Menuju konten utama

Upaya Elon Musk Menyediakan Internet untuk Umat Manusia

SpaceX akan meluncurkan 60 micro satellite ke orbit bumi rendah. Elon Musk menambahkan bahwa Starlink bertujuan untuk “merevolusi satelit".

Upaya Elon Musk Menyediakan Internet untuk Umat Manusia
Satelit ruang angkasa dalam orbit. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Enam puluh satelit pertama Starlink SpaceX dimasukkan ke roket Falcon. Pas,” kicau Elon Musk, Pemimpin Eksekutif SpaceX dan Tesla melalui akun Twitter resminya, @elonmusk.

Starlink adalah proyek konstelasi satelit garapan SpaceX. Rencananya, hingga 2020 mendatang SpaceX akan meluncurkan sekitar 12.000 satelit ke orbit, tepatnya ke wilayah bernama Low Earth Orbit (LEO) atau Orbit Bumi Rendah, wilayah angkasa yang berada di rentang 300 km hingga 2.000 km di atas Bumi. Satu tugas mulai yang diemban: menyediakan koneksi internet ke segala penjuru Bumi.

Sebanyak 60 satelit pertama Starlink itu akan meluncur ke LEO dengan menunggangi roket Falcon 9 pada Rabu (15/5), langsung dari lapangan Cape Canaveral, Amerika Serikat.

Menurut rencana, SpaceX akan melakukan enam kali peluncuran tahun ini untuk sanggup menciptakan “selubung internet minor” di Bumi. Sementara itu, jika SpaceX telah melakukan 12 kali peluncuran, selubungnya akan berubah status menjadi “moderat”.

Upaya menghadirkan koneksi internet melalui satelit memang telah lama dilakukan. Misi satelit dengan kemampuan menghadirkan koneksi internet populer pada dekade 1990-an. Teledesic, satelit yang didanai Bill Gates, adalah salah satu contoh.

Setelah internet jadi kebutuhan pokok manusia, upaya ini semakin masif dilakukan, khususnya untuk melahirkan satelit yang mampu memberikan internet berkecepatan tinggi, setara dengan apa yang sukses diperbuat kabel optik. Salah satunya dengan melahirkan satelit High throughput. O. Vidal dalam studinya yang berjudul “Next generation High Throughput Satellite System” (2012) mengatakan bahwa melalui iPSTAR, WildBlue I hingga SpaceWay 3, satelit-satelit High throughput sanggup memberikan internet berkecepatan hingga 20 Gbps.

High Throughput pun melahirkan generasi barunya seperti Ka-Sat, Viasat-1, serta PSN VI. Satelit-satelit ini sanggup memberikan internet berkekuatan hingga 140 Gbps dan lebih ekonomis secara biaya.

Tapi, Elon Musk ingin memberikan hal yang lebih istimewa. Dalam sebuah wawancara, Musk mengatakan penciptaan Starlink bertujuan untuk “membangun sistem komunikasi komprehensif, yang mampu menghadirkan internet dengan kapasitas bandwidth besar dan latensi kecil di seluruh penjuru bumi.”

Bahkan, konstelasi satelit-satelit penyedia internet milik Musk direncanakan untuk lebih cepat dibandingkan koneksi berbasis kabel optik. Katanya, kecepatan cahaya meningkat 50 persen di dalam vakum daripada di fiber. Satelit Starlink, ingin meniru kerja vakum itu.

Musk pun menambahkan bahwa Starlink bertujuan untuk “merevolusi satelit, merevolusi angkasa luas,” seturut dengan usahanya melahirkan roket reusable (daur ulang).

Jika sukses, Starlink akan menjadi penghubung koneksi internet antara Bumi dan Mars.

Untuk mewujudkan mimpi Musk memberikan koneksi internet ke seluruh Bumi, SpaceX akan meluncurkan sekitar 12.000 satelit ke LEO, dengan dua tahap peluncuran. Pada tahap pertama, SpaceX akan meluncurkan sekitar 4.409 satelit. Pada tahap kedua, perusahaan itu akan meluncurkan 7.518 satelit.

Satelit yang diluncurkan bukanlah satelit biasa, melainkan berjenis micro satellite. Proyek yang diperkirakan memakan biaya hingga $10 miliar ini telah meluncurkan dua unit micro satellite uji coba pada Februari 2018 silam, yakni satelit bernama TinTin A dan TinTin B atau MicroSat-2A dan MicroSat-2B.

Tintin merupakan satelit berbentuk kotak dengan ukuran 1,1x0,7x0,7 meter. Pada satelitnya, SpaceX menanamkan flight computer, komponen sistem kelistrikan, panel surya selebar 2x8 meter, hingga komponen pengendali satelit. Selain itu, satelit juga dilengkapi dengan GPS receiver, broadband, telemetry, dan command receivers dan transmitters.

Pada 2018 lalu, dua satelit uji coba itu diluncurkan pada ketinggian 514 kilometer dari muka Bumi memanfaatkan Falcon 9 v1.2.

Sebelum MicroSat-2A dan 2B diluncurkan, menurut “Public Summary NOAA License for MicroSat 1 A/B Satellites” tertanggal 22 Oktober 2015, SpaceX tadinya hendak meluncurkan MicroSat-1A and MicroSat-1B. Sayangnya, dua satelit tersebut gagal diluncurkan.

Kegagalan MicroSat-1A and MicroSat-1B meluncur kemungkinan karena satelit itu menggunakan bahan yang kurang ramah lingkungan. Spectrum pernah melaporkan bahwa satelit tersebut memiliki kemungkinan 45 persen mencelakai manusia ketika jatuh tiap enam tahun. SpaceX kemudian berbenah, menyatakan bahwa rancangan barunya dapat langsung hancur ketika tertarik kembali masuk ke Bumi (re-entry).

Infografik Starlink

Infografik Starlink. tirto.id/Quita

“Tidak ada satu pun komponen yang dapat bertahan ketika proses re-entry terjadi,” kata SpaceX kala itu.

Tapi, selepas memperbaiki rancangan, apakah satelit-satelit Starlink tetap aman?

“Koneksi internet merupakan sesuatu yang hingga kini belum tersedia bagi tiap orang di dunia,” kata Mike Lindsay, perancang Misi OneWeb, sebuah inisiatif yang juga tengah berupaya menghadirkan internet ke seantero Bumi. “Setengah penduduk Bumi, kesulitan mengakses internet via kabel broadband,” lanjutnya.

Internet berbasis satelit jadi pilihan. Namun, Glenn Peterson, mekanik senior Aerospace Corporation, menyatakan perlu perhatian serius untuk menghadirkan internet via satelit. Pasalnya, hingga kini Bumi dikelilingi 2.000 satelit aktif dan 3.000 satelit mati. Sangat riskan untuk menghadirkan konstelasi satelit seperti yang dilakukan SpaceX.

Rata-rata satelit juga berumur panjang. Vanguard 1, satelit komunikasi kedua di dunia, misalnya, hingga kini masih melanglang buana di orbit. Padahal, satelit yang diluncurkan pada 1958 itu tak lagi bisa difungsikan enam tahun selepas diluncurkan.

Apalagi, satelit-satelit SpaceX berukuran seperti Tesla Model 3. Jika jatuh, selain mungkin melukai manusia (meskipun SpaceX telah memperbarui rancangannya), konstelasi ribuan satelit akan mengganggu komunikasi berbasis radio yang hingga kini masih digunakan manusia. Misalnya yang digunakan untuk memotret black hole atau lubang hitam beberapa waktu lalu.

“Gangguan frekuensi radio adalah salah satu yang dikhawatirkan terjadi,” ungkap Brian Weeden, direktur pada Secure World Foundation.

Baca juga artikel terkait INTERNET atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf