tirto.id - “Saya ingin menjadi seorang fisikawan teoritis,” tulis Jeff Bezos dalam bukunya Invent & Wander: The Collected Writings of Jeff Bezos (2020), “maka saya akhirnya memutuskan kuliah di Princeton. Di sana saya benar-benar menjadi mahasiswa baik, dengan nilai A+ di hampir setiap mata kuliah”.
Selama kuliah, paling tidak di tahun pertama, Jeff Bezos mengaku “telah berada di jalur terbaik untuk menjadi seorang fisikawan”. Sebagai mahasiswa cerdas, selain belajar seluk-beluk fisika, Bezos pun mengambil mata kuliah lain, yakni ilmu komputer dan teknik elektro. Bagi Bezos, petualangannya mencari ilmu “sangat menyenangkan”. Namun, yang menyenangkan akhirnya usai juga tatkala Bezos bertemu dengan makhluk bernama “persamaan diferensial parsial”, sebuah tugas yang diberikan dosennya. Usai tiga jam berusaha menyelesaikan PR tersebut tanpa hasil, Bezos meminta bantuan Yosanta alias Chamath Palihapitiya, pemuda tercerdas di Princeton yang berasal dari Sri Lanka (sedikit kisah tentang Yosanta dapat Anda baca di buku berjudul Facebook: The Inside Story karya Steven Levy).
"Saya menunjukkan PR persamaan diferensial parsial kepadanya dan dalam tempo singkat, Yosanta hanya berkata 'kosinus'," tutur Bezos. Bingung dengan tanggapan tersebut, Bezos menimpali, "apa maksudnya?" "Jawaban, kosinus adalah jawabannya," tegas Yosanta.
Yosanta lalu mencorat-coret tiga lembar kertas kosong dan menjelaskan secara detail tentang persamaan diferensial parsial. Bezos kaget. Dalam bukunya, ia mengaku "tidak akan menjadi fisikawan teoritis hebat". Dan usai PR persamaan diferensial parsial itu, Bezos mengaku "mulai mencari jati diri sesungguhnya", mencari apa yang sebetulnya ia ingin lakukan: jualan buku.
Keberuntungan dan Waktu yang Tepat?
Pada 12 Januari 1964, Jeffrey Preston Jorgensen lahir dari rahim seorang perempuan berusia 17 tahun yang masih duduk di bangku SMA bernama Jacklyn. Ayahnya, Ted, baru saja lulus SMA ketika Jorgensen lahir. Tak punya keahlian mumpuni, Ted bekerja sebagai pengayuh sepeda roda satu pada kelompok sirkus lokal, dengan penghasilan pas-pasan. Uang adalah masalah utama bagi pasangan yang memilih menikah di usai dini ini dan tinggal di kota Albuquerque, New Mexico, Amerika Serikat ini.
Tak tega melihat buruknya keuangan keluarga Ted dan Jacklyn, Lawrence Preston Gise, ayah kandung Jacklyn, menyanggupi membiayai kuliah Ted. Mengirimnya menimba ilmu di University of New Mexico. Berharap Ted (dan keluarga kecilnya) memiliki masa depan yang lebih baik. Sialnya, Ted memilih drop-out dan mencoba bergabung di Kepolisian New Mexico. Mertuanya tak terima dan Ted pun gagal menjadi polisi. Ketika bayi Ted dan Jacklyn berusia tiga tahun, Ted pergi tanpa kembali.
Usai ditinggal, Jacklyn melayangkan gugatan cerai. Dan tak lama usai surat perceraian diterima, ibu dari Jorgensen ini bertemu dengan Miguel Bezos, pengungsi asal Kuba yang akhirnya memperoleh pekerjaan sebagai teknisi minyak Exxon di Miami. Cinta pun bersemi. Mereka menikah pada suatu hari di bulan April 1968. Tak ketinggalan, Bezos pun memutuskan mengadopsi Jorgensen dan mengubah nama si anak dari Jeffrey Preston Jorgensen menjadi Jeff Bezos. Meskipun sang bapak adalah ayah angkat, Bezor junior mengakui Miquel sebagai "ayah sesungguhnya". Baginya, sebagaimana dikisahkan Brian Dumaine dalam buku Bezonomics: How Amazon Is Changing Our Lives and What the World's Best Companies Are Learning from It (2020), Bezos menyebut Miquel sebagai seorang ayah yang "hangat dan suportif kepada keluarga".
Meski demikian, masih dari Invent & Wander: The Collected Writings of Jeff Bezos (2020), Bezos mengenang lebih sering menghabiskan waktu bersama kakek. Dari usia 4 hingga 16 tahun, Bezos selalu bersama sang kakek di perdesaan New Mexico tiap liburan musim panas. Sang kakek mengajari Bezos cara hidup, untuk "belajar memperbaiki segala seuatu seorang diri". Tak tanggung-tanggung, agar sang cucunya mandiri, kakek Bezos membelikannya D6 Caterpillar bekas yang mati total. Buldozer seharga USD 5000 itu digunakan sang kakek untuk mengajari Bezos cara memperbaiki sesuatu.
Mungkin itulah asal usul kecerdasan Bezos. Bezos muda menimba ilmu pada Miami Palmetto Senior High. Dan dari sekolah menengah terbaik di Miami itu, Bezos berlabuh di salah satu universitas yang lagi-lagi terbaik, Princeton University. Sialnya, usai dibuat keok oleh persamaan diferensial parsial, Bezos tak berkarier sebagai seorang ilmuwan, melainkan menjadi analis finansial pada D.E. Shaw and Co., hedge fund ternama di New York yang didirikan oleh David Shaw.
Seandainya Bezos meneruskan karier sebagai analis pada hedge fund, sangat mungkin ia menjadi orang biasa-biasa saja, dan bahkan tidak mustahil menjadi korban kejahilan anak-anak Reddit yang melejitkan saham GameStop. Namun, kenyamanannya bekerja pada hedge fund akhirnya goyah. Menginjak usia 30, alias di tahun pertama pernikahannya dengan MacKenzie, Bezos memilih mengakhiri karier sebagai analis dan mendirikan perusahan yang bergerak di bidang penjualan buku secara online. Ia menamainya Cadabra dan kemudian berganti menjadi Amazon.
Kembali merujuk Collected Writings, Bezos memutuskan berbisnis online karena ia "menemukan fakta bahwa penggunaan web meningkat 2.300 persen per tahun" kala itu. Dan buku, sebagai barang yang dijualnya, dipilih karena "merupakan produk yang memiliki kategori terbanyak dibandingkan produk apapun."
Tak puas berjualan buku, Bezos mengirim email kepada para pelanggannya dan bertanya tentang produk apa yang ingin mereka beli. Dari email tersebut, Amazon lalu menjual musik, video, ponsel, mainan dan segala produk apapun yang ada di dunia ini. Tak ketinggalan, sistem online yang membuat Amazon bekerja pun ia jual, melahirkan Amazon Web Service--infrastuktur online yang konon menopang seperempat aplikasi dan website di seluruh dunia. Berkat Amazon pula Bezos memiliki harta tak kurang dari USD 182 miliar--usai dipotong harta gono-gini dengan MacKenzie tahun silam.
Dumaine, dalam bukunya, mengatakan bahwa Bezos selalu menyebut "keberuntungan" sebagai kunci sukses kejayaannya. Di satu sisi, menurut Dumaine, ini dapat dibenarkan. Menurutnya, ketika Bezos mendirikan Amazon, "ia berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat". Kala itu, internet tengah lepas landas dan Amazon menjadi satu-satunya sumber masyarakat memperoleh buku secara efisien. Lalu, ketika dot-com bubble meletus, Bezos sukses menyelamatkan bisnisnya dari kehancuran, meskipun saham Amazon jatuh dari USD 113 per lembar menjadi USD 6 per lembar. Kemudian, tatkala terjadi pergeseran pola belanja dari offline ke online, Amazon telah lebih dulu melebarkan sayap, dari hanya berjualan buku menjadi berjualan segalanya.
Namun, tulis Dumaine, "itu bukan cerita sesungguhnya".
Mengapa sang kakek sanggup membiayai menantunya yang bajingan itu kuliah? Mengapa sang kakek sanggup membelikan buldozer untuk Bezos? Dari mana uang untuk membiayai Bezos kuliah di Ivy League? Mengapa Bezos tahu bahwa penggunaan web meningkat 2.300 persen per tahun? Tak lain, kakek Bezos, Lawrence Preston Gise, adalah pejabat pemerintah yang dihormati yang ditunjuk Kongres pada tahun 1964 untuk menjalankan Komisi Energi Atom Albuquerque. Komisi ini meliputi laboratorium Sandia, Los Alamos, dan Lawrence Livermore, lembaga yang mendorong pengembangan bom atom dan hidrogen. Ia bertanggung jawab atas sekitar 26.000 karyawan dan mengawasi beberapa teknologi paling canggih dan rahasia pada masanya.
Tak ketinggalan, Pop Gise, Paman Bezos yang dianggap Bezos sebagai "orang paling berpengaruh dalam hidup", merupakan seorang manajer top Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA), lembaga di bawah Kementerian Pertahanan AS yang melahirkan teknologi bernama internet.
Berkat dukungan finansial dan pengetahuan dari The House of Gise ini, Bezos mendirikan toko buku online dua tahun lebih cepat dari Barnes & Noble. Ketika Amazon menggurita, ia pun dua tahun lebih awal menciptakan Kindle daripada Nook, dan dua tahun lebih dulu menciptakan Echo dibandingkan Google Home.
Tidak ada kisah picisan yang menyebut bahwa "si miskin bisa kaya hanya dengan berusaha" dalam kehidupan Bezos--dan miliarder lainnya.
Bagi Dumaine, "Jeff Bezos merupakan pria yang penuh kontradiksi." Di satu sisi, Bezos digembar-gemborkan sebagai anak broken home yang ditinggal bapaknya. Di sisi lain, ayah angkatnya adalah teknisi Exxon. Bezos selalu mencitrakan diri sebagai family man, sekaligus berselingkuh dengan pembawa acara Fox News. Bezos menciptakan lebih dari setengah juta pekerjaan melalui Amazon, yang pekerja gudangnya memperoleh perlakuan buruk ketika bekerja. Di satu sisi, Bezos berjanji menyumbang USD 2 miliar untuk pengentasan tunawisma. Di sisi lain, ia adalah pemilik jet Gulfstream G650ER, rumah mewah di Los Angeles, San Francisco, Seattle, Washington, D.C., dan New York City, tanah seluas 16.000 hektare di West Texas, serta memperoleh potongan pajak sangat tinggi oleh pemerintah gara-gara berencana mendirikan kantor pusat di New York. Ia, seperti banyak oligark lain, rupanya ingin memecahkan masalah sosial yang ia timbulkan sendiri.
Klaim Bezos sendiri, masyarakat seharusnya tidak melihat kesuksesannya sebagai kesuksesan tunggal. Sebutnya, "Amazon kini bernilai kira-kira USD 1 triliun dan saya hanya memiliki 16 persen kepemilikan Amazon. Seharusnya, (masyarakat melihat) bahwa ada harta senilai USD 840 miliar yang kami berikan untuk banyak orang."
Pernyataan itu kurang lengkap. Tampaknya Bezos lupa merinci siapa yang dia maksud "banyak orang" itu: pemegang saham Amazon.
Kini, 26 tahun setelah Amazon dimulai, Bezos mengumumkan pengunduran dirinya sebagai CEO. Ia tak benar-benar meninggalkan Amazon, tetapi memilih menjadi Komisaris Utama Amazon, dan mengurusi Day 1 Fund, the Bezos Earth Fund, Blue Origin, The Washington Post, dan berbagai perusahaan/organisasi mentereng lainnya.
Editor: Windu Jusuf