkan berlawanan dari gravitasi.

Ketika teman-teman sebayanya sibuk bermain kelereng atau layangan, von Braun justru bertekad menciptakan roket yang dapat membawa manusia ke langit, ke luar angkasa. Sebelum berusia 20 tahun, ia bergabung menjadi anggota Society for Space Travel--perkumpulan peminat roket di kalangan sipil--sambil belajar tentang seluk-beluk roket di University of Berlin. Pada usai 20 tahun, von Braun sukses menciptakan Mirak alias Minimum Rocket. Namun nahas, bukannya terbang menuju angkasa, roket buatannya justru meledak ketika tombol "go" ia tekan.

Saat angan-angannya menjelajah luar angkasa melalui Mirak kandas tak berbekas, Walter Dornberger, salah satu petinggi militer Jerman yang mengepalai divisi penelitian penciptaan roket, tertarik dengan tekad yang ditunjukkannya. Dornberger mengajak von Braun bergabung untuk membuat roket bersamanya, tetapi bukan untuk menjelajah bulan atau Mars, melainkan untuk membawa hulu ledak ke wilayah musuh.

Bagi von Braun, meskipun diajak menciptakan roket sebagai senjata, tetapi bergabung dengan divisi roket militer merupakan kesempatan untuk menggapai angan-angan menuju langit. Tahun 1933, berbarengan dengan berkuasanya Hitler, ia berhasil merilis roket A-1.

Lagi-lagi nahas. Sebagaimana Mirak, A-1 juga juga meledak usai tombol "go" ditekan. Belajar dari dua kesalahan, tiga tahun berselang von Braun berhasil membuat roket A-2. Roket ini tak meledak dan dapat terbang sejauh 2 kilometer. Tak berselang lama, daya jelajah yang sangat minim dari A-2 ia lipat gandakan melalui A-3. Kemudian ketika roket A-4 alias V2 berhasil dibuat pada akhir 1944, Nazi Jerman memiliki kemampuan melontarkan 1 ton hulu ledak sejauh 257 kilometer ke area musuh. Pencapaian ini selain membuat Jerman ditakuti Sekutu, juga dianggap mendekatkan cita-cita menjelajah angkasa bagi von Braun.

Kesuksesan V2 membuat Hitler menyukainya. Bagi Hitler, sebagaimana dipaparkan Deborah Cadbury dalam Space Race: The Epic Battle Between America and the Soviet Union for Dominion of Space (2007), roket tersebut dapat merealisasikan keinginannya menguasai Eropa dan menguasai dunia. Hitler berpikir, keinginan tersebut akan lebih mudah tercapai jika V2 tidak hanya dapat membawa 1 ton hulu ledak, tetapi 10 ton. Angan-angan ini menjadi titah bagi von Braun, yakni memodifikasi V2.

Ketika V2 dikembangkan sejak akhir 1944, Nazi Jerman terdesak oleh pasukan Sekutu di Barat dan Uni Soviet di Timur. Dan mereka kian terdesak mulai pertengahan musim dingin 1945. Sekutu dan Soviet berhasil merangsek ke jantung pertahanan Jerman, termasuk ke Peenemunde--tempat von Braun bekerja membuat roket. Hal ini akhirnya membuat von Braun menyerah kepada Sekutu, tapi tidak soal pengembangan V2.

Keputusannya ini--dibantu oleh Mayor Robert Staver dari militer AS--melabuhkan von Braun beserta anak buahnya dan segala riset tentang roket ke tanah Amerika. Dan 24 tahun kemudian, ia berhasil merealisasikan mimpinya menjelajah luar angkasa melalui roket buatannya pada 20 Juli 1969. Saturn V, roket yang dibuat von Braun dan sebetulnya dirancang untuk sampai ke Mars, berhasil mendaratkan Neil Amstrong dan Buzz Aldrin di bulan.

"Andai kesuksesan Gagarin mengorbit bumi berdampak pada pikiran setiap manusia di manapun berada, [maka menginjakkan kaki di bulan] adalah cara bagi kita untuk menunjukkan bahwa ada jalur lain di dunia ini, yakni demokrasi alih-alih tirani," ucap Presiden J. F. Kennedy jauh sebelum AS berhasil mendarat di bulan. Ia mencoba menampar Soviet.

Sebelum Mayor Stover membawa von Braun ke AS, Kremlin sebetulnya memerintahkan pasukannya untuk menangkap dan membawa von Braun ke Uni Soviet. Selain itu, karena hanya bermaksud mengalahkan Soviet, penjelajahan angkasa benar-benar terhenti pada 1972 dan sejak itu AS hanya berkutat di sekitaran orbit bumi terkait misi pengiriman manusia.

Meskipun roket buatannya berhasil membawa manusia hingga ke bulan, namun penjelajahan luar angkasa ala Star Wars atau Star Trek yang diinginkan von Braun tak tercapai. Hingga kemudian Elon Musk, Jeff Bezos, dan Richard Branson berhasil memantik harapan hal itu mungkin tercapai.

The Billionaire's Rocket

Berjudi ribuan dolar saban minggu di kasino-kasino yang bertebaran di Las Vegas, Amerika Serikat, menjadi kebiasaan Andy Beal pengusaha real estate yang kaya raya. Menurut Christian Davenport dalam The Space Barons: Elon Musk, Jeff Bezos, and the Quest to Colonize the Cosmos (2018), kebiasaan ini dilakukan Beal demi terhindar dari stres atas perjudian terbesar dalam hidupnya: roket.

Beal lahir pada 29 November 1952 di Michigan. Ibunya pegawai negeri sipil, sementara ayahnya teknisi mesin. Sejak kecil ia gemar soal matematika. Secara praktis, kecintaan pada hitung-hitungan diterjemahkan Beal dengan berbisnis sejak kecil, terutama dengan membeli benda-benda elektronik bekas yang rusak untuk diperbaiki dan dijual kembali. Perlahan, dari jual beli barang bekas tersebut, saat ia menginjak usia ke-19, Beal berhasil membeli rumah untuk disewakan. Hal ini mendorongnya untuk berbisnis properti hingga menjadi triliuner real estate.

Di sisi lain, kecintaannya pada hitung-hitungan membuat ia menempa diri memahami matematika, bukan dari bangku kuliahan di Michigan University yang ditinggalkannya, tetapi dari teman-temannya di American Mathematical Society. Kecintaan ini akhirnya menggiring Beal menciptakan "Beal Conjecture", tebak-tebakan matematis turunan dari Fermat's Last Theorem (Teorema Terakhir Fermat) yang ia hadiahi $1 juta bagi siapapun yang berhasil memecahkan tebak-tebakan ini. Pada 1997 ia juga mendirikan Beal Aerospace, perusahaan yang bergerak di bidang penciptaan roket.

Sebagai pengusaha yang gemar hitung-hitungan, niat Beal menciptakan roket tak memiliki akar yang serupa dengan Wernher von Braun. Sejak dekade 1990-an, Beal tersadar bahwa National Aeronautics and Space Administration (NASA) sudah kehilangan hasrat melakukan penjelajahan antariksa dengan tidak ditemukannya program-program penjelajahan manusia ke bulan atau planet lain. Di sisi lain, NASA menggelontorkan ratusan juta dolar untuk mengembangkan roket. Ironisnya, uang tersebut hanya berlabuh ke dua perusahaan, Lockheed Martin dan Boeing. Lebih ironis lagi, tidak ada roket serupa Saturn V yang dihasilkan Boeing ataupun Lockheed Martin.

Bagi Beal, hilangnya hasrat NASA menjelajah angkasa yang dibarengi dengan gelontoran ratusan juta dolar ke Lockheed Martin dan Boeing memiliki satu kesimpulan: NASA bisa "diporoti" untuk menghasilkan uang. Maka itu, Beal memberanikan diri mengembangkan roket. Untuk memperoleh cuan dari NASA, ia bertekad membuat roket yang jauh lebih canggih, tetapi lebih murah.

Sejak akhir 1990-an, bertempat di lahan bekas ujicoba artileri militer AS di Texas, dan dibantu mantan teknisi Lockheed Martin dan Boeing yang ia bajak, Beal melakukan serangkaian penelitian serta ujicoba roket buatannya. Menginjak tahun 2000, roket yang dibuat Beal berhasil diluncurkan. Namun, keberhasilan roket buatannya tak dibarengi dengan bertambahnya pundi-pundi uang dari NASA. Musababnya, kala itu NASA memang tidak pernah berniat memberikan kontrak pembuatan roket ke perusahaan selain Lockheed Martin dan Boeing. Hal ini akhirnya digugat Beal ke Kongres AS.

"Tolong, jangan buang-buang uang ke perusahaan-perusahaan itu. Dengan memberikan kontrak ke Lockheed Martin dan Boeing, NASA mungkin berhasil menciptakan lapangan kerja, tetapi NASA tidak akan pernah memiliki roket bertenaga nan murah," ungkapnya.

Dari gugatan itu, Paman Sam akhirnya tersadar telah membuat kesalahan. Maka, tak berselang lama dari gugatan yang dilayangkan Beal, NASA merilis "Space Launch Initiative", program untuk memberikan kesempatan bagi perusahaan manapun memperoleh kontrak dari NASA. Sialnya, di saat program dari NASA itu keluar, Beal telah kehilangan duit ratusan juta dolar atas nafsunya mengembangkan roket dan memilih menutup perusahaannya pada Oktober 2000.

Dari sekitaran lahan di Texas yang ditinggalkan Beal, kemudian muncul nama Elon Musk, Jeff Bezos, dan Richard Branson. Mereka hendak melanjutkan usaha Beal membuat roket yang bertenaga dan murah meriah.

Infografik Roket Bezos

Infografik Roket Bezos. tirto.id/Quita

Entah film apa yang ditonton Elon Musk. Dia ketakutan seandainya bumi dihantam asteroid ataupun terbakar radiasi matahari yang membuat manusia punah seperti yang menimpa dinosaurus. Dari ketakutannya ini, sebagaimana dipaparkan Eric Berger dalam Liftoff: Elon Musk and the Desperate Early Days that Launched SpaceX (2021), suatu hari pada awal 2002, tebersit "The Solution" dalam benaknya: pergi meninggalkan bumi menggunakan roket dan bertransformasi menjadi makhluk ekstraterestrial (multi-planet).

Awalnya, Musk menganggap "The Solution" hanya sebatas candaan. Seandainya dia membuat roket yang dapat mengangkasa ke planet lain, Musk membutuhkan biaya yang teramat besar, tak cukup merogoh kocek pribadinya. Namun, temannya yang bernama Adeo Ressi meyakinkannya bahwa pembuatan roket menuju planet lain tak akan menghabiskan uang terlalu besar. Akhirnya candaan ini berubah menjadi tindakan nyata.

Tak hanya Musk yang ketakutan manusia punah dihantam asteroid ataupun radiasi matahari. Jeff Bezos yang kaya raya karena Amazon pun memikirkannya. Namun, ketakutan Bezos akan punahnya manusia karena asteroid/radiasi tak semenakutkan kekhawatirannya pada NASA, lembaga yang ia klaim, "satu-satunya yang mungkin berhasil menginspirasi jutaan orang di dunia."

Kembali merujuk tulisan Christian Davenport, setelah berhasil dengan program Apollo, bagi Bezos, NASA seperti kehilangan bahan bakar. Ini sangat mengkhawatirkannya. Dengan muramnya NASA, mimpi umat manusia menjelajah luar angkasa ikut muram. Maka itu, berkat dorongan temannya bernama Neal Stephenson, Bezos pun bertekad menciptakan roket.

Dari dua orang super kaya raya inilah SpaceX dan Blue Origin--perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan roket--berdiri. Kemudian, dengan alasan yang mirip, Paul Allen, yang bersama-sama Bill Gates mendirikan Microsoft, mendirikan SpaceShipOne (untuk kemudian dilanjutkan oleh Richard Branson melalui Virgin Galactic). Satu dekade kemudian, perusahaan-perusahaan swasta ini berhasil merilis Falcon, New Shepard, dan VSS Unity sebagai roket--atau khusus untuk VSS Unity: pesawat luar angkasa bertenaga roket--yang sukses meluncur ke luar angkasa.

Tentu latar belakang pendirian SpaceX, Blue Origin, ataupun SpaceShipOne (Virgin Galactic) yang terlihat gagah nan bijaksana itu tak bisa dipercaya begitu saja. Sebagaimana kisah Andy Beal, luar angkasa memang menjanjikan pundi-pundi melimpah. Paling tidak, meskipun Blue Origin dan Virgin Galactic belum merasakannya, SpaceX telah membuktikannya. Semenjak didirikan Musk pada 2002, SpaceX bertransformasi menjadi salah satu perusahaan paling menjanjikan di dunia. Usai berhasil meluncurkan Falcon 1 pada 24 Maret 2006 dari kawasan Kwajalein di Pasifik, 100 kontrak peluncuran satelit milik berbagai negara dan perusahaan swasta--termasuk satelit Merah Putih atau Telkom-4 milik Telkom Indonesia--berhasil dikantongi Musk.

Merujuk laman resminya, SpaceX menyebut bahwa biaya peluncuran roket-roket miliknya berkisar antara $62 juta hingga $90 juta. Artinya, dengan 100 kontrak yang telah dikantongi, Musk sukses mengamankan duit senilai $6,2 miliar hingga $9 miliar. Pendapatan ini kian berlipat ganda ketika kontrak yang diperoleh dari NASA ditautkan. Dan pendapatan tersebut akan kian membesar jika wisata luar angkasa berhasil dibuka.

Akhirnya, dari tangan Musk, Bezos, dan Branson, hasrat manusia menjelajah luar angkasa seperti yang dicita-citakan Wernher von Braun sangat mungkin terjadi. Tentu dengan ongkos super tinggi yang mereka terapkan. Artinya, seandainya bumi benar-benar hancur dihantam asteroid atau terpercik radiasi matahari, sebagaimana dikisahkan Neill Blomkamp dalam film Elysium (2013), hanya orang-orang kaya yang berhasil selamat.

Baca juga artikel terkait SPACEX atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi