Menuju konten utama

Tak Puas Privatisasi Bumi, Kaum Kaya Ingin Borong Ruang Angkasa

Triliuner seperti Elon Musk lebih menonjol perannya dalam aktivitas ruang angkasa beberapa tahun terakhir.

Tak Puas Privatisasi Bumi, Kaum Kaya Ingin Borong Ruang Angkasa
Ilustrasi astronot di Bulan. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - “Ini adalah satu langkah kecil bagi seorang manusia,” ucap Neil Armstrong lewat saluran radio pada 20 Juli 1969, “tetapi satu lompatan raksasa bagi umat manusia.”

Pernyataan itu ia ucapkan sesaat setelah ia menuruni tangga Eagle dan menapakkan kakinya di bulan.

Bertahun-tahun selepas itu, pernyataan Armstrong disangsikan—benarkah perjalanan ruang angkasa baik adanya untuk umat manusia hari ini, pada abad ke-21? Setidaknya, itulah yang disampaikan oleh Victor L. Shammas dan Victor B. Holen (2019) dalam sebuah artikel yang dimuat di jurnal Nature.

“Ruang angkasa tidak akan menjadi tempat bagi lompatan raksasa umat manusia (mankind), tetapi ruang angkasa akan menjadi tempat bagi lompatan raksasa para pemilik modal (capitalistkind),” tulis Shammas dan Holen dalam esai yang menjelaskan bahwa misi eksplorasi ruang angkasa saat ini sudah berbeda dibandingkan pada abad sebelumnya.

Hasil dari upaya penerbangan roket, pengorbitan satelit, eksplorasi, eksploitasi dan kolonisasi ruang angkasa tidak akan menjadi milik umat manusia, tetapi menjadi milik para pemodal yang seolah-olah mewakili seluruh umat manusia.

Shammas dan Holen menyebut periode eksplorasi ruang angkasa saat ini sebagai New Space, yaitu aktivitas ruang angkasa yang dijalankan oleh pihak pengusaha swasta dengan tujuan mencari laba sebesar-besarnyan dan mencegah intervensi negara sekecil-kecilnya. Itu berlawanan dengan Old Space yang proyek ruang angkasanya didominasi oleh kekuatan negara, terutama di masa Perang Dingin.

Perkiraan itu bukan tanpa dasar. Para pebisnis dan triliuner seperti Elon Musk memang lebih menonjol perannya dalam aktivitas ruang angkasa beberapa tahun terakhir. Data pelacak satelit Celestrak Februari silam menunjukkan bahwa sekitar 27 persen satelit yang aktif mengitari orbit bumi dimiliki oleh salah satu orang paling kaya di dunia tersebut.

Sejak 2006, perusahaan SpaceX milik Musk memang telah digaet oleh NASA untuk menjalankan misi ruang angkasa. Bahkan, pada 2020 untuk pertama kalinya NASA menyerahkan tanggung jawab penerbangan dua astronautnya kepada perusahaan tersebut. Lebih menarik lagi, menjelang akhir 2021 nanti, untuk pertama kalinya dalam sejarah antariksa sebuah roket yang mengangkut tim beranggotakan warga sipil akan dikirimkan ke ruang angkasa. Roket itu akan diluncurkan melalui misi SpaceX yang didanai oleh miliarder James Isaacman. Empat orang warga sipil yang akan diangkut di antaranya Isaacman sendiri, petugas kesehatan, pemenang undian dan pemenang kompetisi. Meskipun disebut sebagai proyek amal, tetapi rencana ini menjadi semacam penegas bahwa aktivitas ruang angkasa tidak hanya milik negara, tetapi siapa saja saja yang mempunyai akses dan sumber daya.

Bukan hanya Musk dan SpaceX-nya, kawan-kawan miliardernya juga telah terlibat dalam perlombaan baru di ruang angkasa: Richard Branson dengan Virgin Galactic atau Jeff Bezos dengan Blue Origin. Branson berambisi membuatproyek wisata ruang angkasa, sementara Bezos bermimpi menyiapkan koloni manusia di stasiun antariksa. Masuknya pihak swasta ke sektor ini membawa banyak perubahan, sekaligus kegamangan, dalam aktivitas ruang angkasa saat ini.

Masuknya Swasta ke dalam Aktivitas Ruang Angkasa

Dalam sebuah studi yang dipublikasikan di Proceedings of the International Astronautical Congress (2013), Gomez dkk. menyebutkan sebetulnya pihak swasta telah terlibat dalam proyek antariksa sejak Amerika Serikat dan Uni Soviet bersaing di masa Perang Dingin. Bedanya, selama kurun waktu itu, hanya beberapa perusahaan elit saja yang bekerja sama dengan negara, di antaranya: Boeing, Lockheed Martin, MacDonald Dettwiler, Hughes Aircraft Company, Raytheon dan lain-lain. Perbedaan lainnya adalah negara tetap dominan dalam mengatur segala aktivitas antariksa.

Menjelang tahun 2000-an, kondisi itu berubah. Perusahaan-perusahaan baru yang bergerak di bidang antariksa mulai bermunculan, di antaranya SpaceX, XCOR, Blue Origin, Virgin Galactic dan lain-lain.

Kemunculan perusahaan New Space ini menandakan perubahan dalam dunia antariksa. Perusahaan-perusahaan baru ini ternyata mampu menjalankan misi ruang angkasa yang sebelumnya hanya dipegang negara.

Pada 2009, sebagai contoh, SpaceX berhasil mengorbitkan satelit komersial RazakSAT dari Malaysia melalui roket Falcon 1. Menurut Science Focus, selepas peluncuran itu ada satu hal yang tidak pernah terjadi dalam sejarah antariksa: dirilisnya harga peluncuran roket oleh perusahaan.

Ini adalah salah satu tonggak swastanisasi aktivitas antariksa, yang kemudian diikuti business plan, kalkulasi untung rugi, proposal investasi untuk area yang sebelumnya belum mereka jamah: ruang angkasa. Misi ruang angkasa tidak lagi sebatas bertujuan pengembangan sains atau pertahanan.

Peran Negara

Negara tentu ikut berperan dalam privatisasi ruang angkasa. Sejak awal, aktivitas ruang angkasa yang dijalankan swasta memang mendapatkan suntikan dana kemitraan dari negara. Pada 2006, misalnya, pemerintah Amerika Serikat menawarkan kontrak seharga USD278.000.000 kepada SpaceX sebagai bagian dari program Commercial Orbital Transportation Services. Program pengangkutan kargo ke International Space Station (ISS).

Selanjutnya, pada 2010 pemerintahan Obama mengesahkan kebijakan National Space Policy yang tujuannya memberi rangsangan untuk sektor swasta di industri antariksa. Pada tahun yang sama, NASA menggelontorkan dana sebanyak $ 50.000.000 untuk lima perusahaan: Blue Origin, Boeing, Paragon, Sierre Nevada dan United Launch. Dana terus mengalir untuk sektor swasta di tahun-tahun berikutnya.

Melalui kemitraan dan pendanaan seperti itu, swasta pelan-pelan memiliki akses dan kontrol yang semakin besar terhadap aktivitas ruang angkasa. Sebagaimana diberitakan The Washington Post (25/02/2021), beberapa tahun terakhir misi pengangkutan kargo dan personil ke ISS sudah dialihkan ke pihak swasta. NASA sendiri menyadari ada perubahan peran akibat relasi yang dijalinnya dengan swasta.

“Ke depannya, pemerintah akan lebih banyak menjalankan peran yang sifatnya tidak langsung, seperti menjadi penyokong penelitian dan pengembangan, pembeli pertama atau penyewa utama untuk barang dan jasa ruang angkasa, pembuat aturan sebagaimana diperlukan untuk keselamatan publik atau alasan keamanan nasional, serta untuk memenuhi kewajiban internasional,” tertulis dalam laporan NASA tahun 2020.

'Guna-Guna' Kaum Kaya

Mapannya posisi swasta dalam aktivitas ruang angkasa ditegaskan oleh pemilik SpaceX. Pada tahun 2016, Elon Musk mengklaim bahwa perusahaannya akan segera melakukan kolonisasi Mars dalam satu dekade mendatang.

Klaim itu menimbulkan kegamangan, sebab Musk membayangkan Mars sebagai area kosong yang bisa dikuasai bisnisnya. Elon Musk menyebut koloni manusia yang tinggal di Planet Merah akan menjalankan pengaturan kehidupan dengan prinsip “self-governing” yang diatur oleh perusahaannya.

“Tidak ada pemerintahan di bumi yang memiliki kewenangan dan kedaulatan atas segala aktivitas yang dilakukan di Mars,” tulis Musk dalam Terms of Service proyek Starlink yang diinisiasi perusahaannya.

Gagasan serupa diungkapkan oleh miliarder lain Rick Tumlinson, pemilik Deep Space Industries, melalui organisasi Earthlight Foundation. Organisasi itu mengeluarkan manifesto aktivitas ruang angkasa masa kini.

“Adalah hak yang tidak dapat dicabut dari semua manusia (dan makhluk hidup) untuk pergi ke tempat mana pun di alam semesta; melakukan apa pun yang mereka pilih, menggunakan sumber daya apa pun yang mungkin mereka temukan; memiliki tanah atau ruang di atau di mana mereka tinggal,” tulis Earthlight Foundation di laman deklarasinya.

Dr. Bloddy Bowen, seorang pakar kebijakan ruang angkasa, khawatir jika kolonisasi yang dibayangkan oleh miliarder seperti Musk akan menciptakan kekuasaan otoriter baru di luar bumi.

“Digunakannya istilah 'koloni' dalam mendeskripsikan potensi masa depan manusia di ruang angkasa harusnyamembunyikan alarm politik dan moral mengingat situasi global 500 tahun terakhir. Akankah para miliarder menjalankan 'koloni' mereka seperti cara mereka menjalankan pabrik dan memperlakukan warganya seperti mereka memperlakukan karyawan dengan gaji paling rendah? Akankah para dewan eksekutif di Mars mengekang dengan kekuasaan otoriter CEO seperti yang mereka lakukan saat menjalankan perusahaannya di bumi?” tulis Bowen di Space Watch.

Kekhawatiran lain diungkapkan oleh Sinéad O’Sullivan, seorang peneliti di bidang ekonomi ruang angkasa. Dalam sebuah artikel yang dimuat di Space News, O’Sullivan mencontohkan kejadian pada awal 2018 saat perusahaan Swarm Technologies tidak mendapat izin penerbangan satelit oleh U.S. Federal Communications Commission (FCC). Tetapi, perusahaan tersebut membandel dan tetap menerbangkan satelit melalui roket India.

O’Sullivan khawatir kejadian seperti ini akan kerap terjadi dalam proyek antariksa swasta. Berbeda dengan negara, perusahaan bertanggungjawab kepada investor dan pemegang saham. Menurutnya, tekanan investor akan menuntut perusahaan untuk bekerja dengan cepat, dan itu bisa mengancam proyek antariksa seperti yang terjadi pada Swarm.

“Swarm mungkin mendapat tekanan dari investor untuk meluncurkan satelit secepat mungkin; membatalkan peluncuran kemungkinan akan memberi tekanan kepada perusahaan saat menghimpun sumber pendanaan baru di lain waktu, atau menghancurkan kemampuan untuk melakukannya sama sekali,” tulis O’Sullivan.

Para ahli menilai kekhawatiran terhadap munculnya masalah-masalah seperti itu belum bisa diatasi mengingat belum ada regulasi yang ketat mengatur itu. Meskipun, sebenarnya aturan tentang aktivitas ruang angkasa telah ada dalam Traktat Ruang Angkasa 1967 (Outer Space Treate of 1967).

Perjanjian internasional itu menyatakan tidak ada pihak (negara) yang bisa mengklaim kepemilikan benda-benda ruang angkasa (celestial bodies). Menurut perjanjian itu, pihak-pihak yang menjelajahi ruang angkasa bisa mengekstrak sumber daya di ruang angkasa, tetapi pemanfaatannya harus berguna bagi umat manusia di bumi, bukan untuk kepentingan pihak (negara) tertentu.

Masalah muncul ketika traktat tidak mengatur aktivitas ruang angkasa pihak swasta, mengingat pada 1967 belum ada perusahaan yang berencana pergi ke Bulan.

Para pakar merasa saat ini ada urgensi untuk menciptakan regulasi tentang aktivitas antariksa yang dijalankan swasta, salah satu tujuannya agar pebisnis seperti Musk tidak ugal-ugalan di atas langit.

Infografik Pengusaha penguasa ruang angkasa

Infografik Pengusaha/penguasa ruang angkasa. tirto.id/Fuad

Upaya Mengatur Aktivitas Swasta di Angkasa

Menurut artikel yang dimuat di Voelkerrechtsblog, sebuah laman ilmiah untuk masalah hukum internasional, Elon Musk dan miliarder lain tidak boleh menyatakan ‘kedaulatan’ di ruang angkasa, sebab tidak seperti bayangan Musk, ruang angkasa masih terjamah hukum internasional.

Berdasarkan artikel tersebut, wilayah Mars didefinisikan sebagai res communis bukan terra nulius. Secara sederhana berarti Mars adalah milik umat manusia, dan tidak bisa diklaim kepemilikannya oleh satu kelompok tertentu. Jadi, meskipun SpaceX bukan entitas negara seperti yang disebutkan aturan Traktat Ruang Angkasa 1967, SpaceX tetap tidak bisa melakukan okupasi dan menciptakan kedaulatan sendiri di Mars. Upaya okupasi suatu wilayah hanya dapat dilakukan di wilayah terra nulius. Artikel itu juga menyebutkan bahwa bagaimana pun perusahaan seperti SpaceX bisa beroperasi melalui proses otorisasi dari negara.

“SpaceX bertindak dengan otorisasi AS, dan aktivitasnya di ruang angkasa yang berasal dari otorisasi tersebut dianggap berasal dari AS,” tulis artikel tersebut.

Sumber lain menyebutkan sebenarnya aktivitas swasta masih bisa diatur menggunakan Pasal VI dari OST 1967.

“Pasal VI Traktat Ruang Angkasa 1967 (OST) menyatakan bahwa negara harus mengatur perizinan kegiatan ruangangkasa yang dilakukan oleh warga negaranya (entitas publik, entitas komersial-swasta, organisasi nirlaba). Negara harus terus menerus mengawasi kegiatan ini dan memastikan bahwa kegiatan tersebut sejalan dengan ketentuan OST dan hukum internasional umum,” dikutip dari Space Legal Issues.

Masalahnya, aturan ini dinilai tidak cukup relevan. Seperti yang diungkapkan oleh O’Sullivan sebelumnya, dalam contoh kasus penerbangan satelit ilegal oleh Swarm, ada pertanyaan yang muncul: jika terjadi kecelakaan, siapa yang bertanggung jawab? Amerika Serikat tidak bertanggung jawab secara langsung, sebab pemerintahnya tidak pernah menerbitkan izin bagi perusahaan. Begitu pun India yang terlibat dalam penerbangan itu. Kegamangan semacam ini hadir di celah-celah regulasi yang dianggap belum jelas.

Seperti yang dirangkum oleh The Regulatory Review, saat para miliarder melakukan ekspansi bisnisnya melampaui atmosfer bumi, para pakar telah menulis berbagai studi yang menunjukkan perlunya regulasi untuk mengatur aktivitas swasta di ruang angkasa.

Klaim Musk tentang vakumnya hukum dan aturan internasional memang sudah patah oleh traktat 1967. Namun, kini perjanjian itu dinilai ketinggalan zaman dan tidak mampu mengejar perkembangan swastanisasi ruang angkasa yang begitu pesat.

“Peraturan ruang angkasa yang ada tidak dapat mengimbangi pertumbuhan di sektor swasta, dan Amerika Serikat tidak memiliki regulasi yang komprehensif mengenai itu. Untuk mengantisipasi pertumbuhan industri ruang angkasa komersial, beberapa ahli dan cendekiawan menyerukan regulasi yang lebih tegas,” tulis artikel yang dimuat di laman The Regulatory Review.

Kosongnya regulasi yang ketat akan mengubah ruang angkasa menjadi arena kontestasi bisnis. “Tanpa aturan yang kuat, ruang angkasa bisa menjadi ‘Wild West’-nya abad 21,” tulis salah satu pakar yang dikutip The Regulatory Review.

Baca juga artikel terkait RUANG ANGKASA atau tulisan lainnya dari Mochammad Naufal

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Mochammad Naufal
Penulis: Mochammad Naufal
Editor: Windu Jusuf