tirto.id - Peristiwa apa yang dapat terus melekat dalam ingatan bocah berusia lima tahun dan menjadi motivasi di masa dewasa kelak?
Bagi kebanyakan anak-anak, tentu saja, pertanyaan tersebut sukar dijawab. Namun tidak bagi Jeffrey Preston Bezos. Ia akan dengan lantang menyatakan pendaratan di bulan yang digawangi National Aeronautics and Space Administration (NASA) pada 20 Juli 1969 adalah jawabannya. Terlahir pada 12 Januari 1964 dari rahim seorang perempuan berusia 17 tahun bernama Jeffrey Preston Jorgensen, Jeff Bezos kecil beruntung dapat menyaksikan Neil Armstrong dan Buzz Aldrin menginjakkan kaki di bulan, salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah umat manusia.
Bagi Bezos kecil, keberhasilan Armstrong dan Aldrin bukan bermakna kemenangan Amerika Serikat melawan Uni Soviet atau kapitalisme melawan komunisme sebagaimana yang dimengerti orang-orang dewasa pada zaman itu. Pendaratan di bulan adalah peristiwa yang membuatnya tertarik teramat dalam pada luar angkasa. Sebagaimana ditulis Brian Dumaine dalam Bezonomics: How Amazon is Changing Our Lives and What the World's Best Companies are Learning from It (2020), sejak itu Bezos berangan-angan menciptakan roket dan menjelajah angkasa saat dewasa.
Angan-angan ini Bezos terjemahkan dengan menimba ilmu fisika di Princeton University. Tapi usaha menggapai angkasa dengan menjadi seorang fisikawan akhirnya dikubur manakala bertemu dengan makhluk bernama partial differential equation (persamaan diferensial parsial), yang harus dipecahkan untuk menerbangkan roket dengan benar, dari dosennya, meski ia tetap lulus pada 1986.
Bezos memang menyerah menjadi fisikawan, tetapi tidak dengan mimpi menggapai angkasa. Ini terjadi karena Amazon, bisnis yang ia dirikan saat berusia 30 usai berpaling dari profesi pengelola investasi, selamat dari dotcom bubble dan perlahan meraksasa dan menjadikannya seorang triliuner.
Mimpi ini berubah menjadi tindakan nyata berkat dorongan seorang teman, penulis fiksi ilmiah bernama Neal Stephenson. "Ya udah, sih, mulai aja sekarang," celetuk Stephenson di suatu hari pada 1999 saat keduanya menikmati film berjudul October Sky di bioskop. Maka, di tanah seluas 121 kilometer persegi di Texas yang baru dibeli, Bezos mendirikan Blue Origin pada 2000. Karyawan pertamanya tak lain Stephenson.
Belum juga Blue Origin memiliki teknisi dan ilmuwan apalagi beroperasi penuh, bos Amazon ini bertanya: "Kita ke luar angkasanya pake apaan, nih?"
Ignition!
Berbeda dengan SpaceX milik Elon Musk yang langsung tancap gas mengembangkan roket Falcon 1 semenjak didirikan pada 2002, Blue Origin pada tiga tahun pertama berkutat memikirkan teknologi apa yang hendak dipakai untuk sampai ke luar angkasa. Christian Davenport dalam The Space Barons: Elon Musk, Jeff Bezos, and the Quest to Colonize the Cosmos (2018) menjelaskan ini terjadi karena Bezos menginginkan sesuatu yang baru nan nyeleneh, alih-alih menggunakan roket--teknologi yang menurut Bezos telah usang.
'Teknologi' baru yang diyakini Bezos dapat membawanya mengangkasa adalah bullwhip--cambuk yang biasa dipakai untuk memaksa kuda lari--yang dibuat dalam bentuk raksasa guna menghasilkan energi kinetik. Lain waktu, pemilik onlinestore terbesar di dunia ini menghendaki laser sebagai fondasi wahana Blue Origin. Terkahir, Bezos juga percaya bahwa pistol (raksasa) adalah jawabannya.
Meskipun awalnya ngotot menggunakan teknologi baru, ide-ide itu akhirnya ditinggalkan juga. Roket, sebagaimana dipaparkan John Drury Clark dalam buku berjudul Ignition!: An Informal History of Liquid Rocket Propellants (2018), adalah jawaban yang tidak bisa dibantah Bezos dan Blue Origin atau siapa pun yang berniat pergi ke luar angkasa.
Roket memang disusun dari berbagai modul yang saling bertautan dan memiliki peran penting masing-masing. Namun Clark menyebut bagian paling utama yang membuat roket dapat terbang adalah propellant (propelan) atau bahan pendorong, suatu zat campur aduk antara bahan bakar dan oxidizer (oksidator) atau material yang mentransfer elektron bagi bahan bakar yang dapat menghasilkan energi atau gas bertekanan guna menciptakan gerakan fluida dan berakhir dengan terbentuknya propulsi (tenaga penggerak).
Teknologi ini memang jadul, tetapi kegunaannya tak lekang dimakan usia.
Gagasan roket propelan muncul pertama kali pada 1903 atau pada tahun yang sama ketika Wright bersaudara tengah mengembangkan pesawat terbang pertama di dunia. Gagasan ini dicetuskan oleh Konstantin Eduardovich Tsiolkovsky dalam artikel berjudul "Exploration of Space with Reactive Device" yang terbit di jurnal ilmiah di St. Petersburg, Rusia. Ide ini muncul sebagai solusi atas kondisi luar angkasa yang hampa udara (empty space), yang tidak memungkinkan modul/wahana bersayap semisal pesawat terbang yang memanfaatkan tekanan udara bekerja.
Artikel Eduardovitch menyatakan bahan bakar yang dapat dipakai untuk membuat roket propelan adalah hidrogen cair dan oksigen cair sebagai oksidator. Namun, meskipun ilmuwan kala itu sepakat propelan memang jawaban untuk dapat menjelajah luar angkasa, mereka tak pernah sepakat dengan bahan bakar dan oksidator yang digunakan.
Sikap ini muncul karena kerja mengonversi gas menjadi cairan belum terlalu lama dilakukan. Hidrogen dan oksigen baru 'berusia' tak lebih dari 10 tahun sebagai gas yang berhasil dikonversi menjadi cairan ketika Eduardovitch mencetuskan gagasannya. Banyak ilmuwan menganggap ide ini masih terlalu muda dan sangat mungkin terdapat gas lain yang lebih baik sebagai bahan bakar dan oksidator propelan, tetapi belum berhasil dijadikan cairan.
Dari sisi sains, mengkonversi gas menjadi cairan (dengan cara didinginkan, diberi tekanan, atau dicampur dengan gas lain) dilakukan agar sifat dasar molekul dapat dianalisis. Dengan pengetahuan ini, ilmuwan dapat menafsirkan apa yang terjadi seandainya, misalkan, oksigen ditubruk dengan hidrogen.
Di sisi roket secara spesifik, konversi gas menjadi cairan penting karena dengan berbentuk cair (liquid state) molekul gas mudah ditempatkan dan mudah pula dimanipulasi penggunaannya. Dengan berbentuk cair, hidrogen dan oksigen dapat disemprotkan dalam kuantitas dan pembabakan waktu yang presisi untuk menghasilkan reaksi yang tepat demi terciptanya propulsi. Tanpa kuantitas dan waktu yang presisi, roket tidak akan terbang dan hanya berakhir sebagai petasan raksasa alias meledak.
Karena tidak adanya kata sepakat di antara para ilmuwan tentang penggunaan hidrogen cair, methane (metana), ethylene (etana), benzene (benzana), methyl (gugus metil), ethyl alcohol (etanol), turpentine (terpentin), gasoline (bensin), kerosene (minyak tanah), dan bahkan air, alumunium bubuk, serta mesiu satu per satu diajukan sebagai bahan bakar propelan. Sementara nitrogen tetroxide (dinitrogen tetroksida) serta methyl nitrate (metil nitrat) diajukan sebagai oksidator--dua molekul ini akhirnya ditinggalkan karena ilmuwan sadar bahwa tidak ada molekul lain yang memiliki tingkat oksidasi serendah oksigen.
Melalui otak-atik bahan bakar dan oksidator propelan ini, Robert H. Goddard, ilmuwan roket awal abad ke-20 yang kini diabadikan sebagai nama salah satu markas dan teleskop milik NASA, berhasil membuat roket yang sanggup mengangkasa secara terbatas. Ia memanfaatkan bensin sebagai bahan bakar dan oksigen sebagai oksidator. Menyusul kemudian Friedrich Tsander dari Rusia, Klaus Riedel dan Friedrich Wilhelm dari Jerman, serta Luigi Crocco dari Italia yang berhasil menciptakan propelan roket berkekuatan terbatas versi masing-masing.
Hingga kemudian muncullah Wernher von Braun, pencipta roket yang kelewatan hebatnya.
Terlahir pada 23 Maret 1912 dari pasangan Menteri Pertanian Republik Weimar dari sisi ayah dan keturunan Raja Philip III serta Raja Edward III dari sisi ibu, von Braun menjadi ilmuwan roket nomor wahid sejagat usai Walter Dornberger, salah satu petinggi militer yang mengepalai divisi penelitian penciptaan roket, mengajaknya bergabung ke militer Jerman. Di sana von Braun merilis roket A-1 pada 1932--tahun yang sama ketika Hitler naik sebagai penguasa Jerman. Sayangnya roket tersebut gagal mengangkasa dan berakhir sebagai petasan raksasa. Namun, dari kegagalan ini, pada 1944 von Braun berhasil menciptakan roket A-4 alias V2, yang memiliki kemampuan membawa satu ton hulu ledak sejauh 257 kilometer.
Von Braun akhirnya sepakat dinaturalisasi menjadi warga negara AS usai sadar bahwa Hitler tidak bakal menang dalam Perang Dunia II. Di negara inilah dia berhasil menciptakan Saturn V, roket yang dirancang untuk sampai ke Mars yang berhasil mendaratkan Neil Armstrong dan Buzz Aldrin di bulan.
Pada V2, von Braun menggunakan etanol cair sebagai bahan bakar dan oksigen cair sebagai oksidator. Sementara pada Saturn V, terinspirasi dari gagasan Eduardovitch, von Braun menggunakan hidrogen cair serta oksigen cair.
Yang menarik, kesuksesan V2 dan Saturn V tidak hanya terletak pada tepatnya bahan bakar dan oksidator yang digunakan, tetapi, sebagaimana dipaparkan Deborah Cadbury dalam Space Race: The Epic Battle Between America and the Soviet Union for Dominion of Space (2007), juga karena penggunaan gyroscope (giroskop) sebagai alat navigasi roket; alat jadul yang dapat membuat roket terbang sesuai lintasan yang dikehendaki.
Von Braun juga menginisiasi motor roket (rocket motor) super canggih yang dapat menginjeksi bahan bakar dan oksidator dalam kuantitas dan pembabakan waktu super presisi. Saturn V sendiri memiliki tiga tahap pembakaran. Dari tangan von Braun pula sistem telemetri yang dapat memberikan data tentang keadaan roket secara simultan kepada para teknisi di daratan diinisiasi.
Dari kejeniusan von Braun dalam V2 serta Saturn V inilah Falcon milik SpaceX dan New Shepard ala Blue Origin lahir ke dunia untuk mengangkasa.
Editor: Rio Apinino