tirto.id - Alkisah, di sebuah kota bernama Illinois di Amerika Serikat, lahirlah seorang pria bernama John Elon Haldeman pada 1872. Sesungguhnya, tidak ada yang istimewa dari Haldeman. Tak ada yang istimewa pula ketika ia memutuskan hijrah ke Minnesota dan membentuk keluarga dengan menikahi Almeda Jane Norman di usia muda.
Sebagai kisah biasa-biasa saja, dan sebagaimana sebuah keluarga menjadi keluarga, Haldeman kedatangan sosok baru: Joshua Norman Haldeman, sang anak. Mengikuti jejak ayahnya, Haldeman junior pun akhirnya menikah. Sayangnya, lagi-lagi, tidak ada yang istimewa dari Haldeman junior. Bahkan, sosok yang akhirnya memilih berkarir sebagai seorang kiropraktik, alias tukang pijat dengan pendekatan ilmiah, jatuh ke jurang kebangkrutan ketika depresi ekonomi melanda AS pada dekade 1930-an. Anak Haldeman junior, Scott Haldeman, mengaku secuil lahan pertanian yang dimiliki keluarga lenyap sejak ayahnya bangkrut. Sejak itu "ia tidak percaya pada bank". Maka, tak ingin hidup dari bayang-bayang kebangkrutan ayahnya dan ingin menjadi sosok istimewa, pada 1934, Scott Haldeman pergi meninggalkan orangtuanya. Ia memutuskan hijrah ke Kanada.
Tentu, ada perbedaan mencolok antara pendatang atau perantau dengan warga asli. Umumnya, sebagai seorang perantau, mereka tidak memiliki tempat tinggal (dari sisi kepemilikan), juga sanak keluarga dekat yang dapat dimintai tolong. Maka, untuk bertahan hidup, perantau umumnya bekerja lebih keras, guna membiayai kehidupan mereka yang "lebih mahal" dibandingkan warga asli.
Inilah yang dilakukan Scott Haldeman. Selain berprofesi sebagai tukang pijat kiropraktik--sama seperti ayahnya--Scott Haldeman juga bekerja sebagai tukang bangunan, merangkap sebagai penunggang rodeo untuk taman hiburan lokal.
Kerja keras akhirnya membuat Scott Haldeman memiliki rumah bertingkat dan kemudian menikahi Winnifred Josephine Fletcher pada 1948. Tak lama kemudian, keluarga ini dikaruniai putri kembar, Kaye dan Maye.
Hidup dengan keluarga lengkap dan sehat secara finansial saja rupanya tak cukup bagi Scott Haldeman. Maka, karena merasa moralitas Kanada merosot, Scott Haldeman memutuskan menjadi politikus. Ia juga membeli pesawat dan menerbangkannya untuk bersenang-senang bersama keluarga. Bahkan, bersama sang istri, Scott Haldeman mencurahkan petualangan mengangkasa mereka dalam buku berjudul The Flying Haldemans: Pity the Poor Private Pilot.
Tapi, karier politik Scott Haldeman. Tak ingin malu, Scott Haldeman menjual seluruh asetnya, kecuali pesawat. Dengan pesawat itu, keluarga Scott Haldeman berpetualang ke berbagai negara.
Pada akhir dekade 1950-an, Scott Haldeman memilih mengakhiri petualangannya di kota bernama Pretoria, di Afrika Selatan, yang jadi kediaman baru keluarganya. Di kota inilah petualangan dan keistimewaan yang jauh lebih hebat dibandingkan Scott Haldeman dimulai.
Tentu, bukan Scott Haldeman yang melakukannya, melainkan sang cucu yang mengambil secuil nama sang kakek buyut: Elon Musk.
Dari Afrika, Elon Musk "Menjajah" Amerika Serikat dan (Mungkin) Planet Mars
"Elon Musk sangat mencintai komputer, bahkan sebelum ada yang tahu apa itu komputer di tengah-tengah masyarakat Afrika Selatan," tulis Ashlee Vance dalam bukunya Elon Musk: Tesla, SpaceX, and the Quest for a Fantastc Future (2015). Lahir pada 1971 di Pretoria, Elon Musk tumbuh sebagai "orang asing", karena keluarganya kaya di tengah-tengah masyarakat Afrika Selatan yang masih memberlakukan apartheid. Di tengah ketegangan sosial itulah Musk muda jatuh hati pada komputer.
Musk kecil (10 tahun) melihat komputer untuk pertama kalinya di sebuah toko di dalam Sandton City Mall, Johannesburg. "Holy shit!" serunya saat melihat komputer bernama Commodore VIC-20. Menurut pengakuan Musk kepada Vance, sejak itu ia "memburu" sang ayah untuk mendapatkan komputer tersebut.
Tentu, mudah saja bagi sang ayah, Errol Musk, yang berprofesi sebagai pilot dan teknisi, untuk membelikan anaknya komputer. Maka, sejak memiliki komputer pertamanya, Musk langsung menghabiskan waktu untuk bermain-main dengan komputer. Tak hanya bermain video game, ia mempelajari komputer secara menyeluruh. Sayangnya, sang ayah mewanti-wanti Musk bahwa komputer "hanya permainan semata" dan "tidak dapat digunakan untuk melakukan kerja teknisi sesungguhnya".
Musk kecil hanya menjawab: "Terserah".
Musk kecil, sebagaimana Bill Gates kecil dan Mark Zuckerberg kecil, akhirnya menghabiskan waktunya untuk mempelajari BASIC, bahasa pemrograman yang lahir ke dunia komputer tujuh tahun sebelum Musk lahir ke dunia.
Bukan sesuatu yang terlalu sulit bagi Musk untuk mempelajari BASIC. Sebab, sebagaimana ditulis Vance, Musk adalah pribadi yang gemar membaca. Bahkan, Kimbal, saudara Musk, menyebut "bukanlah sesuatu yang aneh jika Musk menghabiskan waktu 10 jam tanpa henti setiap hari untuk membaca buku." Dan tatkala Musk "hilang", keluarganya tahu bahwa mereka dapat menemukan Musk di toko-toko buku yang ada di sekitaran Pretoria hingga Johannesburg. Beberapa buku favoritnya ialah seri The Lord of the Rings, buku-buku fiksi ilmiah karya Isaac Asimov, hingga novel-novel Robert Hainlein.
Suatu ketika Musk "kehabisan buku untuk dibaca" dan akhirnya membaca Ensiklopedia Britannica berulangkali.
Memiliki komputer dan gemar membaca buku akhirnya menggiring Musk kecil menciptakan program komputer pertamanya, sebuah video game. Di usia 12 tahun, ia menciptakan video game berjudul "Blastar" yang kemudian diedarkan oleh salah satu edisi PC and Office Technology. Menurutmajalah komputer Afrika Selatan itu, "Video game ini mengharuskan Anda menghancurkan kapal kargo luar angkasa milik alien yang membawa bom hidrogen". Tak ketinggalan, PC and Office Technology juga mengatakan video game yang diciptakan Musk "layak dimainkan".
Mengapa Musk menciptakan video game soal invasi alien? "Saya mungkin kebanyakan membaca komik. Dan di dalam komik, tampaknya setiap orang berusaha menyelamatkan dunia," akunya.
Suatu hari di usia belianya, masih merujuk laporan Vance, Musk menciptakan roket--dalam skala kecil, tentu saja. Dibantu komputer pribadinya, Musk meracik senyawa kimia ledaknya sendiri. "Sungguh luar biasa mengetahui bahwa banyak benda bisa meledak," ujarnya.
Tentu, sebagai anak muda yang "berbeda" di Afrika Selatan, Musk punya masalah khas anak muda dalam dirinya, krisis jati diri. Di saat krisis jati diri menghampiri Musk, ia beralih membaca buku-buku religius hingga filosofi, dan berakhir pada kutipan Douglas Adams dalan buku The Hitchhiker's Guide to Galaxy. "Salah satu hal yang paling sulit di dunia," tulis Adam dalam buku itu, "adalah mencari tahu pertanyaan apa yang harus diajukan". Dari kutipan itu, Musk kemudian memahami misi penting dalam hidupnya, yakni "berjuang untuk menghadirkan pencerahan kolektif."
Tak ada jawaban pasti apa yang dimaksud "pencerahan kolektif". Vance, masih dalam bukunya, menduga bahwa ini terkait dengan segregasi rasial di Afrika Selatan yang masih berlangsung tatkala Musk menghabiskan masa mudanya di negeri itu.
Rachel Jones, dalam laporannya untuk National Geographic, menyatakan segregasi rasial telah berlaku di Afrika Selatan sebelum abad ke-20. Bahkan, pada 1948, melalui Partai Nasional Afrika Selatan yang beranggotakan orang kulit putih dari penjajah Eropa, memunculkan Undang-Undang Wilayah yang membagi-bagi Afrika Selatan ke dalam zona-zona khusus berbasis ras. Sialnya, karena aturan tersebut dibuat oleh warga keturunan penjajah, hingga akhir 1950-an, 80 persen pemilik tanah di Afrika Selatan adalah orang kulit putih. Yang lebih mengerikan, orang-orang non-kulit putih wajib membawa dokumen khusus untuk melintas ke wilayah-wilayah yang hanya diperuntukkan bagi warga kulit putih, yang jumlahnya sangat besar.
Ketidakadilan rasial itu bukan isu zonasi semata, melainkan juga soal akses pendidikan, transportasi, sumber daya, hingga segala fasilitas publik lainnya. Sibonisile Tshabalala, salah seorang warga Afrika kulit hitam yang diwawancarai Jones, mengaku sekeras apa pun ia bekerja, "hasilnya tidak akan sama dengan orang-orang kulit putih".
Hingga 1989, Afrika Selatan adalah ladang kekerasan rasial. Kelas pekerja kulit hitam memberontak melawan tuan-tuan mereka, warga kulit putih. Negara yang dikuasai kulit putih melakukan perlawanan dengan senjata, melukai, dan membunuh warganya sendiri.
Musk mungkin mengira ketidakadilan di Afrika Selatan disebabkan oleh ketiadaan "pencerahan kolektif". Di banyak kesempatan, Musk selalu mengucapkan bahwa seharusnya "umat manusia memiliki masa depan yang cerah," terlepas dari perbedaan tiap orang.
Ketika usianya menginjak kepala dua, Musk hijrah ke AS, meninggalkan tanah yang tidak memiliki "kesadaran kolektif" menuju tanah leluhurnya.
Di sanalah ia menemukan peruntungannya. Usai mendirikan startup bernama Zip2, Musk menjadi pemilik saham terbesar PayPal, induk semua e-wallet yang ada saat ini di dunia digital. Ia pun kaya mendadak sejak PayPal dibeli eBay senilai $1,5 miliar. Dari uang yang dimilikinya, ia mendirikan SpaceX, menyuntikkan uang ke Tesla, dan bersama sepupunya, mendirikan SolarCity. tak ketinggalan, di tengah-tengah waktu luangnya, Musk mencurahkan ide bernama Hyperloop dan kemudian mendirikan perusahaan The Boring Company.
Jika dilihat dengan seksama, segala yang dilahirkan Musk dibuat untuk menghancurkan "eksistensi segala hal yang kuno". SpaceX ingin mencoba menghancurkan industri roket yang terlalu mahal dan tak ramah lingkungan. Dengan Tesla, Musk mencoba menghentikan kecanduan manusia pada bahan bakar fosil, disamping ingin merusak bisnis mobil dari Ford hingga Toyota. Melalui SolarCity, Musk ingin agar sumber energi sinar matahari digunakan rumah tangga. Melalui Hyperloop dan The Boring Company, Musk ingin merevolusi transportasi.
Bagi Musk, kembali ke pernyataan di atas, dengan menghadirkan perusahaan-perusahaan ini, ia ingin "menghadirkan masa depan yang cerah bagi umat manusia." Dan jika masa depan manusia tidak ada di Bumi, Musk siap menerbangkan manusia ke Mars.
Tapi, negeri yang dihuni Musk saat ini ada kesenjangan yang amat kental antara kulit putih dan kulit hitam, kaya dan miskin, dan penonton Fox News vs penonton CNN. Lebih disayangkan, melalui rekam jejaknya di AS, Musk seperti kehilangan semangatnya untuk menciptakan "kesadaran kolektif" yang ia rindukan pada pada masa mudanya.
Di negeri Paman Sam, Musk tidak ingin kehilangan kekayaannya. Di satu sisi, Musk bisa duduk semeja dengan Donald Trump. Di sisi lain, ia mengkritik Trump karena tidak percaya dengan perubahan iklim. Di satu sisi, Musk menyumbangkan uang senilai $40.000 pada acara yang digelar Partai Republikan. Di sisi lain, ia terang-terangan mendukung Andrew Yang dari Partai Demokrat untuk maju menjadi calon presiden. Tatkala pandemi Corona menghampiri AS, Musk pernah menekan pemerintah untuk sesegara mungkin membuka lockdown. Di sisi lain, ia sangat percaya bahwa SARS-CoV-2 sangat mematikan.
Tak ketinggalan, alih-alih menggaungkan "kesadaran kolektif," melalui akun Twitternya Musk lebih banyak berguyon, menghardik warga maya, yang tak jarang membuat perusahaannya jeblok di pasar modal. Suatu waktu, Musk pernah menampilkan foto tiga mobil Tesla: Seri S, Seri 3, dan Seri X atau "SEX." Di kesempatan terbaru, Musk membikin jajak pendapat: "Haruskan Tesla membuat robot kucing?" Pilhannya hanya dua, 'Absolutely' dan 'Of Course'."
Editor: Windu Jusuf