tirto.id - Siapa yang tidak takut gagal?
Risiko mengalami rasa malu, belum lagi perasaan rendah diri, dan faktor lain entah terkait sosial ekonomi lainnya, membuat gagal menjadi momok bagi setiap orang.
Ada banyak faktor yang mepengaruhi kondisi psikologis ini.
Dian K. Partawidjaja, M.Psi, Psikolog dari Universitas Indonesia menyatakan, ketakutan akan mengalami penghinaan dan rasa malu, ketakutan akan penurunan rasa penghargaan atas diri (self esteem), takut akan hilangnya pengaruh sosial, takut akan penilaian orang lain terhadap diri, takut akan ketidakpastian masa depan, serta takut akan mengecewakan orang yang penting bagi diri kita menjadi penyebab kita merasa wajib tidak boleh mengalami kegagalan.
Menariknya, pada zaman Yunani kuno, 429 SM, kegagalan bahkan kerap dipandang sebagai sesuatu yang luhur. Masyarakat Yunani kuno sangat menggemari drama tragedi Oedipus the King yang ditulis oleh Sophocles, dan riwayat prajurit Sparta yang bertempur melawan tentara Persia.
Meskipun Oedipus dan prajurit Sparta sama-sama berakhir tragis, tapi masyarakat Yunani kuno tidak memandang mereka sebagai pecundang. Drama tragedi Yunani kuno seperti Oedipus the King memang digubah untuk menunjukkan pada penonton bahwa kemalangan dan kegagalan bisa terjadi pada orang baik dan terhormat sekali pun.
Karena itu, kita seharusnya bersikap welas asih dan simpatik dalam memandang kegagalan. Seperti Sparta yang gagal mengalahkan Persia, tapi kekalahan mereka justru dipandang luhur oleh masyarakat Yunani kuno. Kita boleh kalah tapi tetap mulia, begitu nilai yang mereka junjung.
Di Paris, sekitar 1799 M, Napoleon Bonaparte memperkenalkan meritokrasi. Gagasan utamanya, kesuksesan terbuka bagi siapa pun yang cakap dan berbakat, bukan hanya mereka yang memiliki privilese seperti kaum aristokrat.
Pada masa Revolusi Prancis, Napoleon menghapus semua tanda penghargaan dan gelar aristokrat, lalu menggantinya dengan Légion d'honneur – penghargaan tertinggi bagi militer atau sipil dari semua kelas sosial yang didasarkan pada kecakapan, bukan keturunan atau kekayaan.
Napoleon Bonaparte disebut-sebut sebagai salah satu tokoh pertama yang mendirikan meritokrasi pada era Eropa modern.
Meritokrasi membuat kesuksesan terasa lebih adil dan dapat dicapai oleh siapa pun dari kelas sosial mana pun. Namun ini juga berarti bahwa pandangan terhadap kegagalan mulai bergeser.
Kegagalan tidak lagi dipandang sebagai kebetulan (karena terlahir tanpa privilese) atau hal yang netral, melainkan sesuatu yang “layak” didapatkan oleh seseorang karena kurang cakap.
Glorifikasi Kegagalan
Tak bisa dipungkiri, kita hidup pada zaman yang mengagungkan kesuksesan. Keberhasilan manusia modern selalu diukur dalam angka-angka. Dari angka saldo rekening bank, angka nilai rapor, angka “30 under 30” di Majalah Forbes, sampai angka jumlah follower, subscriber dan like di media sosial (medsos). Medsos juga seolah-olah menjadi etalase kesuksesan seseorang.
Kini orang mudah sekali terpengaruh oleh isi medsos, terutama jika kita belum memiliki batasan baik dan tidak baik, belum memahami kelebihan dan kekurangan diri, serta seperti apa diri kita sebenarnya.
Tekanan untuk menjadi sukses semakin besar karena kita dengan mudah melihat dan membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Kita semua tentu pernah mendengar kata-kata bijak “Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda” dan berbagai versi serupa. Coba saja ketik kata kunci “books on failure” di Google.
Lebih dari satu miliar hasil pencarian langsung muncul. Begitu banyak buku mengangkat tema kegagalan, terutama tentang cara menghadapi dan bangkit darinya.
Dalam laman npr yang mengumpulkan ratusan pidato wisuda, “merangkul kegagalan” menempati peringkat enam dalam tema pidato terpopuler. Ada 41 pidato bertema kegagalan dan hampir semuanya disampaikan setelah tahun 2000, dengan pembicara antara lain JK Rowling dan Oprah.
Bisa dikatakan, kebudayaan saat ini bukan hanya berupaya menghapus stigma kegagalan, tapi juga menempatkan kegagalan sebagai faktor yang menguatkan seseorang.
Orang yang gagal tidak diminta untuk melupakan kegagalannya, tapi justru belajar dari kegagalan itu. Orang yang gagal tidak dinasehati untuk mundur, tapi justru untuk mencoba lagi dan lagi.
Memaknai Kegagalan
Setiap orang pernah gagal, tapi apa yang membedakan? Mengapa ada orang yang gagal, tapi bisa bangkit dan bahkan mencapai puncak kesuksesan?
Sementara, ada orang yang gagal lalu tak berani mencoba lagi, terpuruk, stres, depresi, bahkan ada yang sampai bunuh diri?
“Bagaimana kita memaknai kegagalan adalah yang paling utama. Apakah gagal dimaknai sebagai sesuatu yang buruk, memalukan, atau melemahkan diri. Atau kegagalan dimaknai sebagai proses untuk menjadi diri yang lebih baik, serta sebagai bekal untuk mencapai kesuksesan,” tutur Dian K. Partawidjaja, M.Psi, Psikolog.
“Dalam psikologi ada istilah self compassion, yaitu kemampuan memahami dan menerima kondisi diri kita, bersikap lembut pada diri, serta memahami bahwa kegagalan adalah bagian dari pengalaman hidup. Menerima kegagalan sebagai proses yang perlu dijalani untuk membuat kita lebih kuat serta menerima kenyataan bahwa tidak setiap hal berjalan seperti yang kita inginkan, adalah kemampuan untuk memahami realitas (reality testing). Hal inilah yang akan membuat kita terhindar dari rasa tertekan dan frustrasi bila menghadapi kegagalan,” lanjutnya.
Bangkit dari kegagalan memang penting, tapi timbul pertanyaan: Bagaimana mengubahnya menjadi kesuksesan? Apa kita perlu terus mencoba saja lagi dan lagi sampai berhasil? Ternyata jawaban ini tidak sepenuhnya benar.
Sebuah penelitian di Northwestern University AS yang diketuai Profesor Dashun Wang menyimpulkan bahwa tidak semua kegagalan berujung pada kesuksesan. Mencoba dan mencoba lagi memang penting. Namun yang terpenting adalah belajar dari kesalahan sebelumnya.
Menurut Wang, kita harus menemukan bagian mana yang berhasil dan mana yang masih kurang baik dari upaya kita sebelumnya. Pertahankan yang sudah baik dan fokuslah memperbaiki bagian yang kurang baik. Jangan malah mulai dari nol dan mengubah semuanya. Orang yang gagal belum tentu bekerja lebih sedikit daripada orang sukses.
Mereka mungkin malah bekerja lebih keras. Hanya saja, mereka membuat lebih banyak perubahan yang sebenarnya tidak perlu. Jadi bekerjalah lebih cerdas, bukan lebih keras.
Selain itu, waktu juga berperan penting. Tepatnya, jangka waktu di antara percobaan gagal yang satu dengan percobaan gagal berikutnya. Jarak antara satu kegagalan dengan kegagalan berikut seharusnya semakin pendek.
Dengan kata lain, semakin cepat kita gagal, semakin besar kemungkinan untuk berhasil pada akhirnya.
*Artikel ini pernah tayang di tirto.id dan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.
Penulis: Eyi Puspita
Editor: Lilin Rosa Santi